Angin lautnya cukup sejuk menerpa wajah kita, sembari berjalan kau terlihat menatap arah sinar matahari yang mulai tenggelam. Kita pun duduk di tepian pembatasan pantai yang terbuat dari batu dan semen, sembari kau berseru "Ini indah" katamu. Aku coba untuk tersenyum dan turun menuju pantai yang lautnya saat itu sedang surut.
Kau pun memotretku secara diam-diam, lalu ikut turun menuju pantai. Aku pikir tak ada salahnya juga untuk ikut mengabadikan potretmu di pulau terluar ini. Bukankah selembar foto akan menyimpan ribuan kisah dan makna di dalamnya.
Tak ada salahnya juga pikirku, dan mulai mengambil potretmu sebanyai mungkin. Sementara orang lain di sekitar kita juga melakukan hal yang sama mengambil momen yang kelak akan abadi jika kita ingin mengenangnya.
Kini perlahan hari semakin gelap, orang-orang telah mulai kembali menyeberang. Keinginan kita untuk lebih jauh berjalan menuju kawasan bercetakan tulisan atau tugu Wonderful Indonesia akhirnya urung. Kita pun kembali berjalan menuju dermaganya, sementara malam semakin temaram di atas menara suarnya yang berdiri kokoh.
Oh iya, aku lupa saat itu mengatakan kalau Pulau Putri ini katanya akan didesain menyerupai naga. Aku sendiri tidak paham benar kenapa mereka menyandingkan Putri dan Naga, hanya saja bagiku ini semakin mempertebal misterinya.
Kini kita telah di dermaga dengan keheningan yang semakin pekat serupa gelapnya malam. Walau begitu di seberang sana sejauh mata kita memandang kerlip lampu kota negeri tetangga cukup sangat menggoda. Kita pun larut dalam pertanyaan, di area jarum jam 2, apakah kerlip lampu kota Malayasia atau Singapura atau masih bagian dari Batam.
Belakangan ini aku mengetahuinya, itu adalah rona malam dari Malaysia, karena untuk Singapura telah bisa kita tebak dengan mudah, persis berada di arah jarum jam pukul 11 kalau kita berdiri dari dermaga kedatangan.
Itulah malam terakhir aku tersenyum ketika kita berdebat tentang kerlip lampu kota di sebarang. Apakah Singapura, Malaysia atau masih Batam. Sementara saat itu aku hanya menjawab "antah berantah", lalu esok paginya, aku melepas kepergian, sementara kau melangkah menuju pertualangan barumu. Dan kini sesekali aku merasakan rindu, walau memahami ada perpisahan yang tak mungkin bisa kita hindari.
"Kau tahu, Bo, kau bukan tokoh dalam tragedi. Begitu juga aku. Kita hanyalah penulis dan urusan kita hanyalah menulis," ujar Hemingway dalam suratnya kepada Scott Fitzgerald, seperti yang dituliskan Dea Anugrah dalam bunga rampai non-fiksi pertamanya berjudul "Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya".
Aku pun membantin dan mengamininya, "Hidup ini memang begitu indah, meski kenangan buruk menghantuinya," ujarku saat menutup tulisan memorabilia ini.
(Hendra Mahyudhy)