Mohon tunggu...
Dee Ambut
Dee Ambut Mohon Tunggu... Guru - Aku hanya setangkai api yang menghangatkan jiwamu

Guru SMAN 1 Sano Nggoang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cita-cita di Ujung Kertas

15 Agustus 2019   21:46 Diperbarui: 15 Agustus 2019   21:48 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jujur saja aku malu mengatakannya. Tidak heran aku memilih diam di antara teman-teman yang  mengatakan dengan jujur  bahkan berpura -- pura jujur ketika ditanya tentang cita-cita.

Malam ini, aku termenung akan hal itu. Malam yang sangat dingin. Menusuk. Merobek pikiran yang bergejolak tentang cita-cita. Tidak sadar mata ini tak mampu lagi membendung air mata yang berlahan menetes membasahi pipi dan hanya deraian air mata yang mampu memahamiku, membujuk aku terlelap dalam pangkuan malam hingga burung-burung pipit berkicau menyambut kabut pagi retak membias di ufuk timur oleh kecupan mentari.  Aku beranjak dari tempat tidur dan mandi secepat mungkin. Segala tetek bengekpun sudah aku kenakan dan bergegas ke sekolah

Pagi ini aku lebih cepat tiba di sekolah. Aku sedikit cemas. Guru yang selalu bertanya tentang cita-cita sudah duduk di ruang guru sambil membaca buku. Ini menandakan bahwa sebentar lagi ia masuk mengajar di kelasku. Apa lagi pernah menyuruh aku untuk menulis apa saja dan diberikan kepadanya, ketika aku tidak memberitahukannya tentang cita-cita walaupun sampai detik ini aku tidak pernah menulisnya.

Rasa cemas semakin kuat ketika guruku berada di dalam kelas. Tapi tidak semua yang aku rasakan akan menjadi kenyataan. Hal ini terbukti, hari ini guruku tidak menanyakan tentang cita-cita. Ia langsung menyajikan materi dengan menarik sehingga aku selalu berusaha mendengarkannya diantara recoknya teman sekelas hingga jam pelajaran berakhir.  Entah sengaja tidak mau bertanya atau memang betul-betul lupa, aku tak tahu. Paling tidak mengurangi rasa minder ejekan teman-teman sekelas. Ia hanya mengingatkanku untuk selalu menulis. Itupun setelah jam pelajaran selesai.

Hari ini memang sangat berbeda dengan hari sebelumnya.  Sejak tiba di sekolah, rasa cemas menghampiriku, keributan yang terjadi saat jam pelajaran,  hingga aku pulang ke rumah, ibuku duduk di beranda rumah pada sebuah kursi tua. "Bukannya ibu selalu mengais rejeki diantara debu bermandikan peluh dari pagi hingga malam demi sesuap nasi?  Tidak biasanya". Di wajahnya yang kusam susut termakan usia, bulir-bulir air matanya tertahan di celah-celah keriput pipinya dan enggan menghilang. Aku memeluknya erat.

"Ibu kenapa menangis?"

 "Ibu Sakit?"

"Atau ibu belum makan? Aku ambilkan makanan untuk ibu, ya?"  Ibu terdiam saja. Menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki penuh arti. Di hatinya menyimpan sejuta kata-kata yang ingin ia sampaikan padaku tapi bibirnya terlanjur kaku membuat ibu tidak mampu berkata apa-apa.

Tidak hanya ibu. Usai senja mengantar ayah pulang dari ladang, kami bersatu dalam meja makan dengan hidangan ala kadarnya. Ayah menatapku tajam, matanya bersinar. Cahayannya menembus  celah-celah bambu tidak terhingga. Aku berusaha mengalihkan perhatian ayah dengan cerita tentang guruku yang selalu menyuruh aku menulis apa saja. Tapi deretan lelah yang terpampang di sekujur tubuh membuatnya enggan berpaling. Ayah terus menatapku  dalam diam. Ibu hanya tersenyum tipis di sudut bibir, menghibur wajahnya yang kusam.

Usai makan malam. Aku duduk di ujung tempat  tidur sembari memegang beberapa helai kertas tulisan guruku yang diberikannya kepadaku tempo itu dan mulai membacanya. Awalnya aku kagum. Ia mengawinkan imajinasi dengan pena di atas kertas putih  mencoret wajahnya dan wajah kekasihnya begitu indah. Kata-kata yang ia taburkan cukup romantis.  Guruku paling hebat, membuat aku tersenyum. Terkadang tertawa sendiri di malam ini.

Helai demi helai aku baca dengan sangat teliti. Di antara barisan kata-kata yang romantis tersimpan sejuta kepahitan. Aku kesal. Benarkah seorang wanita berusaha untuk mencintai, setia dan perhatian terhadap kekasihnya, lalu setelah kekasihnya  itu mendapat apa yang dia inginkan, pergi dan menikah dengan wanita lain? Masih adakah yang memanfaatkan kesetiaan seorang kekasih?

Cukup jauh aku menghayatinya. Tidak kuduga ayah dan ibu manatapku tajam dari pintu kamar tak berpintu, hanya sehelai kain batik kusut sebagai tirai. Tidak ada satu katapun yang terucap dari bibir mereka. Lalu pergi.

Aku jadi heran! apa yang terjadi pada ayah dan ibu? Adakah yang salah dengan diriku? Atau terlalu dini aku membaca kisah cinta? Jika demikian, bukankah ayah dan ibu berhak menegur bahkan memarahiku sekalipun?

'Ku rebahkan tubuh, berharap menemukan jawaban. Tapi yang kudengar bisikan samar. Atau mungkin saja ada yang memberitahukan ayah dan ibu tentang aku yang tak pernah memberitahukan cita-cita kepada guruku. Jangan mengira aku tak punya cita-cita dan jangan mengira aku pembohong. Walau masih duduk di bangku SMA, aku cukup dewasa dari hari kemarin. Aku tahu diri. Tapi jika itu alasannya, baiklah. Aku memberitahukannya.

"Sebenarnya cita-citaku tidak mampu kalian bayar dengan tanah sepiring. Tak mampu dibayar dengan peluh di wajah tuamu. Menyelami panas terik mentari dan hujan badai itu pun tidak cukup, jika petaka masih milik kita. Aku tahu untuk mewujudkannya tidaklah mudah, membutuhkan pengorbanan yang cukup  banyak.  Aku mencintai ayah dan ibu. Aku tidak bisa memaksa keadaan dan sebenarnya aku menyesuaikan diri dengan keadaan saat ini yang memaksaku  diam tentang cita-cita. Cukup aku dan kamu yang tahu itu".

 Saat itu pula aku tidak mendengar lagi bisikan ayah dan ibu dibalik bilik bambu. Sejak  itu pula aku melanjutkan membaca kisah guruku. Bukan untuk mengetahui tentang cinta sebab itu tidak ada yang pasti, hanya untuk mendapatkan inspirasi. Hingga hari esok kabut dan dingin tidak memelukku dalam diam tapi menemaniku melukis indah di atas kertas putih. Aku yakin, semakin sering aku melukiskan di atas kertas, aku menemukan cita-cita sederhana diujung kertas. Paling tidak ayah dan ibuku bisa tersenyum, bahkan guruku yang nantinya aku tak tahu lagi keberadaannya ikut tersenyum. Aku percaya itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun