Peran pendidikan formal di sekolah juga selama ini saya rasanya hanya sebatas mendapat ijazah semata. Lalu selepas itu kerasnya hidup adalah tanggung jawab kita masing-masing. Mau lanjut kuliah, ada dana silakan. Kalau tidak bekerjalah lalu menabung buat bisa masuk universitas.
Roem Topatimasang dalam bukunya "Sekolah Itu Candu" menuliskan "jika pada akhirnya nanti saya tetap akan jadi petani juga, meski sudah bersekolah tinggi-tinggi dan jauh-jauh ke kota, mengapa saya tidak mulai dari sekarang saja?". Roem pada dasarnya mengajak kita lebih kepada logika berpikir realistik.
Membaca buku itu memang membawa saya pada suatu sikap kontemplatif, peranan sekolah selama ini selain berorientasi nilai, emangnya apa? Sementara bekal dalam menelusuri kerasnya hidup jarang didapat dari instansi pendidikan. Penjurusan di SMA juga formalitas semata, minat anak dilihat dari nilai bukan keinginan dari dasar hati mereka. Misalnya, ada yang ingin masuk IPA tidak bisa karena nilai tak mencukupi. Seolah-olah sekolah layaknya sebuah industri.
Harapan di Kota Impian Survive, Menetap atau Pulang?
Belakangan ini saya kembali berpikir, Batam semakin hari semakin susah untuk mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan. Bagi yang mumpuni dengan banyak relasi bisa saja mudah, hanya saja apakah semua orang tipikalnya sama? Kecakapan terkadang kalah dengan kepandaian tertentu, seperti mampu menarik hati orang lain.
Sementara kedatang pencari kerja yang tiap tahunnya selalu bertambah bertolak belakang dengan ketersedian lowongan pekerjaan. Pabrik-pabrik elektronik sudah banyak tutup di beberapa kawasan industrial. Sementara industri Shipyard mulai redup. Bahkan kawasan galangan kapal Tanjunguncang, seolah-olah berdansa resah dengan nada-nadanya yang murung.
Di atas kertas, industri Batam sedang ruai. Tren industri manufaktur grafiknya bergerak turun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Batam tahun 2013 menunjukkan pertumbuhan industri masih di angka 7,07% akan tetapi di 2017 jeblok menjadi 1,76%. Lumayan!
Sementara itu nilai ekspor Batam di tahun 2014 tercatat di angka US$ 11,3 miliar, tiga tahun berselang menyusut ke angka US$ 8,71 miliar. Kota impian ini rupanya sedang tidak baik-baik saja pikirku belakangan ini. Sementara tampak dari kejauhan, negeri tetangga semakin tertawa dengan patung singanya.
Menilik peluang hidup di kota yang saya pikir masih tahap berbenah ini, keinginan untuk menetap bagi kebanyakan orang pasti selalu ada di tengah stabilitas kehidupan yang masih rawan. Sah-sah saja ada yang bertahan karena yakin bahwa kesabaran akan membawa berkah. Tapi sekali lagi, masa depan masihlah sebuah misteri.
Defrizal, seorang sahabat baik yang juga rekan di lapangan pernah mengatakan. Di Batam hidup dengan gaji  Rp 3 juta baginya sudah cukup untuk hidup dengan keluarga kecil dan memiliki rumah sangat sederhana. Syaratnya hanya satu, gaya hidup dan penglihatan jangan ditinggikan. Saya tak mengatakan setuju, hanya saja pernyataan itu sah-sah saja. Toh Dia buktikan, di Batam jauh-jauh hari dia telah memiliki rumahnya sendiri.
Lalu bagaimana dengan kaum milenial lainnya, yang sering disebutkan generasi boros saban waktu hobi kongkow di coffee shop? Sepanjang penglihatan saya dengan gaji Rp 3 juta, wajah bahagia di awal bulan adalah penampakan yang wajar. Tapi jangan tanya akhir bulan, awan mendung selalu mampir di atas kepala mereka. Bahkan ubun-ubunnya terkadang basah.