Seorang ibu pasti ingin memberikan ASI kepada buah hatinya, namun terdapat beberapa kondisi dimana ibu tidak dapat memberikan ASI. Donor ASI diberikan dari seorang ibu yang bukan biologis kepada bayi orang lain dan dapat berperan sebagai alternatif untuk mendukung ASI Eksklusif asalkan disikapi dengan bijaksana agar upaya tersebut memberikan manfaat dan bukan sebaliknya. Â Hal ini disebabkan karena beberapa penyakit dapat ditularkan melalui ASI.
Saat ini, sudah banyak literatur terkait donor ASI yang menyertakan edukasi terkait syarat yang harus dilalui Ibu sebeLum mendonorkan ASI nya, seperti melakukan penapisan I dan penapisan II.Â
Namun jika syarat penapisan sudah dilakukan apakah diperbolehkan jika pendonor ASI dari Ibu Non-Islam?
Secara umum, para ulama sepakat bahwa hukum menyusui dalam Islam membawa konsekuensi besar. Apalagi, ketika donor ASI berasal dari ibu non-Islam, terdapat 2 sudut pandang yang cukup tajam berbeda di kalangan ulama.
1. Sudut padang yang mengkhawatirkan Donor ASI dari Ibu Non-Islam menurut pandangan Islam
Beberapa ulama berpandangan bahwa pandonor ASI dari Ibu Non-Islam tidak dibenarkan, dari penjelasannya akan dikhawatirkan terkait ketercampuran nasab dan dapat menjadi masalah dalam penentuan status mahram yang dapat berpotensi komplikasi hukun dalam keluarga dan pernikahan, seperti keterangan berikut:
Artinya: Jika seorang muslim disusui oleh (kafir) dzimmi sampai mencapai susuan yang menjadikannya mahram (memenuhi kriteria radla'ah), maka anak-anaknya dan mahram terkait seluruhnya haram dinikah sebagaimana keluarga kandung, karena nash-nash hukum tidak membedakan antara anak susuan muslim maupun kafir.
Selain itu adapun masalah yang dapat beresiko yaitu terpengaruh dengan aqidah dan budaya ibu pendonor ASI. Hal itu dapat saja terjadi karena hubungan emosional dan psikologis yang terbentuk melalui proses menyusui.
2. Sudut pandang yang mengizinkan Donor ASI dari Ibu Non-Islam
Di sisi lain, terdapat pendapat yang lebih fleksibel yang mengizinkan donor ASI dari ibu non-Islam dengan beberapa syarat. Misalnya, apabila donor ASI tersebut diperlukan untuk kesehatan dan kesejahteraan bayi, dan tidak ada pilihan lain yang lebih baik, maka donor ASI dapat diterima dengan catatan bahwa bayi tersebut tetap diberi Pendidikan agama dan pengasuhan yang sesuai dengan ajaran Islam. Dalam pandangan ini, penting untuk menjaga agar bayi yang disusui tetap terjaga aqidah dan moralitasnya, meskipun ASI berasal dari ibu non-Islam. Selain itu pendapat ini juga berpegang pada hak ibu dalam menyusui dalam QS al-Baqarah [2:233] berbunyi:
"Para ibu menyusui anak-anak mereka selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban bagi bapak adalah memberi makan dan pakaian kepada ibu-ibu itu dengan cara yang ma'ruf. Tidak ada beban bagi seorang ibu dan tidak pula bagi bapak terhadap anak mereka, dan warisan pun harus diberikan." (QS al-Baqarah [2:233])
Artinya: Ayat ini mengatur tentang kewajiban ibu menyusui anaknya selama dua tahun dan peran ayah dalam menyediakan nafkah. Meskipun ayat ini tidak menyebutkan donor ASI, namun ia menegaskan pentingnya peran ibu dalam proses menyusui, yang bisa menjadi dasar untuk mempertimbangkan hubungan mahram antara anak dan ibu yang menyusui.
Kesimpulan:
Dengan demikian, meskipun tidak ada larangan eksplisit dalam al-Qur'an terkait penerimaan donor ASI dari ibu non-Islam, prinsip dasar hukum Islam terkait menyusui dan hak anak dapat memberikan ruang untuk penilaian yang lebih fleksibel, asalkan tetap mempertimbangkan maslahat dan keberlanjutan pendidikan agama untuk anak yang bersangkutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H