Sejak Reformasi bergulir 1998, yang ditandai dengan deklarasi dan implementasi Otonomi Daerah (UU No. 22 / 1999, UU No. 32 / 2004, dan UU No. 23 / 2014), maka salah satu yang diotonomi-daerahkan adalah Tata Kelola dan Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah termasuk didalamnya adalah Pembinaan Guru.Â
Sementara seiring dengan perjalanan waktu, geliat dan hiruk pikuk otonomi daerah, dimana yang lebih menonjol adalah aktivitas politik di daerah, dengan pelaksanaan Pemilukada langsung. Maka mau tidak mau, langsung atau tidak langsung, kegiatan dan santapan menu politik di daerah akan melibatkan komunitas guru --yang sejak Otoda-- berada di "ketiak" Pemerintah Daerah (Kepala Daerah).
Selain itu, dengan dikelolanya manajemen guru oleh pemerintah daerah, tidak dapat dipungkiri bahwa suka terjadi politisasi mobilisasi terhadap guru, khususnya menjelang pemilu atau pemilukada bahkan pilpres. Guru-guru yang dinilai "sulit dikendalikan" suka terkena intimidasi, minimal dimutasi ke sekolah yang terpencil atau gurem.Â
Akibatnya guru-guru bekerja dalam tekanan, kurang kritis, kurang memiliki keberanian untuk mengemukakan pendapat, sehingga mereka banyak yang apatis, terjebak pada aktivitas rutin yang juga sudah melelahkan. Oleh karena itu, muncul lagi usulan agar guru kembali dikelola oleh pemerintah pusat supaya tidak dipolitisasi.
Terlibatnya guru dalam kegiatan politik bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia . Keterlibatan guru dalam dunia politik Indonesia sudah dimulai semenjak masa perjuangan fisik merebut kemerdekaan.Â
Beberapa nama diantaranya ada nama Ki Hajar Dewantara yang mempelopori perjuangan politik melalui dunia pendidikan, beliau berjuang melawan penjajahan dengan cara mengkritisi kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang tidak mengizinkan anak-anak pribumi untuk bersekolah. Akhirnya beliau mendirikan sekolahan dibawah organisasi perguruan Taman Siswa yang di tujukan untuk anak-anak pribumi.
Hubungan Politik dengan Pendidikan
Pendidikan adalah suatu tindakan sosial yang pelaksanaanya dimungkinkan melalui suatu jaringan hubungan- hubungan kemanusiaan. Jaringan-jaringan inilah bersama dengan hubungan-hubungan dan peranan peranan individu di dalamnya menentukan watak pendidikan di suatu masyarakat.Â
Politik adalah bagian dari paket kehidupan lembaga-lembaga pendidikan Hal ini menegaskan bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal yang saling berhubungan erat dan saling mempengaruhi. Berbagai aspek pendidikan selalu mengandung unsur- unsur politik, begitu juga sebaliknya setiap aktivitas politik ada kaitanya dengan aspek- aspek kependidikan.
Keduanya sering dilihat oleh sebagian orang tidak ada kaitan dan hubungan, padahal politik dan pendidikan saling menopang dan saling mengisi satu sama lain. Pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku dan moralitas masyarakat di suatu Negara. Begitu juga sebaliknya, perilaku politik di suatu negara memberikan karakteristik pendidikan di negara tersebut. Hubungan tersebut merupakan realitas yang telah terjadi semenjak munculnya peradaban manusia dan sedang menjadi kajian penting para ilmuwan modern.
Hubungan antara politik dan pendidikan dapat memberikan dampak negatif atau positif bergantung pada pemegang peranan penting dalam politik tersebut. Jika pemegang tanggung jawab pendidikan dalam politik tidak mempunyai kompeten dalam bidang pendidikan, maka pasti ini sangat membahayakan pendidikan.Â
Akan tetapi jika orang yang memegang amanah untuk mengembangkan pendidikan dalam sistem pemerintahan suatu negara adalah orang yang amanah serta mempunyai kapabilitas di bidang pendidikan maka ini sangat memungkinkan untuk memberikan kontribusi besar dalam pengembangan pendidikan, khususnya di Indonesia.
Terlepas dari itu semua, Jika kita melihat realitas politik di Indonesia saat ini, maka hendaknya pendidikan dijadikan satu hal yang netral, khususnya jika kita melihat kondisi politik di Indonesia saat ini.Â
Ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan lembaga pendidikan sebagai penyalur dari kepentingan politik tertentu. Selain itu, jika pendidikan tidak dinetralisir dari dunia politik, maka kepentingan politik akan dimasukkan ke dalam lembaga pendidikan. Dan ini akan memecahkan konsentrasi lembaga terhadap pendidikan, yang pada akhirnya akan merusak nilai-nilai mulia pendidikan.
Guru dengan Dunia Politik
Berbagai pelanggaran dan modus pelibatan Guru dalam Politik Pilkada ataupun Pilpres yang selama ini terjadi jarang mendapat perhatian serius, sehingga sulit untuk di proses dalam kerangka penegakkan hukum pemilihan umum baik pilkada ataupun pilpres.Â
Dan kondisi inilah yang menguntungkan Calon Kepala Daerah Incumbent atau keluarga dan kroninya menjadi calon kepala daerah atau wakil kepala daerah, karena adanya kemudahan dan fasilitas yang memungkinkan calon bersangkutan menggunakan pengaruhnya untuk mengganggu netralitas dan independensi Guru.
Secara sederhana, politik bisa diartikan segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat. Beberapa kata-kata kunci untuk memahami arti politik yaitu kekuasaan politik, legitimasi politik, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.Â
Sementara itu, guru sendiri merupakan bagian dari dunia pendidikan. Guru memiliki makna pendidik dan pengajar yang mengajarkan suatu hal yang baru dan benar pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah
Dengan demikian, politik tidak selalu identik dengan hal yang buruk. Dalam konteks pendidikan, politik justru perlu dilakukan oleh guru untuk memfasilitasi dan membelajarkan setiap peserta didiknya. PARA GURU, SELAMAT BERPOLITIK!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H