Mohon tunggu...
Delisa PramitaPutri
Delisa PramitaPutri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Tautau udah semester 7

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

UKT di Tengah Pandemi: Wujud Kapitalisasi Pendidikan

8 Juli 2021   09:35 Diperbarui: 8 Juli 2021   09:41 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika uang bukanlah segalanya, mengapa kini untuk meraih pendidikan segalanya seolah membutuhkan uang?

Begitulah kiranya pertanyaan yang tepat, untuk menggugat dunia pendidikan kita yang disadari ataupun tidak, telah lama menerapkan praktek kapitalisasi bagi warganya sendiri. Salah satu kasusnya yang paling nyata dan terjadi belakangan ini adalah terkait kewajiban pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) di tengah pandemi bagi para mahasiswa/i di setiap perguruan tinggi. Uang Kuliah Tunggal atau UKT sendiri merupakan suatu sistem pembayaran uang kuliah per semester yang berlaku di seluruh perguruan tinggi negeri (PTN). Sistem pembayaran UKT mulai diberlakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sejak 2012.

Pemberlakuan sistem tersebut bertujuan untuk meringankan beban mahasiswa yang berkuliah. Maka dari itu, pungutan biaya UKT dilakukan setiap semester dengan jumlah uang yang tetap. Namun mahasiswa diperkenankan mengajukan penurunan UKT apabila mengalami perubahan kondisi ekonomi secara signifikan. Hal ini telah diatur berdasarkan Permenristekdikti (Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi) Nomor 22 Tahun 2015 yang mulai berlaku sejak 13 Agustus 2015. Dalam pasal tersebut mengatur mengenai biaya yang ditanggung oleh mahasiswa harus disesuaikan dengan kondisi ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.

Hari ini realitasnya justru berbalik meskipun situasi pandemi telah terbukti menyebabkan terjadinya penurunan ekonomi masyarakat, hal ini tidak menghalangi kampus untuk tetap menerapkan biaya pendidikan kuliah yang sama seperti sebelum pandemi berlangsung.

Sikap kampus yang dinilai tidak memiliki sanse of crisis semacam itu telah menimbulkan gelombang protes mahasiswa, kali ini bukan hanya didasarkan pada penurunan kemampuan ekonomi para orang tua melainkan juga karena beberapa pertimbangan yang logic. Dimana argumennya sangat sederhana, sejak pandemi Covid-19 berlangsung, melalui Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Coronavirus Disease (Covid-19), semua lembaga pendidikan mulai dari jenjang Sekolah Dasar sampai dengan perguruan tinggi diwajibkan untuk menerapkan metode pembelajaran jarak jauh berbasis internet yang bisa dilakukan tanpa harus datang langsung ke sekolah ataupun kampus. 

Secara logic, tentu perubahan metode pembelajaran ini, akan memberikan dampak berupa penghematan anggaran pengeluaran kampus, karena minimnya biaya operasional gedung yang tidak akan digunakan selama masa pembelajaran jarak jauh. Tidak adanya aktivitas belajar mengajar di kampus otomatis akan memangkas banyak biaya seperti pemakaian listrik, air, lift, dan Air Conditioner, karena pemakaiannnya tidak akan sebesar ketika kegiatan belajar mengajar di kampus diaktifkan. UKT yang tinggi di tengah pandemi pun dinilai tidak sebanding dengan apa yang didapatkan oleh mahasiswa saat belajar daring. Dalam pembelajaran jarak jauh mahasiswa tidak bisa menikmati fasilitas yang disediakan kampus secara langsung, terlebih di jurusan-jurusan kuliah yang mengharuskan praktikum di dalam laboratorium.

Sayangnya gelombang protes dari mahaisswa hanya dijawab oleh mentri Nadiem Makarim dengan kebijakan pemotongan UKT bagi mahasiswa dengan golongan UKT tertentu dan subsidi kuota untuk seluruh mahasiswa. Dalam kacamata sosiologi, kebijakan pemotongan UKT bagi mahasiswa tertentu ini dinilai tidak menyelesaikan akar masalah. Sebab dalam kerangka berfikir Max Weber, bencana pandemi Covid-19 ini telah menyebabkan ketidakseimbangan struktural (structured inequalities) terkait kelas, status, dan kekuasaan.

Weber sendiri telah memberikan kerangka analisis kelas yang banyak dijadikan referensi saat ini, dengan membagi kelas menjadi tiga bagian yaitu bawah (lower class), menengah (middle class), dan atas (upper class). Kategorisasi kelas secara structural semacam ini umumnya merujuk pada basis perbedaan kekayaan atau pendapatan personal. Menurut Ubaedillah Badrun yang merupakan pengamat politik dan salah satu dosen sosiologi Universitas Negeri Jakarta, menyatakan bahwa dari 17 sektor, 10 diantaranya mengalami penurunan yang drastis, dan diantara mereka yang terdampak itu ada orang tua dari para mahasiswa. Artinya angka tersebut menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 telah menyebabkan terjadinya perubahan penurunan kelas sosial yang signifikan pada masyarakat. Dimana dari yang awalnya masyarakat tersebut berada dalam lapisan upper class, turun menjadi middle class. Begitupun masyarakat yang berada di lapisan middle class sangat rentan untuk turun dan terjebak dalam lapisan masyarakat lower class. 

Berdasarkan data dari Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa jumlah penduduk kelas menengah Indonesia mencapai 60 juta orang pada tahun 2019 dan dapat meningkat menjadi 85 juta orang pada tahun ini. Secara teoritis, jika merujuk pada kurva segitiga kelas sosial, jumlah kelas bawah bisa jadi hampir dua kali lipat dari angka tersebut. Bahkan menurut Bank Dunia (2020), komposisi dan proporsi kelas di Indonesia terdiri dari kelas bawah (79%), kelas menengah (20%) dan kelas atas (kurang dari 1%) (Katadatabooks.id). Maka di situasi pandemi Covid ini angka pada kelas menengah dan bawah bisa mejadi dua kali lipat dari data tersebut. Oleh karenanya, tepat jika banyak pihak yang mengatakan bahwa jika pemotongan UKT bagi mahasiswa tetentu dinilai tidak menyelesaikan akar masalah atas gelombang protes penerapan UKT di tengah pandemi.

Sesungguhnya persoalan mengenai besarnya biaya pendidikan terlebih di tengah situasi krisis karena pandemi tidak dapat dianggap sebagai persoalan yang kecil, karena masalah tersebut menyangkut keadilan dan hak bagi seluruh anggota masyarakat untuk bersama-sama mendapat pendidikan yang bermutu dan berkualitas. Sesuatu yang seharusnya tidak perlu untuk mengundang protes mahasiswa mengingat hak pendidikan sudah tertera dan dijamin dengan jelas oleh konstitusi.

Sudah seharusnya kampus dibawah perintah Kemendikbud membebaskan UKT seluruh mahasiswanya di tengah pandemi. Jika Pemerintah berdalih tidak ada anggaran, maka rasa rasanya pemerintah sendiri perlu untuk meng-crosscheck ulang anggaran-anggaran proyek ambisius dan kurang penting di tengah pandemi seperti pembangunan ibu kota baru. Agaknya akan lebih baik jika anggaran tersebut dialihkan pada sektor-sektor penting yang dibutuhkan oleh masyarakat salah satunya ke sektor subsidi biaya pendidikan perguruan tinggi bagi seluruh mahasiswa tanpa terkecuali.

Tingginya minat masyarakat untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, menunjukkan bagaimana masyarakat semakin melek terhadap pentingnya pendidikan. Banyak orangtua yang akan melakukan apapun agar anaknya mampu mengenyam pendidikan. Seberapapun mahalnya biaya pendidikan yang dibebankan oleh lembaga pendidikan kepada peserta didiknya setiap semesternya, tidak akan mengurangi niat dari para orang tua untuk menyekolahkan anaknya sampai dengan sarjana, yang dianggap sebagai standar hidup masa kini. Pekembangan paham ini yang menyebabkan lembaga pendidikan perguruan tinggi merasa memiliki otoritas untuk mengutak-atik penetapan biaya pendidikan bagi calon peserta didiknya tanpa membuka banyak ruang diskusi.

Hal ini sejalan dengan perspektif pandangan konflik yang melihat lembaga pendidikan masa kini dimana tidak ubahnya bagai lembaga bisnis modern yang menjanjikan skill bagi mahasiswanya agar bisa memasuki dunia kerja. Sekolah seperti bagian dari sistem kapitalisme dunia yang menganggap mahasiswanya sebagai alat untuk menciptakan mesin produksi baru yang menunjang kapitalisme dunia yang ditopang oleh berbagai industri agar terus menerus berjalan.

Biaya pendidikan yang mahal kini telah menjadi suatu trend tersendiri di masyarakat. Akibatnya kapitalisasi dalam pendidikan dianggap biasa sekaligus dilihat sebagai misi dari lembaga pendidikan modern. Wajah pendidikan Indonesia yang dikapitalisasi kini telah bergeser mengabdi kepada kepentingan pemilik modal (pengelola yayasan perguruan tinggi/sekolah) dan bukan lagi sebagai sarana pembebasan bagi kaum tertindas. Tentu pendidikan yang humanisasi seperti yang diimpikan oleh Tan Malaka dahulu, tidak akan tercapai dalam proses pengelolaan pendidikan sekarang yang dipenuhi dengan praktek bisnis. Dimana pada akhirnya menurut Satriyo Brojonegoro, pendidikan hanya mampu dinikmati oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki modal, yang pada akhirnya mampu untuk mengakses pendidikan (Darmaningtyas, 2005:31).

Pendidikan diibaratkan sebagai pasar atau supermarket yang menyediakan berbagai barang yang diperlukan oleh pelanggan, sedangkan pendidik (guru atau dosen) sebagai kasir yang selalu melayani pelanggan yaitu peserta didik mereka sendiri. Biaya pendidikan yang mahal sebenarnya mempunyai pengaruh besar terhadap kualitas lembaga pendidikan di Indonesia, apalagi di era globalisasi saat ini segala sesuatu banyak dinilai dengan materi.

Semakin mahalnya biaya pendidikan secara tidak langsung akan berdampak pada kurangnya kesempatan bagi masyarakat khususnya mereka yang berasal dari kalangan bawah untuk mengupayakan pendidikan tinggi. Hal ini secara tidak langsung telah membuktikan bahwa rantai kemiskinan semakin hari semakin menjadi mustahil diputus oleh pendidikan. Secara sederhana rantai kemiskinan dapat digambarkan karena miskin kemudian orang tidak dapat sekolah. Karena tidak sekolah, seseorang tidak mendapatkan pekerjaan yang baik, selanjutnya karena tidak dapat pekerjaan sehingga menjadi miskin, dan begitu seterusnya. Pendidikan sebagai alat pemberdayaan yang dapat memutus rantai kemiskinan semakin hari semakin kehilangan fungsinya.

DAFTAR PUSTAKA

Agus. 2008. "Malpraktik Pendidikan". Yogyakarta: Genta Press

Ansori, H.M. 2020. "Wabah COVID-19 dan Kelas Sosial di Indonesia". THC Insght No. 14 / 06 April 2020 www.habibiecenter.or.id

Asmirawanti, Sulfasyah, Jamaluddin Arifin.  2016. "Komersialisasi pendidikan". Jurnal Equilibrium Pendidikan Sosiologi Volume IV No. 2 November 2016 ISSN e-2477-0221 p-2339-2401

Darmaningtyas. 2004. "Pendidikan yang Memiskinkan". Yogyakarta: Galang Press.

Henry W. S. 2020. "The sociology of disaster: definitions, research questions, and measurements in post". Paper submitted for presentation at the annual meetings of the American Sociological Association, Atlanta, August 2003 

Freire, Paulo. 2002. "Politik Pendidikan, Kebudayaan Kekuasaan dan Pembebasan". Jakarta: Pustaka Pelajar.

See, R.A.S. 2002. "Weberian political sociology and sociological disaster studies, "Sociological forum"", vol. 17, no. 2, Juni 2002.

Tukijan Eddy, Dkk.2009. "Sosiologi Pendidikan". Jakarta: Rineka Cipta Wibowo,

Wijaya, Andrynata. 2019. "masyarakat kelas menengah dalam kisaran ekonomi". Dipublish dalam kompasiana pada 9 Februari 2019 diakses pada 07 Juli 2021.

Databoks

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun