Mohon tunggu...
Delisa PramitaPutri
Delisa PramitaPutri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Tautau udah semester 7

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

UKT di Tengah Pandemi: Wujud Kapitalisasi Pendidikan

8 Juli 2021   09:35 Diperbarui: 8 Juli 2021   09:41 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tingginya minat masyarakat untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, menunjukkan bagaimana masyarakat semakin melek terhadap pentingnya pendidikan. Banyak orangtua yang akan melakukan apapun agar anaknya mampu mengenyam pendidikan. Seberapapun mahalnya biaya pendidikan yang dibebankan oleh lembaga pendidikan kepada peserta didiknya setiap semesternya, tidak akan mengurangi niat dari para orang tua untuk menyekolahkan anaknya sampai dengan sarjana, yang dianggap sebagai standar hidup masa kini. Pekembangan paham ini yang menyebabkan lembaga pendidikan perguruan tinggi merasa memiliki otoritas untuk mengutak-atik penetapan biaya pendidikan bagi calon peserta didiknya tanpa membuka banyak ruang diskusi.

Hal ini sejalan dengan perspektif pandangan konflik yang melihat lembaga pendidikan masa kini dimana tidak ubahnya bagai lembaga bisnis modern yang menjanjikan skill bagi mahasiswanya agar bisa memasuki dunia kerja. Sekolah seperti bagian dari sistem kapitalisme dunia yang menganggap mahasiswanya sebagai alat untuk menciptakan mesin produksi baru yang menunjang kapitalisme dunia yang ditopang oleh berbagai industri agar terus menerus berjalan.

Biaya pendidikan yang mahal kini telah menjadi suatu trend tersendiri di masyarakat. Akibatnya kapitalisasi dalam pendidikan dianggap biasa sekaligus dilihat sebagai misi dari lembaga pendidikan modern. Wajah pendidikan Indonesia yang dikapitalisasi kini telah bergeser mengabdi kepada kepentingan pemilik modal (pengelola yayasan perguruan tinggi/sekolah) dan bukan lagi sebagai sarana pembebasan bagi kaum tertindas. Tentu pendidikan yang humanisasi seperti yang diimpikan oleh Tan Malaka dahulu, tidak akan tercapai dalam proses pengelolaan pendidikan sekarang yang dipenuhi dengan praktek bisnis. Dimana pada akhirnya menurut Satriyo Brojonegoro, pendidikan hanya mampu dinikmati oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki modal, yang pada akhirnya mampu untuk mengakses pendidikan (Darmaningtyas, 2005:31).

Pendidikan diibaratkan sebagai pasar atau supermarket yang menyediakan berbagai barang yang diperlukan oleh pelanggan, sedangkan pendidik (guru atau dosen) sebagai kasir yang selalu melayani pelanggan yaitu peserta didik mereka sendiri. Biaya pendidikan yang mahal sebenarnya mempunyai pengaruh besar terhadap kualitas lembaga pendidikan di Indonesia, apalagi di era globalisasi saat ini segala sesuatu banyak dinilai dengan materi.

Semakin mahalnya biaya pendidikan secara tidak langsung akan berdampak pada kurangnya kesempatan bagi masyarakat khususnya mereka yang berasal dari kalangan bawah untuk mengupayakan pendidikan tinggi. Hal ini secara tidak langsung telah membuktikan bahwa rantai kemiskinan semakin hari semakin menjadi mustahil diputus oleh pendidikan. Secara sederhana rantai kemiskinan dapat digambarkan karena miskin kemudian orang tidak dapat sekolah. Karena tidak sekolah, seseorang tidak mendapatkan pekerjaan yang baik, selanjutnya karena tidak dapat pekerjaan sehingga menjadi miskin, dan begitu seterusnya. Pendidikan sebagai alat pemberdayaan yang dapat memutus rantai kemiskinan semakin hari semakin kehilangan fungsinya.

DAFTAR PUSTAKA

Agus. 2008. "Malpraktik Pendidikan". Yogyakarta: Genta Press

Ansori, H.M. 2020. "Wabah COVID-19 dan Kelas Sosial di Indonesia". THC Insght No. 14 / 06 April 2020 www.habibiecenter.or.id

Asmirawanti, Sulfasyah, Jamaluddin Arifin.  2016. "Komersialisasi pendidikan". Jurnal Equilibrium Pendidikan Sosiologi Volume IV No. 2 November 2016 ISSN e-2477-0221 p-2339-2401

Darmaningtyas. 2004. "Pendidikan yang Memiskinkan". Yogyakarta: Galang Press.

Henry W. S. 2020. "The sociology of disaster: definitions, research questions, and measurements in post". Paper submitted for presentation at the annual meetings of the American Sociological Association, Atlanta, August 2003 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun