Mohon tunggu...
Delima Purnamasari
Delima Purnamasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa.

Kadang suka jadi akun curhat.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Mencari Ibu dalam Kisah Gadis Kretek

15 Januari 2024   13:47 Diperbarui: 15 Januari 2024   14:04 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

"MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN"

Ratih Kumala mendedikasikan satu halaman khusus untuk memuat tulisan yang dicetak tebal dengan huruf kapital tersebut. Seakan-akan ia sendiri percaya bahwa pembaca novel ini akan semakin keranjingan jadi perokok atau terpantik jadi perokok baru. Hal itulah yang ikut menjadi pembahasan---lebih tepatnya topik cek-cok---di Twitter kala adaptasi filmnya keluar.

Novel ini memang menyelipkan glorifikasi pada rokok. Kandungan cengkihnya dianggap bisa menyembuhkan asma, kretek juga berhasil membuat Roemaisa bisa mengepulkan kesedihannya di udara, bahkan Tegar yang baru lulus SMP juga diberi kretek oleh bapaknya untuk teman berpikir.  Di sisi lain, tak ada cerita soal perokok-perokok itu yang jadi impoten, terkena sakit paru-paru, atau bolong tenggorokannya.

Saya sendiri timbul keinginan untuk mencoba kretek dengan klobot pasca-membaca novel ini. Meski begitu, daripada karena novel, saya lebih percaya bahwa keberanian untuk merokok banyak terlahir karena bapak yang juga perokok atau semrawutnya kehidupan sehingga memaksa seseorang untuk menemukan sebuah pelarian barang sejenak.

Ide besar soal melepaskan label gender pada rokok sesungguhnya jadi hal yang begitu saya apresiasi dari novel ini. Ratih Kumala menunjukkan bahwa perempuan yang merokok tidak serta-merta nakal dan tetap bisa mempertahakan sifat feminimnya.

Orang kaya yang sedang pamer

Tema muluk-muluk soal perjuangan perempuan, sejarah kretek, hingga keberlanjutan bisnis keluarga tak akan dimulai kalau bukan karena si anak bungsu nan begundal bernama Lebas. Perjalanan menelusuri lorong waktu sesungguhnya hanya didasarkan pada ketakutannya kalau-kalau bapaknya akan jadi arwah gentayangan karena permintaan terakhirnya sebelum mati tak dituruti.

Soeraja, bapaknya yang ia panggil Romo itu kerap memanggil-manggil sebuah nama, yakni Jeng Yah. Sesungguhnya, Romonya itu telah pikun hingga dirinya sendiri kerap lupa soal igauannya tentang mantan pacarnya itu. Kekhawatiran serta kekayaanlah yang membuat Lebas dan kedua kakaknya---Tegar dan Karim---berkelana mencari Jeng Yah.

Saya kira, apabila Soeraja bukanlah pemilik kretek terbesar di Indonesia, ketiga anaknya tidak akan berlaku demikian. Apabila gaji ketiganya hanya UMR atau justru pengangguran, tentu harga tiket pesawat, bensin, tempat tinggal, makan, hingga kretek yang dibeli Lebas sepanjang perjalanan akan jadi penolakan yang logis. Terlebih, ada keyakinan bahwa si Bapak akan mati. Kenduri itu butuh duit, Bos!

Kekayaan mereka dipamerkan dengan jelas lewat kehidupan Lebas. Bayangkan saja, dia pernah kuliah jurusan bisnis, tetapi karena merasa bukan panggilan jiwanya, ia memilih pindah jurusan perfilman. Ketika jurusan perfilman tidak juga cocok dengan jiwanya, ia memilih pindah ke jurusan musik. Perlu diingat bahwa Lebas ini berkuliah di San Francisco.

Saya membayangkan kalau uang yang dihabiskan Lebas untuk membeli aksesoris Bob Marley selama kuliah dan akhirnya dibuang saja sesungguhnya bisa membantu mahasiswa Yogyakarta untuk terus berkuliah dan tak perlu cuti karena tak mampu bayar UKT. Para kapitalis itu jelas tak berpikir sampai sini.

Mereka sadar bahwa kekayaan mereka awet hingga tujuh turunan dan tahu cara menggunakannya. Lihat saja Lebas ketika diputuskan pacarnya yang bernama Danish karena sifatnya yang terlalu posesif dan tak memikirkan masa depan. Lebas enteng saja menjawab bahwa ia adalah anak orang kaya pemilik pabrik rokok sehingga tak perlu mengkhawatirkan masa depan. Keluarga Soeraja memang njelei!

Ratih Kumala membuat para feminis makin pesimis

Ratih Kumala sama sekali tak menuliskan tokoh perempuan bersifat antagonis. Mayoritas dari mereka adalah perempuan baik-baik lalu tersakiti, bahkan memiliki kehidupan yang mengenaskan.

Jeng Yah alias Dasiyah adalah perempuan ulet dan cerdas. Sejak kecil ia begitu spesial dan tumbuh jadi orang kepercayaan ayahnya---Idroes Moeria---untuk mengurus usaha kretek. Urusan manajemen keuangan, pembuatan merek baru, hingga penjualan bisa ia lakukan. Jeng Yah digambarkan sebagai sosok yang tak takut meraih mimpinnya. Namun, pada akhir cerita, usaha kreteknya justru hampir gulung tikar.

Roemaisa---Ibu Jeng Yah---diceritakan sebagai perempuan cantik, sopan, dan pintar karena bisa baca tulis pada zaman itu. Saat suaminya, Idroes Moeria, alias Ayah Jeng Yah diculik Jepang, Roem putus asa hingga janin yang dikandungnya keguguran. Ketika ia berusaha bangkit dan membangun kembali usaha kretek suaminya, ayahnya justru merasa terganggu karena perubahan sifat anaknya itu. Roem dianggap tidak lagi penurut dan feminim. Pada masa-masa itu, ia juga dicap sebagai janda kembang sehingga banyak laki-laki menawarkan uluran tangan padanya karena ingin memiliki Roem. Apakah tidak bosan membaca kisah perempuan yang terus jadi objek asmara para laki-laki?

Purwanti lebih parah lagi. Ia diceritakan sebagai pelakor yang merusak cinta Jeng Yah dan Soeraja, padahal ia adalah wujud dari pepatah tresno jalaran seko kulino. Hari-hari berdua dan saling bertukar cerita, masak tidak boleh naksir? Seumur hidup, Purwanti mesti hidup dalam bayang-bayang Jeng Yah, bahkan saat suaminya sekarat dan mati sekalipun.

Laki-laki red flag itu bernama Soeraja

"Aku ini wong lanang, masa aku cuma paitan awak. Di mana harga diriku sebagai wong lanang? Sekarang aku kerja buat calon mertua, tinggal di tempat calon mertua, makan juga di sini."

"Lha pancen ra nduwe harga diri." Begitulah kira-kira jawaban saya kalau Soeraja berkata demikian. Sayangnya, Jeng Yah bukanlah saya sehingga ia lebih memilih memahami alasan pacarnya itu.

Jeng Yah menemukan laki-laki gembel yang diglorifikasi sebagai pengelana itu dalam sebuah pasar malam. Sikap Soeraja yang rajin membuat Jeng Yah mempekerjakannya selama pasar malam berlangsung hingga dibawa ke rumahnya. Soeraja diberi posisi mandor dan numpang makan di rumah Jeng Yah. Apakah Jeng Yah tidak tahu bahwa banyak orang rajin di dunia ini?

Ketika Soeraja ingin membuka merek dagang sendiri hanya karena seorang buruh bathil mengatainya sebagai kere yang beruntung, Jeng Yah sekeluarga tetap berusaha memberi dukungan. Namun, bisa-bisanya di akhir cerita, Soeraja justru menikah dengan Purwanti---anak dari pesaing bisnis Idroes Moeria---dan membocorkan rahasia saus kretek milik Jeng Yah. 

Persetan tersandung kasus dengan PKI. Toh, syarat menghilangkan tanda OT di KTP Soeraja dan menutup mulut orang-orang itu hanyalah soal uang. Atas semua kesusahan dan kesialan itu, Jeng Yah hanya membalasnya dengan pukulan semprong petromaks di jidat Soeraja agar foto pernikahannya buruk. Sungguh balas dendam yang tak setimpal!

Laki-laki tak jelas dan tak punya apa-apa itu juga jadi wasit yang menentukan hasil perseteruan abadi antara Idroes Moeria dengan Soedjagad. Ratih Kumala yang tidak adil sejak dalam pikiran itulah yang membuka kemungkinkan bahwa Soeraja bisa jadi begitu diandalkan oleh dua saudagar kretek itu dan disukai oleh kedua anak perempuan mereka. Stigma bahwa perempuan pintar dan independen akan ditumbangkan oleh laki-laki tidak modal sudah semestinya ditinggalkan.

Sosok ibu itu adalah Mbok Marem

Radio Buku menyelenggarakan diskusi ini pada 22 Desember. Asumsi saya, pemilihan bukunya disesuaikan dengan perayaan Hari Ibu sehingga dipilihlah novel Gadis Kretek ini. Tentu saya berkeinginan untuk mengkorelasikan sosok ibu dengan cerita di dalamnya. Sayang, saya tak menemukannya. Meski begitu, saya tak mau jadi pribadi yang mengecewakan sehingga memilih Mbok Marem sebagai tokoh perempuan ideal yang bisa merepresentasikan sosok ibu.

Mbok Marem adalah tokoh penting yang mau membocorkan rahasia keluarga Soeraja. Tanpa keberaniannya, tentu Lebas dan kedua kakaknya tidak bisa melanjutkan perjalanan menemukan Jeng Yah. Mbok Marem sesungguhnya bisa menolak untuk jujur karena khawatir menimbulkan masalah terutama pada Purwanti, tetapi keteguhan akan prinsip itulah yang ia jadikan pedoman.

Diceritakan pula bahwa saat bertemu Tegar dan Lebas, Mbok Marem memeluk keduanya sembari berujar, "Tak kira kowe ra bakal bali mrene, Le. Wes penak ning Jakarta." Ia melihat keduanya bukan sebagai bosnya, tetapi anak laki-lakinya. Ia hanyalah buruh giling, tetapi bisa menghadirkan keharuan dan kehangatan pertemuan antara ibu dan anak.

Mbok Marem adalah sosok yang mengajari Tegar melinting kala kecil. Sejak saat itu pula, ia sudah berani berikrar akan ikut Tegar saat ia menjadi pewaris utama bapaknya. Hingga akhir cerita, janji pada anak kecil itu nyatanya benar-benar ia penuhi.

Kalau boleh mengglorifikasi lagi, jiwa keibuannya sudah terlihat dari namanya, yakni "Marem" yang berarti "Puas". Namanya seakan menunjukkan bahwa dirinya sudah tuntas menikmati dunia sehingga siap membagikannya pada anak-anaknya. Selamat Hari Ibu Mbok Marem!

Notabene: tulisan ini sebelumnya telah dipublikasikan sebagai pamflet Klub Baca Radio Buku, Jumat (22/12/2023).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun