"Malam ini hujan turun lagi. Seperti malam-malam yang lalu" (Hal. 4 PDF)
Tania pun pada setiap malam hari selalu tersenyum sendirian di toko buku lantai dua, "Malam ini, entah sudah berapa kali aku tersenyum, menyeringai sendirian berdiri di balik kaca candela lantai dua toko buku" (Hal. 27 PDF)
Suasana dalam novel ini menyedihkan, Tania dan Dede terpaksa putus sekolah karena tidak ada biaya, dan mereka pun terpaksa harus mengamen mencari uang recehan setidaknya mengurangi beban Ibu meski hanya sedikit. Suasana menyedihkan itu begitu terasa sekali, Tania, Dede, dan Ibu mengalami kemiskinan selama tiga tahun itu, semuanya terasa menyesakkan.
 "Saat ayahku meninggal, semuanya jadi kacau balau. Setelah tiga bulan menunggak, kami terusir dari kontrakan tersebut. Ibu pontang-panting mencari tempat berteduh. Tak ada keluarga yang kami miliki di kota ini. Jikapun ada, mereka tak sudi walau sekadar menampung. Dan akhirnya sampailah kami pada pilihan rumah kardus.
Jangankan sekolah, untuk makan saja susah. Ibu bekerja serabutan, apa saja yang bisa dikerjakan, dikerjakan. Sayang Ibu lebih banyak sakitnya. Semakin parah.." (Hal. 15 PDF)
Suasana dalam novel ini ada yang menyenangkan, yaitu ketika Tania, Dede, dan Ibu diberi bantuan oleh Danar. Danar menyekolahkan Tania dan Dede, memberikan uang kepada Ibu untuk biaya hidup mereka dan modal untuk usaha kue Ibu. Semua terasa menyenangkan, setelah tiga tahun merasakan kesedihan dan kepahitan, kini keluarga malang itu merasa senang atas semua takdir yang sekarang mereka rasakan.
 "Usaha kue itu maju sekali. Beberapa bulan kemudian Ibu harus mengajak dua anak teteangga untuk membantu di hari-hari tertentu. Pokoknya aku belum pernah melihat Ibu sesibuk ini. Tentu
Suasana dalam novel ini ada yang suasana tegang, yaitu ketika Tania dan Danar bertemu di rumah kardus tempat kehidupan tiga tahun ketika Tania miskin, suasan tegang itu muncul ketika Tania akan bertanya dan meminta pertanggungjawaban atas semua perasaan yang Danar pendam, atas linton yang Danar beri, atas sebuah novel yang tak akan pernah usai itu.
"Apakah buku tentang pohon ini sudah selesai! Cinta dari Pohon Linden?" Dia tersentak. Menoleh ke arahku. Aku tersenyum (meskipun hatiku sekaligus terluka saat mengatakan kalimat itu). Senyum pahit. Matanya berkilat-kilat bertanya: dari mana kau tahu soal buku ini?"Â
Sudut pandang dalam novel Daun Yang Jatuh Tak Akan Pernah Membenci Angin ini adalah orang pertama pelaku utama. Dalam novel ini mengisahkan pengalaman dirinya sendiri, tindakan sendiri, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, dengan sebutan si "aku", sebagai orang pertama dan sebagai pelaku utama pula yang serba tahu.
 "Aku tahu aku cantik. Tubuhku proposional. Rambut hitam legam nan panjang"