Mohon tunggu...
Hendra Mahyudhy
Hendra Mahyudhy Mohon Tunggu... Penulis - Deliriumsunyi

"Hilangnya ilmu pengetahuan adalah tanda-tanda kehancuran". Pekerja Text Komersil

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Batam: Secarik Kisah tentang yang Datang, Menetap, dan Pulang

1 November 2019   02:37 Diperbarui: 1 November 2019   13:13 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Samakin tinggi UMK, samakin tinggi biaya hidup. Samakin tinggi gaji, samakin tinggi gaya hidup," ujar Defrizal membalas pertanyaan saya. Hal ini bisa benar adanya, jika personal kita lebih cendrung menuju hedonisme bablas. Namun jika bisa lebih irit, ini hal tak berpengaruh. Tapi siapa yang tahan godaan sosial kehidupan di kiri-kanan kota yang punya pergaulan cukup bebas ini.

Beberapa minggu yang lalu, seorang kawan baik menghubungi saya. Ia minta di antar ke bandara Hang Nadim. Katanya Ia ingin pulang habis ke kampung halaman. Beberapa barang miliknya Ia berikan ke saya, beberapa Ia tawarkan untuk saya beli buat penambah bekal uangnya di jalan. Sayangnya saya tak bisa membeli, awan murung sedang di atas kepala.

Kepada saya Ia katakan, untuk menyudahi pertualangan ini. Dunia rantau hanya memberi nafas yang sepenggal. Pada hal saya pikir Dia lebih beruntung selama ini. Datang ke Batam dengan bekal ijazah S1 jurusan Teknik Industri. Sementara saya ijazah S1 baru bisa didapatkan bertahun-tahun menabung biar bisa nyicil masuk universitas.

Itu pun pada akhirnya selepas wisuda saya tetap pasrah, selama kuliah tak dapatkan apa-apa, kecuali pola pikir yang mungkin berbeda, itu juga karena keseringan membaca buku dan memperdalam diri memahami dunia literasi, sembari sesekali berkontemplasi.

Pulangnya sahabat baik itu adalah bentuk bahwa kota tak selamanya membawa harapan menuju realita. Mentari seumpanya hanya tinggal terik bara tanpa janji. Kota pun semakin tumbuh menjadi asing, menjadi semakin tak peduli. Saya pikir di antara kita yang hidup, lambat laun akan tersisih di belantara hutan kota yang kadang bisa menjadi ngeri ini.

Kenapa tidak, angka pencaker di Batam kini tinggi sementara lowongan pekerja berlawan (tidak seimbang). Merunut data BPS, Agustus 2018 jumlah penduduk usia kerja ada sebanyak 927.011 jiwa. 604.831 orang di antaranya adalah angkatan kerja.

Dari total jumlah angkatan kerja itu terdapat 550.813 penduduk yang telah bekerja. Sementara yang belum terserap ada sekitar 54.018 jiwa angkatan kerja atau disebutkan pengangguran terbuka (TPT).

Sementara itu setiap tahunnya jumlah kedatangan pencari kerja dari luar provinsi semakin meningkat. Pun syarat masuk kerja yang ditetapakan perusahaan juga mempengaruhi jumlah pengangguran. Mulai dari usia, tes yang kadang disebutkan pekerja susah, dan pengaruh konsep orang dalam. Sehingga kesempatan kerja turut berkurang.

Tak ayal, kepulangan terkadang adalah jalan lain sebagai alternatif pilihan. Bukan karena tak mampu lagi bersaing, tetapi karena kota yang terlihat semakin asing. Sementara peluang pekerjaan juga semakin hilang di antara gemerlap lampu kota yang kadang hanya membuai lamunan panjang kredo tentang harapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun