Mohon tunggu...
Demadi
Demadi Mohon Tunggu... -

Habis tangis, kering tawa. Jejak perjalanan. Serpihan-serpihan. Dihidangkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Doa Memanggil Sendal Jepit

26 April 2018   06:30 Diperbarui: 26 April 2018   10:32 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sendal jepit - dokumen pribadi

Kira-kira sepuluh tahun yang lalu, kita pernah akrab dengan ungkapan yang melibatkan sendal jepit. Yakni ketika dikatakan, "Walaupun SBY dipasangkan dengan sendal jepit, akan menang". Maknanya bahwa pemimpin kala itu telah berhasil meninabobokan masyarakat. Entah dengan memelihara stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Menaikkan dan menurunkan premium berkali-kali. Atau dengan meluncurkan lagu-lagu baru.

Dikatakan kala itu, "Negara Auto Pilot". 

Adakah yang telah mencuri dengar dari ucapan seseorang yang berkata, "Jangan pernah merasa lebih pintar dari masyarakat". Di negara autopilot pemimpin begitu yakin pada rakyatnya. Dan memang negara ini sediaan orang pintar, sudah melebihi ambang yang diperlukan. Jadi agak aneh kalau akhir-akhir ini ada kehendak untuk men-drop negara ini dengan TKA yang katanya kemampuannya melebihi rata-rata.

Sendal jepit itu, semacam simbol kepuasan masyarakat. Yang merasa tidak terlalu diganggu. Mungkin saja lagu-lagu itu sedikit menganggu. Tapi itu kalau didengar terlalu lama saja. Saat itu masyarakat tidak dicekoki dengan doktrin yang berapi-api. Mengenai bagaimana negara harus ditata. 

Tentang kereta api yang wajib secepat kilat, misalnya. Soal laut, yang konon dapat diubah menjadi jalan bebas hambatan. Soal jalan tol yang dapat memakmurkan dan dapat menyengsarakan. Tentang masyarakat setengah bodoh, yang dapat disubsidi dengan tenaga kerja asing. Tentang ide-ide pintar lainnya.

Saat itu, masyarakat amat dipercaya. 

Bukankah kelak ada yang berucap "Jangan merasa lebih pintar dari masyarakat". 

Hari ini, seharusnya lagu sendal jepit itu diputar kembali. Namun ia tak terdengar. Sayup-sayup pun tidak. Sebab hari ini kita tidak ingin bernyanyi. Apalagi memikirkan sendal jepit.

Bukan langkah kaki yang kita cemaskan. Karna boleh jadi, tanah yang kita diami sedang gemetar. Ketika paku-paku raksasa ditanamkan menghunjam  rahim bumi. Namun kita tak yakin benar, apakah paku-paku itu akan mengokohkan, mengukuhkan pijakan kita. Dan sudah, paku-paku itu sebagian runtuh. 

Ambrol. Ketika tinta untuk mencatat hutang paku itu, belum kering dari kuitansinya. Belum lagi catatan-catatan kaki di kuitansi itu. Oh, perih sungguh. (Jangan katakan ini pada Ibu Pertiwi, nanti ia menangis).

Kita membayangkan sendal jepit yang lain. Yang Lain.

Yang Lain, ialah sesuatu yang kita akrabi selama ini.

Yang Lain adalah ilham dari mula-mula kehidupan. Ketika si bayi merasa dunianya sedang merapuh. Kimia dalam tabung kehidupan itu makin tak bersahabat. Kemudian ia menjejak - pada perjudiannya yang sakral. Merayapi takdir supaya dapat memecah tangis. Di kehidupan yang baru. Keriuhan Yang Lain. Keheningan yang baru didengarnya.

Yang Lain ialah cita-cita. Bila setiap jiwa hendak melampaui keadaannya setiap saat. Menuju Yang Lain. Setidak-tidaknya melampaui hari ini, untuk esoknya. Bila matahari terbit kembali. 

Dikatakan "mari kita nikmati hari ini". Sebab rindumu pada esok, selalu memanggil.

Yang Lain adalah arah, ketika kesadaran seseorang menetas. Ia jadi tidak melulu mengurus dirinya.  Ia berpaling ke sekitarnya. Ksatria yang turun gunung. Entah ia akan berbagi kebaikan atau kesengsaraan.

Yang lain adalah solusi. Ketika kita sudah buntu. Maka kita mencoba-coba. Salah. Coba lagi. Salah lagi. Coba lagi dan seterusnya. Sehingga Yang Lain itu seperti ruang tanpa batas yang menyediakan jawaban. Meskipun menjelajahnya, butuh kesabaran.

Bahkan Yang Lain adalah yang juga menuntun pada Tuhan. Bila seorang anak manusia mencari, menengadah ke arah langit. Ke arah lain dari apa-apa yang sudah biasa. Kalau-kalau di sana ada sebuah noktah, titik terang yang berisi keterangan.

Tetapi hari ini kita tidak mencari Tuhan (sudah ketemu), kita hanya membutuhkan sepasang sendal jepit.

Yang asli (di pasaran banyak sendal palsu). Nanti kita bikin selamatan. Taburi kembang. Supaya sendal jepit itu kokoh. Kalau kita melangkah, Bumi merestui. Berkahnya menghapus kutukan paku-paku palsu. Menggetarkan bahaya yang sedang nyaru jadi kupu-kupu. Agar Jaelangkung enggan datang tanpa undangan. Dan akan pergi dengan sendirinya.

Inilah doa memanggil sendal jepit.

Soal sepatu-sepatu robek itu, ya sudah. Anggap saja sebagai pembelajaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun