Berempat, kami duduk dalam diam. Tiba-tiba semua lampu padam. Gulita melanda. Rupanya listrik padam. Si bungsu memelukku.
"Ibu, aku takut," bisiknya sedikit merengek.
"Jangan takut. Ibu di sini,"kataku menenangkan.
"Nak, tolong ambil dan nyalakan lilin," pintaku pada si sulung.
Cepat ia bergerak. Ia sudah tahu tempat menyimpan lilin dan korek api. Sebentar saja sebuah lilin menyala. Nyala lilin kecil, tampak terang dalam gulita.
Dari rumah keluarga Topo kudengar suara ribut. Anak bungsunya menangis keras. Mungkin takut gelap, setelah terang benderang yang mereka rasakan. Tangisnya kian keras.
Mungkinkah mereka tak punya penerang? Tak kulihat samar cahaya keluar dari rumah mereka. Ah, mana mungkin? Mereka tentu punya lampu atau sumber cahaya lain. Orang berpunya miliki segala.
Limabelas menit berlalu. Listrik belum juga menyala. Bungsu keluarga Topo semakin keras menangis. Suara bentakan Pak Topo terdengar. Bu Topo berteriak. Tangis si bungsu kian kencang. Masih saja tak kulihat pendar cahaya dari rumah mereka.
Haruskah kuberi lilin penyambung cahaya di rumahku? Untuk apa? Toh mereka tak pernah peduli pada penerangan di rumahku.
"Ibu, mengapa kakak di rumah depan menangis keras? Apa dia takut gelap?" tanya bungsuku.
Aku tak menjawab. Kulihat kembali rumah yang gelap itu. Persis rumahku saat lampu redup tak menyala.Â