Mohon tunggu...
Delima Purnamasari
Delima Purnamasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa.

Kadang suka jadi akun curhat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jadi Pendemo Itu Berat, Aku Tak Akan Kuat, Biar Mereka Saja

23 Juni 2023   10:28 Diperbarui: 23 Juni 2023   10:39 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi Kamisan di Tugu Yogyakarta. (Sumber: Delima Purnamasari)

Mahasiswa lekat dengan berbagai julukan. Mulai dari agent of change, social control, iron stock, moral force, hingga guardian of values. Gelar-gelar suci tersebut membuat mereka harus bergelut atas dasar nurani. Terlebih, dengan banjir romantisme aksi 98 yang dianggap membawa era baru bernama reformasi. Namun, boro-boro menggulingkan rezim otoriter, menyelenggarakan demo yang tak diacuhkan saja repotnya bukan main.

Salah satu problem yang kerap dihadapi adalah sulitnya menghimpun demonstran. Saya pernah coba ikut dalam aksi Kamisan di Tugu Yogyakarta. Kala itu, jumlah pesertanya sekitar 20 orang saja. Salah satu peserta turut mengungkapkan jika ia pernah ikut hanya dengan empat orang lain lantaran hujan yang mengguyur. Perlu diketahui jika aksi tersebut konsisten diselenggarakan tiap satu minggu sekali. Sempat saya melihat Tweet dari peserta Kamisan di Jakarta yang menulis aksi ini telah digelar hingga 775 kali pada 8/6/2023 lalu.

Tak jarang, satu orator mesti memberi khotbah berulang kali karena tak ada yang menggantikan. Meski di pamflet menuliskan demo akan diselenggarakan hingga menang, biasanya saat azan magrib, peserta sudah bubar. Persoalan ini memang sulit ditemukan obatnya. Oleh karena itu, kericuhan yang kerap dibayangkan justru jarang terjadi. Perkara keamanan seakan jadi hal yang bisa dipikir santai. Tak mesti bawa odol karena takut gas air mata.

Minimnya peserta membuat pihak yang didemo tak gentar. Beberapakali saya temui demonstran hanya bisa berteriak-teriak di luar gerbang tanpa ditemui pihak yang dituntut. Sekadar ingin membakar ban pun tak jadi karena gentar oleh gertakan polisi.

Dalam gerakan yang sepi, loyalitas anggota tersisa terus diuji. Bukan hal baru jika aksi akan molor hingga dua jam dari waktu yang ditetapkan. Belum lagi soal iuran. Dalam sebuah aksi, umumnya akan diputar sebuah wadah yang bisa diisi untuk mendanai pergerakan. Semisal masih kurang, orang-orang dengan idealisme tinggi---bukan berarti orang kaya---biasanya akan merogoh kocek pribadi. Minimal ada uang untuk menyewa pelantang suara atau sekadar membeli cat semprot untuk coret-coret.

Menjadi demonstran juga mesti siap menerima banyak kritik. Salah satu yang kerap dilontarkan adalah pergerakannya yang dianggap bersifat reaktif dan jangka pendek, alih-alih antisipatif dan berkelanjutan. Mahasiswa hanya melakukan aksi saat hari-hari besar atau momentum yang viral di media sosial.

Para pendemo jadi terjebak dalam sebuah siklus membosankan. Konsolidasi, konvoi, orasi, ucapkan tuntutan, dan pulang dengan kekecewaan. Harapan-harapan yang diperjuangkan tak lekas tercapai. Suka cita yang bisa dirasakan mungkin hanya sebatas berhasil merilis hormon kebahagiaan barang sejenak.

Padahal penyelenggaran demo adalah hasil perjalanan panjang sehingga tak jarang hanya jadi wacana. Utamanya tentu dalam membangun isu bersama atau prioritas masalah. Ini bukan perkara mudah karena berbagai persoalan mesti diperjuangkan dan banyak pihak perlu diakomodasi. Seringkali proses ini menimbulkan pecah kongsi. Untuk mencegahnya, dalam satu aksi jadi membawa belasan tuntutan ndakik-ndakik dan jauh sekali untuk digapai. Contohnya, wujudkan pendidikan gratis, reformasi agraria, hingga tuntaskan seluruh pelanggaran HAM. Sang orator akan kebingungan dalam menyusun teks khotbahnya. Sedangkan demonstran, diberi komando untuk menyanyikan "Darah Juang" saja kerap tak kompak.

Belum lagi beragam perkara teknis yang mesti dipikirkan. Salah satunya membuat kajian. Untuk menemukan pembuat kajian yang mau dan mampu sulitnya bukan main. Padahal, ini adalah aspek penting yang dijadikan landasan demo dilakukan. Biasanya kajian akan dicetak dan dibagikan pada saat aksi berlangsung. Hal lain adalah desain poster. Insting membuat desain yang ciamik sesuai dengan tren terkini jadi penting agar rencana aksi itu bisa viral. Namun, tak jarang yang terjadi justru kejar tayang layaknya mengumpul tugas kuliah.

Dalam sebuah demo, perlu juga dibentuk semacam struktur kepanitiaan. Utamanya soal pemilihan koordinator lapangan atau yang kerap disebut korlap. Saya sendiri pernah menemui korlap yang mengundurkan diri bahkan setelah konsolidasi terakhir sehingga mendadak harus digantikan. Hal-hal lain, seperti mengurus izin kegiatan dan parkir, menentukan tempat evakuasi, sampai menyiapkan nomor darurat jadi detail kecil yang mesti ikut diperhatikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun