Mohon tunggu...
Delima Purnamasari
Delima Purnamasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa.

Kadang suka jadi akun curhat.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Mencari Ibu dalam Kisah Gadis Kretek

15 Januari 2024   13:47 Diperbarui: 15 Januari 2024   14:04 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Persetan tersandung kasus dengan PKI. Toh, syarat menghilangkan tanda OT di KTP Soeraja dan menutup mulut orang-orang itu hanyalah soal uang. Atas semua kesusahan dan kesialan itu, Jeng Yah hanya membalasnya dengan pukulan semprong petromaks di jidat Soeraja agar foto pernikahannya buruk. Sungguh balas dendam yang tak setimpal!

Laki-laki tak jelas dan tak punya apa-apa itu juga jadi wasit yang menentukan hasil perseteruan abadi antara Idroes Moeria dengan Soedjagad. Ratih Kumala yang tidak adil sejak dalam pikiran itulah yang membuka kemungkinkan bahwa Soeraja bisa jadi begitu diandalkan oleh dua saudagar kretek itu dan disukai oleh kedua anak perempuan mereka. Stigma bahwa perempuan pintar dan independen akan ditumbangkan oleh laki-laki tidak modal sudah semestinya ditinggalkan.

Sosok ibu itu adalah Mbok Marem

Radio Buku menyelenggarakan diskusi ini pada 22 Desember. Asumsi saya, pemilihan bukunya disesuaikan dengan perayaan Hari Ibu sehingga dipilihlah novel Gadis Kretek ini. Tentu saya berkeinginan untuk mengkorelasikan sosok ibu dengan cerita di dalamnya. Sayang, saya tak menemukannya. Meski begitu, saya tak mau jadi pribadi yang mengecewakan sehingga memilih Mbok Marem sebagai tokoh perempuan ideal yang bisa merepresentasikan sosok ibu.

Mbok Marem adalah tokoh penting yang mau membocorkan rahasia keluarga Soeraja. Tanpa keberaniannya, tentu Lebas dan kedua kakaknya tidak bisa melanjutkan perjalanan menemukan Jeng Yah. Mbok Marem sesungguhnya bisa menolak untuk jujur karena khawatir menimbulkan masalah terutama pada Purwanti, tetapi keteguhan akan prinsip itulah yang ia jadikan pedoman.

Diceritakan pula bahwa saat bertemu Tegar dan Lebas, Mbok Marem memeluk keduanya sembari berujar, "Tak kira kowe ra bakal bali mrene, Le. Wes penak ning Jakarta." Ia melihat keduanya bukan sebagai bosnya, tetapi anak laki-lakinya. Ia hanyalah buruh giling, tetapi bisa menghadirkan keharuan dan kehangatan pertemuan antara ibu dan anak.

Mbok Marem adalah sosok yang mengajari Tegar melinting kala kecil. Sejak saat itu pula, ia sudah berani berikrar akan ikut Tegar saat ia menjadi pewaris utama bapaknya. Hingga akhir cerita, janji pada anak kecil itu nyatanya benar-benar ia penuhi.

Kalau boleh mengglorifikasi lagi, jiwa keibuannya sudah terlihat dari namanya, yakni "Marem" yang berarti "Puas". Namanya seakan menunjukkan bahwa dirinya sudah tuntas menikmati dunia sehingga siap membagikannya pada anak-anaknya. Selamat Hari Ibu Mbok Marem!

Notabene: tulisan ini sebelumnya telah dipublikasikan sebagai pamflet Klub Baca Radio Buku, Jumat (22/12/2023).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun