"Aku berkeliling jagad, melaksanakan tugas yang telah Kau embankan kepadaku. Dan sampailah aku di bumi. Kupandangi setiap wajah mereka yang lalu lalang, mengisi hidup mereka dengan apa yang mereka bisa lakukan. Wajah mereka berbeda-beda, tetapi masing-masing selalu memiliki keseimbangan yang bijaksana. Namun suatu ketika, mataku seperti sebuah kapal yang tak sengaja terlepas jangkarnya. Terpaku kuat di permukaan samudera, oleh patokan yang jauh berada di dasar sana. Seorang perempuan bernama Alexandria, yang memaku mataku tanpa daya. Sekejap diriku melarut, kehilangan segala inderanya, seakan terhisap pusaran pesonanya, menyatu dengan dirinya sedemikian rupa, sehingga Mikhael seperti tak pernah tercipta. Di penjuru jantungku mengembang sebuah tanda seru, namun di penjuru lain mengembang sebuah tanda tanya. Sudah tidak adilkah Engkau yang dulu Sang Maha Adil? Sudah tidak seimbangkah Engkau yang dulu Maha Imbang? Jika Kau masih Sang Maha Adil, mengapa Kau ciptakan Alexandria dengan begitu sempurna dibandingkan semuanya? Jika Kau masih Sang Maha Imbang, mengapa Kau bentuk Alexandria melebihi equilibrium yang ada?"
Kali ini Tuhan tidak tertawa. Dia meraih ujung-ujung jari Mikhael, membawanya menghampiri bebatuan di pinggir sebuah kolam berkilau, dan mengajak Mikhael duduk bersama di sebuah batu datar yang cukup panjang. Awan putih mengaburkan mata benak Mikhael. Aura kepemimpinannya menuntut jawaban lugas, sebagaimana biasanya terjadi ketika dia memimpin balatentara Surga untuk berperang. Selaput ketegasannya meminta kecepatan, sebagaimana lazimnya terjadi ketika dia mengatur jadwal jaga anak buahnya. Namun benih keingin tahuannya mengendapkan semua itu, sehingga dia mengikuti alur tenang yang disajikan Sang Maha Raja di hadapannya. Kalimat Sang Maha Raja menyentakkan kesepian suasana sebelumnya:
"Mikhael, Aku akan katakan padamu sebuah rahasia, falsafah dan kebijakan sebuah penciptaan. Sari dari segala ilmu ketuhanan dan ilmu kealaman. Sesungguhnya, Aku bukanlah Sang Maha Adil."
Mikhael tercekat. Bulu kuduknya melonjak. Telapak tangannya secara reflektif meremas hulu pedang apinya yang sejak tadi disarungkannya di pinggang kanannya. Giginya gemeretak, dan tulang rahangnya terlihat menonjol keluar dari pipinya. Tiada halilintar yang mengejutkannya, tiada peluru musuh yang ditembakkan kepadanya. Hanya sebuah kalimat halus dari Tuhannya itu saja.
"Engkau bukan Sang Maha Adil? Jika saja bukan Engkau yang mengatakan ini, aku pasti sudah menyobek mulutnya dan membakar lidahnya dengan pedang Panglimaku ini, Tuhan. Apa maksudMu berkata seperti itu?"
"Jikalau Aku Maha Adil, Aku wajib menciptakan hakikat kejahatan, untuk mengimbangi segala hakikat kebaikan yang telah Aku ciptakan. Jikalau Aku Maha Imbang, Aku wajib menciptakan hakikat keburukan, untuk melaraskan segala hakikat keindahan yang telah Aku lahirkan. Tapi sudahkah engkau perhatikan dengan teliti, bahwa tiada satupun kejahatan yang aku ciptakan, dan tiada satupun keburukan yang aku lahirkan?
Aku tidak menciptakan sebilah rumput untuk tujuan sekedar memenuhi nafsu makan seekor sapi. Aku menciptakan rumput dengan hidupnya sendiri, bukan sekedar demi hidup mahluk lain. Aku tidak menciptakan sapi untuk memuaskan rasa lapar seekor harimau. Aku menciptakan sapi dengan hidupnya sendiri, bukan sekedar demi hidup sang harimau.
Mereka memangsa karena mereka harus makan untuk bertahan hidup, bukan untuk mengklaim kepemilikan mereka atas mangsanya tersebut. Seekor harimau tidaklah berhak menguasai seekor sapi jika dia tidak butuh memakannya. Sebagaimana seekor sapi juga tidak berhak untuk merajai rerumputan jika dia tidak lapar lagi.
Mereka sendirilah yang menciptakan equilibrium, Mereka sendirilah yang menetapkan hukum keseimbangan. Tidak ada kejahatan ketika seekor sapi memakan sejumput rumput, dan tiada keburukan ketika seekor harimau memangsa seekor sapi. Bukankah itu memang kebutuhan mereka?"
Mikhael agak memiringkan dagunya, otaknya mengakses sisi otak kognitifnya untuk mencerna kalimat-kalimat Tuhannya. Kerutan di dahinya berangsur-angsur merata kembali, sebelum dia kembali menumpahkan rasa penasarannya kembali pada Tuhan:
"Hmmm... lalu bagaimana dengan Alexandria? Bagaimana dia bisa menjadi sesempurna itu sedangkan banyak manusia lain yang buruk di sekitarnya?"
"Aku tidak pernah menciptakan manusia buruk, sebagaimana Aku tidak pernah menciptakan manusia jahat. Manusia menjadi buruk, karena mereka MENYERAH pada keterbatasan konsep buruk yang ada pada kepala mereka sendiri."
Tuhan merangkul pundak Mikhael, dan sekejap mereka berpindah tempat ke sebuah jalanan di kota Paris. Tampak ratusan orang menaiki mobil-mobil mewah, maupun ribuan orang yang berjalan kaki, dengan memakai berbagai mode pakaian yang terbaru di bumi. Tuhan menuntun pandangan Mikhael ke salah satu manusia yang berjalan di sana. Perempuan itu bertubuh gemuk, memakai sebuah topi wool hitam, mengenakan mantel coklat panjang yang hampir menutupi celana panjang katun putihnya. Perempuan itu berjalan menunduk, seperti sedang meniti langkahnya dengan hati-hati di sebuah jembatan benang. Dia berjalan tanpa pernah melihat ke orang-orang yang berpapasan dengannya, bahkan terhadap seorang lelaki yang dengan ramah memberinya jalan ketika mereka berpapasan di sebuah pintu putar sebuah hotel. Tuhan kembali berkata:
"Lihat itu. Mereka yang merasa gemuk di belahan bumi tertentu, MENYERAH pada keterbatasan pikiran mereka akan indah dan buruk, dan pada akhirnya menyebut diri mereka buruk. Dan keterbatasan pikiran tersebut jugalah, yang akhirnya menyebabkan sikap mereka menjadi benar-benar buruk. Kau lihat bagaimana dia berjalan? Sungguh-sungguh tidak menarik. Kau perhatikan bagaimana dia bersikap pada lelaki yang menghargainya tadi? Benar-benar tidak tahu berterimakasih pada orang lain yang menghormatinya. Padahal jika saja mereka mau memperluas wawasan mereka, pada kenyataannya diri mereka tetap dihargai dengan baik, walaupun mereka bersikap tidak baik. Bahkan di belahan bumi lain, justru mereka yang gemuklah yang dipandang sebagai manusia sempurna.
Demikian pula dengan banyak orang yang saat ini melakukan terapi pigmen kulit hanya demi memutihkan kulit, meminum anabolic steroid untuk memperbesar massa otot, menjalankan operasi pembesaran payudara, memakan pil pembesar kelamin, dan lain sebagainya.
Mengertikah engkau, bahwa BUKANLAH AKU yang membuat differensiasi indah-buruk itu, tapi mereka sendiri yang menyerah pada konsep picik mereka tentang apa yang indah dan apa yang buruk itu, dan kemudian memilih bersikap mencela diri mereka sendiri."
Mikhael kembali terpana mendengar kisah dari Tuhan. Pikirannya berputar sekencang mungkin untuk meresapi setiap makna yang disampaikanNya. Tiba-tiba, matanya terasa perih. Tanpa sadar, Mikhael lupa mengedipkan matanya sama sekali, begitu terpusatnya perhatiannya pada pikirannya saat itu. Dia menutup matanya sejenak, membiarkan kedua kelopak matanya melakukan tugasnya membasuh dan melembabkan bola matanya, sambil mengalirkan kembali gejolak hatinya yang sempat bergolak tadi. Setelah rasa perih itu berangsur melarut, Mikhael kembali membuka matanya. Bulu kuduknya kembali menegang, dan telapak tangannya kembali meremas pangkal pedang apinya. Mikhael terperanjat pada apa yang dilihatnya.
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H