iksi adalah jenis tulisan yang hanya berdasarkan imajinasi. Dia hanya rekaan sipenulisnya. Jadi, jenis-jenis karya seni berikut ini merupakan karya Fiksi : Cerita pendek (cerpen), novel, cerita sinetron, telenovela, drama, film drama, film komedi, film horor, film laga.
Nonfiksi adalah tulisan-tulisan yang isinya bukanlah fiktif, bukan hasil imajinasi/rekaan si penulisnya. Dengan kata lain, nonfiksi adalah karya seni yang bersifat ofktual. Hal-hal yang terkandung di dalamnya adalah nyata., benar-benar ada dalam kehidupan kita. Jadi, jenis-jenis karya seni berikut ini merupakan karya nonfiksi : Aetikel, opini, resensi buku, karangan ilmiah, skripsi, tesis, tulisan-tilisan yang berisi pengalaman pribadi si penulisnya (seperti diary, chiken soup for the soul, laporan perjalanan wisata), berita di koran/majalah/tabloid, film dokumenter, dan masih banyak lagi.
Â
Defenisi diatas saya copy paste dari blog milik Fahreza Wirawan ini linknya.
http://fahrezawirawan.blogspot.co.id/2013/10/perbedaan-fiksi-dan-nonfiksi.html
tanpa merubah satupun kata di dalamnya. Saya copy paste lurus... jujur toh..tidak tipu-tipu macam iklan di televisi....
Â
Maksud saya adalah bukan memprotes defenisi adau eksistensi fiksi, fiksi sendiri memiliki pengaruh besar terhadap sejarah perkembangan hidup manusia dari zaman kezaman. Dengan berfiksi orang bisa mengkritisi pemerintah misalnya, atau menghadirkan ajaran moral bagi masyarakat penikmat dan sebagainya.
Karya sastra yang dicipta menghadirkan hiburan dengan pesan moral yang terkandung di dalamnya...trus kalau orang-orang pada malas membaca? bagaimana... anak-anak sekolah saja... (ini di tempat saya mengajar) tak pernah membaca. saya temukan hal ini ketika mengajarkan materi tentang cerpen di kelas X..(begini-begini guru Bahasa Indonesia loh hehehe) Begitu menugaskan anak-anak untuk mencari contoh cerpen di surat kabar, tidak ada yang sesuai, korannya memang sudah dibawa akan tetapi yang diclipping bukan cerpen.
Ini pertanda bahwa kehadiran fiksi itu hanya menghadirkan kritik sastra... sementara masyarakat penikmat sebagai konsumen sastra jarang kita temui bahkan hampir tidak ada. masa sih.... bisa mengambil kesimpulan dari populasi yang di dalamnya dihuni oleh abg-abg alay yang malas membaca....
dan sempat berpikir untuk melakukan penelitian tindakan kelas disini......
Â
Karya sastra berupa cerpen dianggap sebagai tipuan belaka (menurut saya), orang gila tak ada kerjaan ngarang-ngarang cerita bikin orang lain sedih..bikin orang lain menangis, bahkan tak jarang ada yang marah-marah. asyik juga
saya sendiri mencoba menulis sebuah cerpen, cerpen tersebut tidak saya publikasikan ke media cetak atau media online seperti di kompasianer ini, tetapi saya print out, pokoknya editingnya mantap habis lebih profesional dari editor tulisan di koran,
Iseng-iseng, saya print out tulisan itu karena bukan disengajakan tapi memang kita tahu bahwa di kampung surat kabar harian saja baru akan kita lihat untuk membacanya saat membeli sesuatu di pasar dan para pedangan membukusnya dengan koran bekas yang buat kita itu ada berita di koran. percuma bicara publikasi kan?
nah.... karena saat itu di rumah kakak saya ada printer sambil menguji kemampuan saya untuk bisa mengetik dan mencetak sendiri, maka hasil karya saya itu saya cetak..lalu sengaha saya simpan di atas meja komputer...
owh my gosg.....setelah tulisan itu dibaca sama kakak saya dia marah-marah..
kau ini....bikin malu saya..kau tulis disini bilang begini-begini...ah....
padalah saya sudah tulis dengan menyamarkan nama dan sebagainya loh..nah lu.....
(mestinya tidak saya print tapi diam-diam saya publikasikan ke kompasiana) emang waktu itu di kampung sudah ada internet...? oh no....
oh tidak kakak..ini sastra ini fiksi ini khayalan...kesamaan nama tokoh watak dan cerita hanyalah kahayalan belaka tidak bermaksud menyinggung pihak tertentu kecuali pemerintah.begitulah saya berusaha menenangkan suasana karena saat itu situasi di rumah kakak menjadi siaga berapa ya kalau itu gunung berapi mungkin siaga satu kah?
kakak......saya menulis itu dengan tujuan untuk Menkritisi pemerintah dalam hal ini puskesmas setempat dimana polindes di kampung sana, saat itu tak pernah berpenghuni... bidannya datang di hari kamis..dan begitu hari jumat langsung kembali ke kota dengan alasan listrik air sinyal tidak tersedia disini..dan bidan desa itu kan istri kakak.......kakak kan yang biasa antar jemput kan.... dan kelalaian bidan desa yang adalah isteri kakak ini.. kakek kita tidak tertolong saat terluka parah dan membutuhkan pertolongan pertama pada kecelakaan. dikampung sana pertolongannya palingan kan ditempeli daun pepaya tua...
kalau saja saat itu ada bidan desa di polindes kan bisa dikasi antibiotik berdosis tinggi atau apalahh
tapi itu kan takdir kan kak? oh... kesedihan itu muncul lagi...
kami lalu berpelukan....ya ya...mestinya waktu itu ada kakak dan isteri kakak si bidan desa itu yang sempat jadi primadona di kalangan para pemuda di desa kami ....mereka harus bertaruh tampang untuk berani menggaet hatinya...
kakak saya menjadi pemenang dalam proses perebutan hati si bidan desa ini karena apa.... dia punya sepeda motor...matreeeeeeee kau bidan..heheheheh..kakak ipar saya loh.....
Â
.... karena apa saya tidak tahu...saya bermaksud menulis itu bukan menuduh isteri kakak yang berarti kakak termasuk terdakwa dalam kasus ini...e
nah.... setelah dicegat karena ada kesamaan tokoh dan jalan cerita oleh kakak saya yang otoriter ituuuuu
maka saya berpikir untuk mengarang-ngarang cerita dengan memperhatikan teori sastra saat masih duduk di bangku kuliah. Teori sastra dan bagaimana menulis cerita pendek dan sebagainya...ah..orang tidak kuliah Teori sastra bisa tulis cerpen, harusnya saya juga bisa menipu dengan berkhayal......tapi kan sambil berkhayal harus ada juga kisah-kisah nyata yang diselipkan disana
menipu dengan bermulut manis... cerita mengada-ada untuk membangkitkan emosi para penikmat..dan justru ketika selesai membaca hanya timbul para kritikus sastra..... kritikus kecil sampai kritikus besar..yang kecil langsung berkomentar tanpa alasan dan tolak ukur ilmu...ah cerita jelek...ah ini omong kosong.... kritikus yang besar pasti menyiapkan segala teori dan dasar pemikiran untuk bisa menghadirkan artikel baru untuk mengkritisi cerpen itu...itu kritikus sastra
dan.... cerpen yang saya buat dengan teori sastra itu..sampai saat ini masih dalam tahap editing....saking bagusnya editingnya sudah sejak saya duduk di bangku SMA...kalau kelas dua sma di tahun 2004 berarti sekarang proses editingnya sudah memakan waktu kurang lebih dua belas tahun...ah masa bodoh... pokoknya itu sudah.....
Â
lalu saya sebagai pengarang cerita begitu bangga kalau banyak yang membaca..oh padahal tidak..... mempublikasikan saja aku tak mampu....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H