Dalam hal menyatakan apa yang ada di pikiran, petugas BNPT itu akan wanti-wanti agar untuk sementara lebih banyak mengungkapkan kepedulian dan belasungkawa. Karena salah ucap, pada keaadaan genting, bisa saja menambah situasi semakin runyam.
Saat ini agaknya Pemerintah cukup wholistik untuk tidak fokus (saja) pada upaya penyelesaian "masalah pokok"nya. Tapi termasuk juga, rantai sebab akibat yang ditimbulkan oleh kejadian ini.
Seorang perempuan berinisial FSA di Kayong Utara, Kalimantan Barat, ditangkap beberapa hari yang lalu karena mengunggah tafsir tersendiri tentang terorisme ini. Yakni ketika masyarakat sedang berduka, tega-teganya ia membuat sindiran bernada provokatif bahwa suatu pihak yang dikatakannya sebagai "bong", adalah yang seolah-olah merancang teror, agar nama Islam tercoreng, dana turun, isu ganti presiden lenyap dan seterusnya.
Sekalangan netizen begitu geram pada ucapan-ucapan yang demikian. Seraya terpuaskan bahwasannya sudah selayaknya si perempuan, merasakan rasa bergidik tak aman, ketika ia digelandang dan diinterogasi oleh yang berwajib.
Andai saja Ibu itu pernah berguru pada ahli filsafat seperti Pak Rocky Gerung yang ternama itu, niscaya ia bisa merangkai kalimat yang lebih cocok untuk mengungkapkan pikirannya. Dalam diskursus yang pada dasarnya harus dilindungi dalam iklim demokrasi. Misalnya dia akan mengatakan, "Peristiwa itu adalah sandiwara.”
Sehingga ketika netizen mengklarifikasi pernyataan itu, secara filosofis ia bisa merujuk ke sebuah lagu Ahmad Albar yang dengan tegas mengatakan “Hidup adalah sandiwara”. Dan ketika teror itu muncul, ia juga bagian dari hidup dan kehidupan. Yang dimainkan oleh siapapun insan yang memegang peranan. Termasuk bila tragedi itu disutradarai oleh ISIS.
Di Sumatera Utara, seorang perempuan yang berinisial HD, dosen USU, telah ditangkap juga. Karena mengucapkan “Skenario pengalihan issue yang sempurna … #2019GantiPresiden”. Terbaca sebuah pemaknaan yang disebut “tak punya hati”. Dengan sedikit telaah dapat dikatakan bahwa bukan karena tak mengutuk terorisme maka perempuan itu keliru. Namun karena pada kepedihan dan kesedihan ini, ia dianggap tega untuk mengkapitalisasi kejadian itu demi aspirasi politiknya. Dan pada saat yang sama telah menyudutkan pihak lain yang kemudian menjadi korban kedua – karena dituduh sebagai konspirator.
Di zaman milenial ini, Pemerintah terpaksa mengakuisisi “ruang edukasi” baru yang harus dirambah yang bernama media sosial. Dan kelihatannya untuk mendidik warganegara di ruang ini, cara-cara klasik seperti himbauan, seruan dan sejenisnya dirasa kurang “nendang”. Maka akan ditambah lagi tumpukan berkas di kantor polisi dengan kasus-kasus pemberitaan palsu (hoax). Betapa beratnya tugas polisi di negeri kita. Ketika masalah kendaraan dan lalu lintas saja teramat banyak, para “oknum netizen”, seolah tiada henti memberi PR pada mereka dengan pengaduan-pengaduan baru.
Tentu soal soal seperti ini akan mengecualikan tokoh agama yang ternama seperti, Din Syamsudin. Sebab tokoh kaliber Din Syamsudin pastilah bukan warga negara yang perlu “diedukasi”. Sebab tak diragukan edukasinya sudah tinggi. Bila ia mengeluarkan “teori konspirasi”, tentu sudah dibungkus atau didasarkan pemikiran masak-masak yang didukung oleh rasionalitas yang cukup. Bukan hanya dari dirinya sendiri namun juga rasionalitas sebagian besar atau kecil – jutaan warga ormas Muhammadiyah dimana ia berkiprah.
Memang bila kemudian ada percakapan publik tentang siapa “dalang” dari terorisme, maka itu bisa menjadi amat liar. Meskipun bila dilandaskan pada “ilmiah murni”. Bila percakapan itu, malah melupakan empati dan simpati yang memadai kepada korban. Juga pada pihak-pihak lainnya yang merasa dikambinghitamkan. Sebab publik pun pada dosis tertentu, toh sudah terlanjur diajari oleh novel-novel populer tentang kejahatan. Seperti menghayati karakter Hercule Poirot di buku-buku Agatha Christie.
Yakni semisal dikisahkan di awal buku, ada tetangga kekar berpakaian hitam dengan tato di lengan bergambar macan. Membawa sebilah belati untuk menagih hutang pada seorang kakek berkacamata. Yang sedang memperbaiki jam wekernya, di sebuah teras yang dihiasi bunga-bunga bogenvil. Dan esok harinya, ditemukan jasad seorang kakek sedang memegang sebuah jam weker di pekarangan. Pada akhir kisah itu nanti, boleh jadi lelaki bertato itu juga yang menjadi pelakunya.