Helai demi helai aku baca dengan sangat teliti. Di antara barisan kata-kata yang romantis tersimpan sejuta kepahitan. Aku kesal. Benarkah seorang wanita berusaha untuk mencintai, setia dan perhatian terhadap kekasihnya, lalu setelah kekasihnya  itu mendapat apa yang dia inginkan, pergi dan menikah dengan wanita lain? Masih adakah yang memanfaatkan kesetiaan seorang kekasih?
Cukup jauh aku menghayatinya. Tidak kuduga ayah dan ibu manatapku tajam dari pintu kamar tak berpintu, hanya sehelai kain batik kusut sebagai tirai. Tidak ada satu katapun yang terucap dari bibir mereka. Lalu pergi.
Aku jadi heran! apa yang terjadi pada ayah dan ibu? Adakah yang salah dengan diriku? Atau terlalu dini aku membaca kisah cinta? Jika demikian, bukankah ayah dan ibu berhak menegur bahkan memarahiku sekalipun?
'Ku rebahkan tubuh, berharap menemukan jawaban. Tapi yang kudengar bisikan samar. Atau mungkin saja ada yang memberitahukan ayah dan ibu tentang aku yang tak pernah memberitahukan cita-cita kepada guruku. Jangan mengira aku tak punya cita-cita dan jangan mengira aku pembohong. Walau masih duduk di bangku SMA, aku cukup dewasa dari hari kemarin. Aku tahu diri. Tapi jika itu alasannya, baiklah. Aku memberitahukannya.
"Sebenarnya cita-citaku tidak mampu kalian bayar dengan tanah sepiring. Tak mampu dibayar dengan peluh di wajah tuamu. Menyelami panas terik mentari dan hujan badai itu pun tidak cukup, jika petaka masih milik kita. Aku tahu untuk mewujudkannya tidaklah mudah, membutuhkan pengorbanan yang cukup  banyak.  Aku mencintai ayah dan ibu. Aku tidak bisa memaksa keadaan dan sebenarnya aku menyesuaikan diri dengan keadaan saat ini yang memaksaku  diam tentang cita-cita. Cukup aku dan kamu yang tahu itu".
 Saat itu pula aku tidak mendengar lagi bisikan ayah dan ibu dibalik bilik bambu. Sejak  itu pula aku melanjutkan membaca kisah guruku. Bukan untuk mengetahui tentang cinta sebab itu tidak ada yang pasti, hanya untuk mendapatkan inspirasi. Hingga hari esok kabut dan dingin tidak memelukku dalam diam tapi menemaniku melukis indah di atas kertas putih. Aku yakin, semakin sering aku melukiskan di atas kertas, aku menemukan cita-cita sederhana diujung kertas. Paling tidak ayah dan ibuku bisa tersenyum, bahkan guruku yang nantinya aku tak tahu lagi keberadaannya ikut tersenyum. Aku percaya itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H