Mohon tunggu...
Demanda Bima
Demanda Bima Mohon Tunggu... Seniman - rwa bhineda

rwa bhineda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Antara "Tahlilan", Nilai Kolektif, dan Toleransi Bangsa Indonesia

3 Agustus 2018   02:44 Diperbarui: 4 Agustus 2018   18:37 3012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk, terdiri dari berbagai suku bangsa yang menyebar di seluruh wilayah Tanah Air. Setiap suku bangsa itu mempunyai kehidupan dan kebudayaan sendiri dan berbeda antara suku satu dengan lainnya, demikian juga halnya dengan Jawa.

Akan tetapi tidak berarti bahwa masyarakat Jawa menjadi terpisah dari masyarakat yang lain. Masyarakat Jawa tetap menjadi bagian dari bangsa Indonesia, termasuk kebudayaan yang dimiliki akan menjadi kekayaan budaya bangsa.

Salah satu dari potensi kearifan lokal itu adalah ritual budaya-agama dan kegiatan tahlilan-yasinan (pembacaan Alquran surat yasin dan tahlil) dan "selamatan" yang sudah melekat pada sebagian masyarakat muslim Jawa-Indonesia.

"Selamatan" bagi masyarakat Jawa biasanya dilakukan pada hari pertama, hari ketujuh, hari keempat puluh, sampai hari keseribu. Dan semua hitungan hari bagi mereka memiliki arti yang penting (Wijaya, 1993).

Fenomena tahlilan merupakan kegiatan perkumpulan yang melibatkan orang banyak, sehingga acara ini boleh dibilang hajatan komunitas masyarakat yang kini tidak hanya dilaksanakan ketika berkaitan dengan kematian saja sebagaimana pada mulanya fenomena ini muncul. Akan tetapi kini telah mulai berkembang peran dan fungsi serta makna dari tahlilan itu sendiri.

Karena fenomena tahlilan yang merupakan realitas sosial sudah masuk pada wilayah-wilayah luas. Semisal adanya syukuran kelahiran, pindah rumah, acara arisan bahkan pada perkampungan tertentu acara Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT), PKK dan sebagainya, tidak bisa dilepaskan dari apa yang disebut fenomena tahlilan, dan biasanya ditambah yasinan (pembacaan Surat Yasin).

Tidak heran jika kini di setiap susunan perangkat ke-RT-an dan ke-RW-an ada satu Departemen atau Bidang Keagamaan yang salah satu bidang garapannya adalah melaksanakan tahlilan-yasinan yang terbentuk dalam forum jamaah tahlilan/yasinan di sebagian besar perkampungan Muslim.

Tahlil sendiri berasal dari kata Bahasa Arab Hallala-Yuhallilu-Tahlilan. Kata Tahlil merupakan kata yang disingkat dari kalimat La Ilaha Illallah yang dalam literatur ilmu Arab dikenal dengan al-Naht (Hasyiyah al-Bujairimi'ala al-Khatib dalam M. M. Khozin: 2013: 1).

Secara harfiah tahlil berarti berzikir dengan mengucap kalimat tauhid "Laa ilaaha illallah" (tiada yang patut disembah kecuali Allah), yang sesungguhnya bukan zikir yang dikhususkan bagi acara memperingati kematian seseorang.

Namun opini publik sering mengkaitkan tahlil dengan ritual kematian, karena pada acara kematian orang berkumpul- kumpul di rumah orang yang meninggal lalu berdzikir dan membaca sejumlah ayat Alquran, kemudian mendoakan orang yang meninggal.

Tradisi tahlilan merupakan tradisi yang sudah ada sejak zaman dahulu. M.Sholihin (2010) menjelaskan, bahwa tradisi tahlilan atau kendurenan, digunakan oleh Sunan Ampel untuk mengganti tradisi Jawa kuno asli, yakni salah satu upacara Yoga Tantra dalam bentuk upacara Pancamakara atau Malima yang meliputi: mamsha (daging), matsya (ikan), madya (minuman keras), maithuna (bersetubuh), dan mughra (bersemedi). Mereka melakukan upacara "Ma-lima", membentuk lingkaran yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang.

Di tengah makanan tersedia makanan, daging, ikan serta minuman keras. Setelah makan dan minum sampai mabuk, para peserta bersetubuh ramai-ramai. Setelah nafsu perut dan syahwat terlampiaskan, mereka melakukan semedi.

Tradisi tersebut pelan-pelan diganti oleh Sunan Ampel dengan kenduran, di mana upacara ritualnya terdiri dari kaum laki-laki berpakaian agamis, mengepung tumpeng minuman teh manis dan makan bersama, selebihnya dibawa pulang sebagai "berkat" (nasi barokah karena sudah mengalami penyucian melalui doa).

Ilustrasi Pribadi
Ilustrasi Pribadi
Mencermati tentang fenomena masyarakat Muslim yang beraneka ragam faham dan aliran menyisahkan beberapa hal yang menarik dan penting untuk dikaji dan diteliti. Salah satu dari keanekaragaman paham dan aliran itu lalu menciptakan karakteristik ekspresi relegi dalam bentuk khazanah budaya-agama. Atau dengan kata lain bagaimana seorang atau kelompok (jamaah) untuk mengekspresikan pengalaman religiusnya yang khas. 

Dari simbol-simbol keberagamaan itu tidak hanya sebagai pemenuhan religiusnya saja, akan tetapi lebih dari itu mampu membangun solidaritas sosial, resiliensi, bahkan bisa saja sebagai mediasi untuk kekuatan politik dan pembangunan bangsa.

Resiliensi kolektif merupakan gagasan tentang bagaimana ketahanan masyarakat dalam menghadapi tekanan dan tantangan hidup melalui pengembalian fungsi relasi sosialnya (Kirmayer et al., 2009).

Resiliensi sendiri banyak digunakan dalam istilah ekologi dan psikologi untuk menggambarkan carring capacity dan kemampuan untuk mengatasi diri dari tekanan dan stres. Seperti halnya individu, masyarakat juga memiliki kekuatan dan kelemahan dalam mengatasi permasalahan hidup dan mengusahakan keberlanjutan hidupnya.

Membangun resiliensi dengan upaya membangun manusia menuju kehidupan yang lebih sehat adalah upaya dinamis di tengah masyarakat, membangun resiliensi menyediakan ruang interaksi antara aspek psikologis manusia dengan lingkungannya (Benard, 2002). Interaksi semacam ini akan mengembalikan dan memperkuat identitas budaya (khususnya bagi masyarakat tradisional). 

Keterkaitan antara resiliensi masyarakat dan lingkungan alam, bersifat resiprokal untuk kelompok masyarakat tradisional yang masih memiliki kebiasaan mengambil dan meramu dari alam (Adger, 2000). 

Memperkuat resiliensi masyarakat tradisional selalu berfokus pada kehidupan anak-anak, keluarga mereka dan tradisi mereka dalam menjalani hidup sehari-hari yang masih terikat dengan sistem natural lingkugan alam tempat mereka hidup (Masten, 2002).

Penguatan identitas etnik pada pribadi-pribadi yang berasal dari kelompok masyarakat tradisional yang terpinggirkan menjadi penting untuk menumbuhkan rasa percaya dir, sekaligus mengembangkan kesadaran (Banks, 2010).

Mengenai agama dan politik, cara-cara yang terinci di mana agama dan politik diasosiasikan dalam berbagai masyarakat sejak lama.

Banyak ilmuan sosial memandang bahwa agama terutama berfungsi sebagai alat mengabsahkan dan melindungi kepentingan-kepentingan politik dan kelas yang telah mapan yang dilayani oleh sistem politik itu. 

Menurut pandangan ini, agama adalah kakuatan konservatif secara inhern, yang secara aktif, meningkatkan pemeliharaan orde politik dan sosial yang telah mapan.

Bahkan lebih dari itu agama atau paham keagamaan sering berfungsi sebagai panggilan berhimpun guna melakukan perubahan-perubahan besar (Sanderson, 1995).

Sayangnya fenomena yang terjadi di Indonesia, kekuatan agama dijadikan sebagai alat kekuasaan kaum elite, terbukti terjadinya peristiwa 411 dan 212 dalam memenangkan kekuasaan  di Ibu Kota untuk menjajah Indonesia yang kaya raya. Kaum Muslimin mayoritas yang aneh, tidak memerlukan formula seperti Gorbachevisme, Balkanisasi, atau Arab Spring.

Cukup sejumlah paket adu domba, tipu-tipu wacana dan program iming-iming keuangan. Tidak akan ada yang istiqamah dan telaten (sabar dan cermat) dalam menolong bangsa ini untuk dipandu memproses keseimbangan pandangan, objektivisasi atau proporsionalisasi. Kaum intelektual di level menengah tidak berdialektika dengan publik untuk proses semacam itu. 

Tidak susah untuk memasukkan mereka ke dalam jala besar tipudaya global, karena saku mereka tidak disiapkan untuk menyimpan idealisme, ideologi, atau daya juang. Melainkan dikosongkan untuk tawaran karier, akses politik, dan ekonomi.

Menurut Auguste Comte, konsensus terhadap kepercayaan-kepercayaan serta pandangan-pandangan dasar selalu merupakan dasar utama untuk solidaritas dalam masyarakat.  Tidak mengherankan kalau agama dilihat sebagai sumber utama solidaritas sosial dan konsensus.

Selain itu kepercayaan agama juga mendorong individu untuk berdisiplin dalam mencapai tujuan yang mengatasi kepentingan individu dan meningkatkan perkembangan ikatan emosional yang mempersatukan individu dalam keteraturan sosial. Ikatan emosional itu didukung oleh kepercayaan bersama dan partisipasi bersama dalam kegiatan-kegiatan pemujaan (Johnson, 1994). 

Hal ini mengisaratkan manfaat tahlilan-yasinan diyakini sebagian masyarakat sebagai media untuk menyambung budaya kekerabatan (silaturahmi) dan kerukunan antarwarga.

Berpijak dari teori di atas menunjukkan, bahwa fenomena tahlilan yang begitu luas pemaknaannya dari mulai awal muncul yang tidak bisa dipisahkan dengan adanya ritus kematian. Sebagai fenomena agama, sebagai tradisi relasi jamaah, sampai pada pembentuk integrasi sosial politik. Sedangkan sehubungan dengan masalah kematian, dari jaman primitif sampai sekarang senantiasa ditandai oleh suatu ritual. 

Robertson Smith berpendapat bahwa ritus dapat memperkuat ikatan-ikatan sosial tradisional di antara individu-individu (Geertz, 1993).

Bahkan lebih dari itu, kegiatan yasinan dan tahlilan ini mampu memjadi kekuatan pemersatu dari beberapa elemen untuk mempertahankan kemerdekaan. Maka diharapkan masyarakat Jawa mampu pula memaknai kaidah-kaidah masyarakat- nya, melalui ritual tahlil.

Perilaku nyata dari orientasi nilai adalah individu berusaha melakukan hal yang benar, menggunakan kesadarannya, dan memikirkan orang lain sama seperti ia memikirkan dirinya sendiri (Wollin, 1993).

Sehingga budaya tahlil sesuai dan diharapkan sebagai salah satu alat pemersatu umat muslim di Indonesia, dan output dari ritual tahlil adalah toleransi yang dimulai dari lingkup salah satu aliran agama dan menjadi nilai-nilai sosial di masyarakat Indonesia dengan saling mengenal dan berinteraksi satu sama lain, yang dilatarbelakangi dari nilai budaya leluhur bangsa.

Sumber Pustaka:

Adger, WN. (2000). Social and ecological resilience: Are they related?, Prog. Hum.Geogr 2000 24: 347-364

Banks, J.A. (2010). Multicultural Education: Characteristics and Goals, dalam Banks J.A., and Banks CA, (Eds.) Multicultural Education Issues and Perspectives, 7th Ed., John Wiley and Sons Inc., pp:13-15

Benard, B. (2002). Aplication of resilience: posibilities and promise, dalam Glantz MD and JL. Johnson (Ed), Resilience and Development, Positive Life Adaptation. Kluwer Academic Pub., pp: 269-276

Emha Ainun Nadjib. (2017). Masyarakat Tahlil. diakses pada 1 Agustus, 2018).

Geertz, C. (1993). Kebudayaan Dan agama, Kanisius, Cetakan II, Yogyakarta.Johnson, DP. (1994). Teori-Teori Sosiologi: Klasik dan Modern, Diindonesiakan oleh Robert M.Z. Lawang, Gramedia, Jilid I,II, Jakarta.

Kirmayer L.J., Sehdev M., Withley R., Dandeneau S.F., & C. Issac. (2009). Community resilience: Models, Metaphors and Measures, Journal of Aboriginal Health.

Masten, A.S. (2002). Resilience come of age, reflection on the past and outlook for next generation of research, dalam Glantz MD and JL. Johnson (Eds), Resilience and Development, Positive Life Adaptation. Kluwer Academic Pub., pp: 281-296

M. Khozin, Muhammad. (2013). Tahlilan Bid'ah Hasanah. Surabaya: Muara Progresif.

M, Sholihin. (2010). Ritual Kematian Islam Jawa Pengaruh Tradisi Lokal Indonesia dalam Ritual Kematian Islam. Yogyakarta: Narasi

Sanderson, Stephen K. (1995).  Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial (Edisi Kedua) dengan Kata Pengantar Hotman Siahaan. Jakarta : CV Rajawali Press (PT. Raja Grafindo Persada).

Syahirulalim. (2016). Ketika Agama Sudah Menjadi "Alat Politik".  Diakses pada 1 Agustus, 2018

Wijaya, A.W. (1993). Komunikasi dan Hubungan Masyarakat. Jakarta: Bumi Aksara.

Wollin. S. & Wollin. S. (1993). The resilient self: How survivors of troubled families rise above adversity. New York: Villard Books

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun