Mohon tunggu...
Agus Riyanto
Agus Riyanto Mohon Tunggu... -

Baru-baru saja, beIum Iama ini. Tersangka korupsi, tapi buktinya sedang dicari. "aku yang begini ini, ternyata unik n istimewa: Indonesia tiada duanya..!"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bangkit dan seterusnya, kawan..!

12 Mei 2011   17:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:47 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sehingga Bung Karno menegaskan, 1945, “Nasionalisme yang sejati, nasionalismenya bukan semata-mata copie atas tiruan dari Nasionalisme Barat, tetapi muncul dari rasa kecintaan terhadap manusia dan kemanusiaan.”

Sistem demokrasi ini, berarti negara memfasilitasi terwujudnya demokratisasi di bidang politik dan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia. Meskipun, sinau berdemokrasi pun ternyata harus tunduk pada idiom universal: belajar itu mahal.

Sejak merdeka sampai era reformasi sekarang ini, Indonesia dari era ke era menjalani prosesi sinau dengan biaya tinggi. Di era Orde Lama, pernah dituduh murid murtad-ketika demokrasi dirias jadi demokrasi terpimpin. Di jaman Orba, kita nyaris hilang akal, saat disindir mahir menghias ‘demokrasi seolah-olah’ hingga tampak sebenarnya.

Satu hal lagi, pengorbanan paling dramatis. Adalah saat praktek penyelenggaraan referendum untuk Timor-Timur, awal era Reformasi. Untuk sekedar mendapat kesan demokratis dari tetangga, Timor-Timur dijadikan tumbalnya.

Tentang semua ini saya tiba-tiba teringat Kang Was – sahabat saya, yang geleng kepala sambil mengepal tinju, “Ganyang..!” di depan televisi. Ia serius menyimak berita Sipadan dan Ligitan, dua pulau di perbatasan sana ‘diminati’ tetangga. Teritorial terancam lagi, dihapus dari peta. “Nasionalisme berarti antineokolim, menolak intervensi asing. Kedaulatan adalah harga mati” teriaknya berapi-api.

Demokratisasi ekonomi, negara harus berwatak kerakyatan: memposisikan diri di pihak yang lemah tanpa memusuhi kaum pengusaha atau kaum yang kuat. Negara bukan semacam yayasan sosial. Tukang sawer. Bukan pemberi bantuan-bantuan sosial, gemar memberi ikan ketimbang kail.

Berarti juga, pembangunan tidak diserahkan kepada kaum kapitalis asing. Tidak takluk di hadapan IMF. Justru negara harus intervensi, mengurangi dampak negatif atas ganasnya hukum ekonomi (neo) liberal. Inilah ruh jati-diri bangsa kita. Menbangun dengan gotong royong.

Teringat dengan gagasan Soekarno, “Pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis kuntul baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong-royong.”

Saat ribuan saudara kita di perbatasan menjadi tentara negeri tetangga. Menjadi TKI bernasib sial, jadi sansak majikan di sana. Saya yakin, bukan mereka tak tahu risiko itu. Tapi, adakah alternatif lain ketika hadir kebutuhan perut?

Kita lebih bangga hidup dengan cara-cara tetangga. Berbicara, berbaju dan melahap siaran televisi tetangga, memilih ber-nasionalisme tetangga dan memutuskan menjadi jiran negeri kita. Kita seolah telah membuang ke-Indonesia-an dari negeri ini. Untuk hal sangat sederhana, mengejar status modern!

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun