Mohon tunggu...
Abdillah
Abdillah Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta di Miftahul Ulum

8 Juni 2024   12:29 Diperbarui: 8 Juni 2024   13:04 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bu Sarah tersenyum, merasakan kebahagiaan yang mendalam. "Zainal, kamu adalah murid yang luar biasa. Teruslah belajar dan kejar impianmu. Saya yakin kamu bisa mencapai semua yang kamu cita-citakan."

Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan yang berbeda mulai tumbuh di hati Zainal. Setiap kali dia melihat Bu Sarah, ada sesuatu yang membuat hatinya berdebar-debar. Dia merasa nyaman dan bahagia setiap kali bersama Bu Sarah. Zainal mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Bu Sarah bukan lagi sekadar kekaguman seorang murid kepada gurunya, tetapi sudah berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam.

Bu Sarah juga mulai merasakan hal yang sama. Meskipun dia berusaha keras untuk tetap profesional dan menjaga jarak, dia tidak bisa memungkiri bahwa ada perasaan khusus yang tumbuh di hatinya untuk Zainal. Dia sering kali teringat akan percakapan mereka, senyum Zainal, dan semangat belajarnya yang tak pernah padam.

Suatu sore, saat Bu Sarah sedang berjalan pulang, Zainal mengejarnya. "Bu Sarah, bolehkah saya berbicara sebentar?" tanyanya dengan ragu.

"Tentu, Zainal. Ada apa?" jawab Bu Sarah, meskipun hatinya berdebar-debar.

Zainal mengambil napas dalam-dalam. "Bu, saya... saya ingin mengatakan sesuatu yang sudah lama saya pendam. Saya tahu ini mungkin tidak pantas, tapi saya harus jujur dengan perasaan saya."

Bu Sarah menatap Zainal dengan penuh perhatian. "Katakanlah, Zainal. Saya akan mendengarkan."

"Saya... saya menyukai Ibu. Bukan hanya sebagai guru, tetapi sebagai seorang perempuan. Saya tahu ini salah dan mungkin membuat Ibu tidak nyaman, tapi saya harus mengatakannya," ungkap Zainal dengan suara gemetar.

Bu Sarah terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Zainal. Hatinya campur aduk antara kebingungan dan perasaan yang sama. Akhirnya, dia berkata dengan lembut, "Zainal, saya sangat menghargai keberanianmu untuk jujur. Perasaan ini juga bukan hal yang mudah bagi saya. Namun, kita harus ingat bahwa saya adalah gurumu, dan kita harus tetap profesional."

Zainal menunduk, merasa malu dan kecewa. "Maafkan saya, Bu. Saya tidak bermaksud membuat Ibu tidak nyaman."

Bu Sarah menyentuh bahu Zainal dengan lembut. "Tidak apa-apa, Zainal. Perasaan itu adalah sesuatu yang alami dan kita tidak bisa mengendalikannya. Yang penting, kita harus tahu bagaimana menempatkannya dengan baik. Saya sangat menghargai kejujuranmu, tapi untuk sekarang, mari kita fokus pada pendidikanmu dan impianmu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun