Mohon tunggu...
Dee Ambut
Dee Ambut Mohon Tunggu... Guru - Aku hanya setangkai api yang menghangatkan jiwamu

Guru SMAN 1 Sano Nggoang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bingkai Perasaan

14 Agustus 2019   01:05 Diperbarui: 14 Agustus 2019   01:12 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya ibu terlalu pandai berpura-pura. Ketika aku tanya kenapa bu? Saat nafas tidak semestinya, jawaban yang kudapati "tidak apa-apa, nak". Selalu demikian ketika ditanya, kenapa bu. Bahkan jawaban ibu itu menjadi pertanyaan yang tidak akan hilang dari ingatanku.

"Apakah kepura-puraan yang dilakukan ibuku, dosa?". Batinku lirih. Sementara itu adalah salah satu cara mengajarku untuk selalu tegar meski menderita. Salah satu cara agar aku tidak bersedih. Bahkan keberatannya mengajarkanku untuk mandiri. Tidak hanya sebatas mandi sendiri tetapi melakukan apa yang bisa aku lakukan sebaik mungkin. Salah satu cara agar  aku giat belajar supaya uang sekolah murah, digratiskan.

Kisah tentang ibuku tak akan pernah habis. Waktu 16 tahun  umurku tidak cukup untuk membingkai history di atas kertas. Kenangan selalu awet membeku di hati meski perasaan sedih atas kepergiannya sedikit berkurang. Sebab, doa adalah caraku mempertemukan aku dan ibu, mendekatkan aku dengan Tuhan.

"Ibu, ibu....kau alasan memoriku tenggelam ke masa itu". Aku membatin.

"Ibu sedang apa?

Tersenyum melihatku menulis kisah ini?

Atau ibu menangis di surga seiring air mataku berlahan membasahi pipi?"

Entahlah! Yang jelas air mataku bukan karena tidak bahagia. Sebab kasih sayang yang kudapati kini terpancar dari senyuman orang-orang sekitar yang memberiku kasih sayang sepertimu ibu. sahabatku juga selalu memberi perhatian, membuat aku tegar. Hangat kasih sayang yang ku peroleh dari keluarga membuatku percaya untuk terus melangkah.

Ibu tahu? Setiap melewati sebuah gubuk, aku masih saja sering merasa ada masa lalu menatapku dari balik pintu. Aku bingung, sebab jika aku ingin melepasmu, yang kulepaskan hatiku bukan tubuh yang hilang dari pelukanmu. Atau mungkin agar kita saling menguatkan, maka diciptalah kesedihan-kesedihan dalam hidupku.

Tapi ibu jangan khawatir. Aku baik-baik saja. Erat kupeluk engkau di dalam hati, satu-satunya tempat dimana aku takkan kehilanganmu lagi walau tak mungkin berjalan di bawah hujan mengguyur kota dingin tanpa basah aku mampu mencintaimu ibu.

Aku yakin suatu hari nanti kita duduk dalam sebuah percakapan, mengenang gubuk penuh misteri, menertawakan air mata yang pernah kita tumpahkan. Ibu, rinduku kepadamu sungai api, mengalir di nadi-nadi, menyala di sepi-sepi tiada henti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun