Bahkan lebih dari itu, kegiatan yasinan dan tahlilan ini mampu memjadi kekuatan pemersatu dari beberapa elemen untuk mempertahankan kemerdekaan. Maka diharapkan masyarakat Jawa mampu pula memaknai kaidah-kaidah masyarakat- nya, melalui ritual tahlil.
Perilaku nyata dari orientasi nilai adalah individu berusaha melakukan hal yang benar, menggunakan kesadarannya, dan memikirkan orang lain sama seperti ia memikirkan dirinya sendiri (Wollin, 1993).
Sehingga budaya tahlil sesuai dan diharapkan sebagai salah satu alat pemersatu umat muslim di Indonesia, dan output dari ritual tahlil adalah toleransi yang dimulai dari lingkup salah satu aliran agama dan menjadi nilai-nilai sosial di masyarakat Indonesia dengan saling mengenal dan berinteraksi satu sama lain, yang dilatarbelakangi dari nilai budaya leluhur bangsa.
Sumber Pustaka:
Adger, WN. (2000). Social and ecological resilience: Are they related?, Prog. Hum.Geogr 2000 24: 347-364
Banks, J.A. (2010). Multicultural Education: Characteristics and Goals, dalam Banks J.A., and Banks CA, (Eds.) Multicultural Education Issues and Perspectives, 7th Ed., John Wiley and Sons Inc., pp:13-15
Benard, B. (2002). Aplication of resilience: posibilities and promise, dalam Glantz MD and JL. Johnson (Ed), Resilience and Development, Positive Life Adaptation. Kluwer Academic Pub., pp: 269-276
Emha Ainun Nadjib. (2017). Masyarakat Tahlil. diakses pada 1 Agustus, 2018).
Geertz, C. (1993). Kebudayaan Dan agama, Kanisius, Cetakan II, Yogyakarta.Johnson, DP. (1994). Teori-Teori Sosiologi: Klasik dan Modern, Diindonesiakan oleh Robert M.Z. Lawang, Gramedia, Jilid I,II, Jakarta.
Kirmayer L.J., Sehdev M., Withley R., Dandeneau S.F., & C. Issac. (2009). Community resilience: Models, Metaphors and Measures, Journal of Aboriginal Health.
Masten, A.S. (2002). Resilience come of age, reflection on the past and outlook for next generation of research, dalam Glantz MD and JL. Johnson (Eds), Resilience and Development, Positive Life Adaptation. Kluwer Academic Pub., pp: 281-296