Sore yang lembab di bulan Mei. Sudah beberapa hari hujan tak membasahi sebuah meja, di sebuah warung, di pinggir sebuah empang. Air keabuan, gelembung-gelembung kecil sesekali memecah di permukaan. Udara beraroma campuran antara lumpur, daun kering terendam dan sisa deterjen basi.
Aku menghirup segelas kopi panas yang baru saja diletakkan, ketika Agus mengangkat telepon genggamnya untuk menunjukan sebuah gambar. Di layar sosok-sosok perempuan berpakaian tertutup, seperti pakaian yang biasa dikenakan di Timur Tengah. Dengan mata-mata saja yang nampak, bagaikan sekelompok ninja, yang berjalan tergesa-gesa. Di antara barisan sepeda motor yang dijajarkan.
"Huanjee ..!". Begitu kiranya ekpresi kerumunan ketika video singkat itu mencapai titik nadirnya. Perempuan-perempuan tadi telah berubah sekejap menjadi asap. Orang-orang berlarian karena asap-asap itu. Ada kengerian, ketakutan, kesedihan, keheranan, empati -- dan tentunya, tanda tanya yang bercampuraduk di alam pikiran.
Alam pikiran yang telah beberapa hari tercekat, mengkerut, sebelum sore di tepi empang itu. Telah sekian waktu tak ada perbincangan mengenai harga beras yang merayap, rupiah merosot, hutang meninggi, buruh-buruh impor dan beberapa persoalan negeri lainnya. Bahkan orang-orang telah melupakan berita gempar tentang dilecehkannya seorang perempuan dan anaknya yang sedang berlari pagi, di sekitar bundaran HI.
Karena kejadian “dar-der-dor-bum-bum”, akhir-akhir ini, telah menyedak di kepala. Dengan sekilas rasa syukur bahwa kepala sendiri rupanya masih utuh sebagaimana adanya. Dan dengan keselamatan itu setidak-tidaknya, seseorang dapat berada pada posisi untuk memberi empati kepada korban yang berjatuhan.
Setelah teriakan di warung kopi itu, lalu mereka mulai berbincang mengenai detil-detil horor yang baru saja disaksikan. Sesuai pengetahuan maupun background masing-masing. Ada yang takjub tentang generasi baru terorisme, yang tak dikenal sebelumnya. Ada yang tak percaya dengan kenyataan pahit itu. Dikatakannya “Bangsa kita bangsa welas asih”. Jadi perempuan-perempuan yang meledak itu, tentulah meledak karena suatu tombol yang berada sekian puluh meter dari ground zero.
Ada yang menyangkal, “Ya, bangsa kita welas asih. Namun mereka kerasukan ideologi yang tak welas asih”. “Perempuan jadi tak welas asih”. “Bahkan pada anak sendiri? “. “Ada tekniknya.”. Dan seterusnya.
Andai saja seorang petugas BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) duduk juga di warung itu, tentulah dapat memberi pencerahan pada Agus dan kawan-kawannya. Pertama tentang bagaimana seharusnya kita tidak terlalu spontan mengunduh dan menyebarkan teror-teror. Yang menandai bahwa kejadian teror itu ternyata beredar secara masif dan mandiri untuk melipatgandakan ketakutan. Viral. Yang boleh jadi merupakan (salah satu) harapan dari sang teroris.
Kedua, tentang kebijaksanaan lama yang mengatakan, dalam keadaan pengetahuan yang terbatas, semestinya warga dapat lebih banyak bertahan untuk tidak banyak berkata-kata. Biarpun ada dada yang berkecamuk untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan. Karena satu, dan lain hal.
***
Lama sudah republik ini diresahkan oleh bom-bom. Yang berwenang pun telah mengkonsolidasi diri dengan mendirikan badan-badan yang dianggap perlu untuk mengatasi hal itu. Maka tak heran, biasanya dalam sehari-dua hari, para pelaku dan calon pelaku dengan cekatan segera tertangkap. Dengan nyawa maupun hanya jasad. Termasuk yang sedang berkemas-kemas rumah kontrakannya. Dengan bom-bom yang siap rakit maupun nyaris meledak. Biasanya disertai dengan beberapa bukti pendukung. Misalnya, artikel pembuatan bom, buku-buku radikal, telefon genggam, rangkaian kabel-kabel dan seterusnya. Juga atribut lainnya yang secara gamblang mengisyaratkan terorisme, seperti bendera ISIS.
Yang berikutnya akan dilacak adalah darimana para pelaku mendapatkan bahan-bahan high explosive. Untuk resep dan rangkaian, para pelaku dapat mengunduhnya secara online. Suatu dampak buruk teknologi informasi yang harus dikaji oleh kementrian terkait.
Sedangkan bahan-bahan kimia berbahaya itu, pastilah didapat dengan suatu transaksi dengan pihak lain. Di titik ini maka peluang menjadi divergen karena, bila bahan-bahan itu didapat dari toko kimia, ada banyak sekali toko bahan kimia di negara ini. Mungkin hal itu akan terpecahkan bila ada kesaksian dari sebuah toko. Atau ada jejak-jejak otentik suatu transaksi. Misalkan nota pembelian yang ditemukan diantara bahan-bahan itu. Atau secarik struk transfer bank yang dapat membantu menentukan darimana asal bahan-bahan tersebut diperoleh.
ISIS disebut sebagai makhluk baru dalam khazanah terorisme, terutama dalam cara mengekpresikan terornya. Ideologi radikal dapat saja ditemukan di buku-buku yang dijual di toko dan di emperan. Namun untuk menerjemahkan ideologi radikal itu menjadi ledakan-ledakan teror, bom bunuh diri yang amat mencekam, ada rangkaian logika yang harus dijelaskan.
ISIS sendiri sejatinya telah memiliki medan tempur yang rumit di “negeri” nya sendiri. Karena berbagai faksi di tanah kering dimana mereka dilahirkan itu, berperang satu sama lain tanpa kejelasan untuk apa dan mengapa. Akan tetapi nampaknya kelompok itu memiliki prinsip seperti yang juga dapat ditemukan pada budaya kita yakni “jangan tanggung-tanggung”. Di luar front itu, mereka membuka front-front lain di berbagai belahan dunia, termasuk di Filipina dan Indonesia. Mereka tak pernah mendengar sebuah idiom praktis yang pernah diucapkan oleh seorang lelaki kekar bernama Prabowo: “Satu musuh terlalu banyak, seribu kawan tidak cukup”.
Dengan teror-teror kontinyu, mereka malah dengan sengaja menanam sejuta permusuhan. Pada namanya tercantum “Irak dan Syiria”, namun seolah mereka sanggup menghadapi seluruh pemerintahan di dunia beserta senjata-senjata yang high-end-nya nyaris tak terbayangkan. Semacam pemahaman yang lebih mengedepankan kuantitas. Yang penting banyaknya. Sekalipun yang banyak itu adalah musuh yang mengepung dari kiri dan kanan.
Kita saksikan mereka dalam keadaan konstan berperang dengan negara-negara, baik yang dianggap kafir maupun thoghut. Menurut sumber-sumber yang ada, ISIS menganggap seluruh perangkat negara adalah thoghut. Dari gedung DPR MPR, Pos Polisi, sampai perangkat RT. Secara sporadis, dengan waktu yang tak dapat dinyana-nyana, serangan ledakan mereka bisa mengejutkan lawan. Seperti untuk menegaskan eksistensi. Semacam pergeseran mindset ketika gerakan bawah tanah dioperasikan oleh generasi mutakhir yang terbiasa dengan jargon yang penting eksis.
Ada fenomena yang menarik bahwa sering dijumpai pelaku teror membawa identitas misalnya KTP atau KK dalam aksi mereka. Sekalangan berseloroh bahwa di tengah kebrutalan itu, terdapat setitik niat mulia untuk membantu petugas mengidentifikasi puing-puing ledakan. Namun secara spekulatif dapat dilihat bahwa hal ini adalah semacam kecenderungan umum yang terdapat pada generasi baru untuk “selfie”: diakui oleh orang-orang sekelilingnya. Hanya saja taktik ini sudah terbaca oleh media-media arus utama. Sehingga media-media itu cenderung enggan mengabarkan adanya dokumen-dokumen itu, yang mereka tinggalkan di antara puing-puing.
Dalam kenyataan tata pikir dan skill mereka yang pernah kita saksikan, betapa mengerikannya sang teror bagi kita. Bayangkan kita harus memendam rasa takut ketika melintas di sebuah pos polisi. Yang nampaknya justru target teror utama bagi si teroris. Mungkin kita bertanya-tanya mengapa mereka tidak menyerang yang mereka anggap sarang pentolan thoghut, misalnya gedung Parlemen. Penjelasan yang masuk akal adalah mereka sadar betul bahwa wilayah vital negara selalu diamankan dengan pengamanan maximum security. Terpaksa mereka lebih memilih sasaran-sasaran dengan penjagaan minim. Termasuk rumah ibadah, dimana ledakan dapat memecah belah masyarakat pada satu hal yang amat sensitif, yakni agama.
Sebuah teror klasik yang jelas-jelas akan meremukkan persaudaraan.
***
Kuhirup lagi segelas kopi itu. Sementara pikiran masih membayangkan seorang berseragam yang duduk juga di sebuah kursi. Di meja itu juga. Di sebuah warung di tepi empang.
Dalam hal menyatakan apa yang ada di pikiran, petugas BNPT itu akan wanti-wanti agar untuk sementara lebih banyak mengungkapkan kepedulian dan belasungkawa. Karena salah ucap, pada keaadaan genting, bisa saja menambah situasi semakin runyam.
Saat ini agaknya Pemerintah cukup wholistik untuk tidak fokus (saja) pada upaya penyelesaian "masalah pokok"nya. Tapi termasuk juga, rantai sebab akibat yang ditimbulkan oleh kejadian ini.
Seorang perempuan berinisial FSA di Kayong Utara, Kalimantan Barat, ditangkap beberapa hari yang lalu karena mengunggah tafsir tersendiri tentang terorisme ini. Yakni ketika masyarakat sedang berduka, tega-teganya ia membuat sindiran bernada provokatif bahwa suatu pihak yang dikatakannya sebagai "bong", adalah yang seolah-olah merancang teror, agar nama Islam tercoreng, dana turun, isu ganti presiden lenyap dan seterusnya.
Sekalangan netizen begitu geram pada ucapan-ucapan yang demikian. Seraya terpuaskan bahwasannya sudah selayaknya si perempuan, merasakan rasa bergidik tak aman, ketika ia digelandang dan diinterogasi oleh yang berwajib.
Andai saja Ibu itu pernah berguru pada ahli filsafat seperti Pak Rocky Gerung yang ternama itu, niscaya ia bisa merangkai kalimat yang lebih cocok untuk mengungkapkan pikirannya. Dalam diskursus yang pada dasarnya harus dilindungi dalam iklim demokrasi. Misalnya dia akan mengatakan, "Peristiwa itu adalah sandiwara.”
Sehingga ketika netizen mengklarifikasi pernyataan itu, secara filosofis ia bisa merujuk ke sebuah lagu Ahmad Albar yang dengan tegas mengatakan “Hidup adalah sandiwara”. Dan ketika teror itu muncul, ia juga bagian dari hidup dan kehidupan. Yang dimainkan oleh siapapun insan yang memegang peranan. Termasuk bila tragedi itu disutradarai oleh ISIS.
Di Sumatera Utara, seorang perempuan yang berinisial HD, dosen USU, telah ditangkap juga. Karena mengucapkan “Skenario pengalihan issue yang sempurna … #2019GantiPresiden”. Terbaca sebuah pemaknaan yang disebut “tak punya hati”. Dengan sedikit telaah dapat dikatakan bahwa bukan karena tak mengutuk terorisme maka perempuan itu keliru. Namun karena pada kepedihan dan kesedihan ini, ia dianggap tega untuk mengkapitalisasi kejadian itu demi aspirasi politiknya. Dan pada saat yang sama telah menyudutkan pihak lain yang kemudian menjadi korban kedua – karena dituduh sebagai konspirator.
Di zaman milenial ini, Pemerintah terpaksa mengakuisisi “ruang edukasi” baru yang harus dirambah yang bernama media sosial. Dan kelihatannya untuk mendidik warganegara di ruang ini, cara-cara klasik seperti himbauan, seruan dan sejenisnya dirasa kurang “nendang”. Maka akan ditambah lagi tumpukan berkas di kantor polisi dengan kasus-kasus pemberitaan palsu (hoax). Betapa beratnya tugas polisi di negeri kita. Ketika masalah kendaraan dan lalu lintas saja teramat banyak, para “oknum netizen”, seolah tiada henti memberi PR pada mereka dengan pengaduan-pengaduan baru.
Tentu soal soal seperti ini akan mengecualikan tokoh agama yang ternama seperti, Din Syamsudin. Sebab tokoh kaliber Din Syamsudin pastilah bukan warga negara yang perlu “diedukasi”. Sebab tak diragukan edukasinya sudah tinggi. Bila ia mengeluarkan “teori konspirasi”, tentu sudah dibungkus atau didasarkan pemikiran masak-masak yang didukung oleh rasionalitas yang cukup. Bukan hanya dari dirinya sendiri namun juga rasionalitas sebagian besar atau kecil – jutaan warga ormas Muhammadiyah dimana ia berkiprah.
Memang bila kemudian ada percakapan publik tentang siapa “dalang” dari terorisme, maka itu bisa menjadi amat liar. Meskipun bila dilandaskan pada “ilmiah murni”. Bila percakapan itu, malah melupakan empati dan simpati yang memadai kepada korban. Juga pada pihak-pihak lainnya yang merasa dikambinghitamkan. Sebab publik pun pada dosis tertentu, toh sudah terlanjur diajari oleh novel-novel populer tentang kejahatan. Seperti menghayati karakter Hercule Poirot di buku-buku Agatha Christie.
Yakni semisal dikisahkan di awal buku, ada tetangga kekar berpakaian hitam dengan tato di lengan bergambar macan. Membawa sebilah belati untuk menagih hutang pada seorang kakek berkacamata. Yang sedang memperbaiki jam wekernya, di sebuah teras yang dihiasi bunga-bunga bogenvil. Dan esok harinya, ditemukan jasad seorang kakek sedang memegang sebuah jam weker di pekarangan. Pada akhir kisah itu nanti, boleh jadi lelaki bertato itu juga yang menjadi pelakunya.
Pada kepingan bumi lain, perempuan pesohor yang berinisial NU, agaknya memiliki cara yang lebih unik dan aman. Tatkala emosinya larut pada kejadian terorisme itu. Ia katakan “akan memberi hadiah bagi penangkap teroris sebagai calon pacar”. Begitu diplomatisnya kata-kata itu sebab tentulah setiap perjaka di atas bumi ini adalah calon pacar bagi calon pacarnya masing-masing, tanpa berbuat apapun. Pernyataan seperti itu selain dianggap sebagai ungkapan simpati, juga dapat salah-artikan. Misal bahwasannya si artis, dianggap sedang mengkapitalisasi sebuah isu besar demi popularitas. Meskipun hal itu, tetap dapat dimaklumi berhubung beragamnya reaksi anak-anak manusia yang menghuni republik ini.
Tentu saja di luar kegeraman yang membuncah terhadap soal-soal di atas, ada harapan agar proses-proses penanganan gejolak emosi dan kata-kata yang ada di masyarakat, selalu mengedepankan azas-azas demokrasi maupun praduga tak bersalah. Karena boleh jadi, para teroris akan bersukaria ketika ada semakin banyak anak-anak bangsa yang diciduk. Bagaimanapun, keadaan terciduk, adalah peristiwa yang mencemaskan bagi diri maupun keluarganya. Suatu kecemasan tanpa si teroris harus merakit dan menekan sebuah tombol.
Kita bisa membayangkan bahwa Pemerintah membentuk suatu biro khusus saja, untuk menangani kasus-kasus berita palsu. Sehingga biro itu dapat mengumpulkan netizen-netizen yang terbawa emosi ke dalam suatu ruang penyuluhan. Yang dihadiri oleh ulama, psikiater, babinsa dan aparat lain yang dirasa perlu.
Bila“konflik-konflik” tersebut menjamur dan direspon berlebihan, teroris seolah mendapatkan bonus dari akibat yang mereka harapkan. Yakni ketika demokrasi yang mereka sebut thoghut itu, sebagai sistem buatan manusia, ternyata memang amat rapuh dan rentan terhadap serangan.
***
Udara masih saja lembab, di sekitar meja, di warung kopi itu. Meskipun matahari sudah semakin rendah di barat sana. Tegukan kopi terakhir kuhirup dengan desisan untuk tidak menyertakan ampas-ampas yang akan terasa pahit di tenggorokan.
Masih terbayang juga, andaikata ada petugas BNPT di sini, maka kerumunan itu dapat bertanya mengenai soal-soal di masa depan. Yakni bagaimana nantinya aparat menangani kejadian-kejadian teror. Supaya warga negara dapat mengkomentari secara baik dan benar pada masalah tersebut. Tanpa antusiasme berlebih sedemikian hingga terpaksa, sebagian warga negara dikandangkan karena komentar mereka tentang sebuah kasus terorisme.
Kita dapat bertanya pada si petugas. Apabila ada kejadian yang menyerupai kisah Tunggul Ametung. Bolehkah kita bertanya adakah Ken Aroknya. Dimana Mpu Gandringnya? Apakah pertanyaan-pertanyaan itu produktif atau tidak. Dan apakah spekulasi untuk menjawabnya, dapat mengakibatkan perempuan-perempuan dilarikan ke ruang interogasi.
Supaya kita mengerti batas dan hidup tetap berjalan normal. Dan terorisme itu benar-benar gagal mencapai tujuannya. Termasuk gagal mengadu domba antara Pemerintah dengan warganya sendiri.
Sehingga untuk setiap saat, air dan kopi pun tetap tenang di sebuah gelas di sebuah warung. Seperti tenangnya air empang yang hanya menghembuskan gelembung-gelembung kecil. Pada udara dingin dan panas. Bercakap-cakap soal udara, dingin dan panas. Membicarakan sedikit hal yang bisa disumbangkan agar rupiah perkasa kembali.
Tentang belajar keras agar tidak diserobot ruang kerja oleh buruh-buruh asing. Tentang mencari makanan pengganti supaya negeri tidak tergantung sepenuhnya pada nasi.
Sehingga pada di bulan Mei berikutnya, tetap ada segelas kopi panas. Dan beberapa gelas lain untuk Agus dan teman-temannya.
Di atas sebuah meja, di warung kecil di tepi empang. Dimana udara dingin dan panas berhembus silih berganti. [DMD]
--Bantaran Kali, Mei 2018.
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H