Mohon tunggu...
Delicia
Delicia Mohon Tunggu... profesional -

GP, White Lily

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ayah, Tapi Ia Bosku

6 November 2015   12:40 Diperbarui: 6 November 2015   14:40 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Memang ayahku, tapi ia bosku..dikerjaannya ia dihargai, disegani, dihormati oleh bawahannya. Semua pekerjaannya tuntas dan dilakukannya dengan baik. Aku cukup bangga pada ayahku itu, tapi...".

Satu kalimat tergantung cukup lama, kemudian berganti senyum getir dan helaan nafas panjang.

" Sayang, dimana-mana ayah menempatkan diri sebagai bos juga kepada kami anak-anaknya. Aku bahkan merasa kecil, bodoh dan tidak berguna. Kepercayaan diriku menjadi buruk dan aku merasa yah...tidak pernah sesuai keinginannya, semua yang ku kulakukan hampir selalu salah di matanya. Sedari kecil aku seperti tidak pernah dianggap, keinginanku tidak pernah didengarkan apalagi dituruti meskipun itu untuk diriku sendiri.

"Aku juga punya cita-cita dahulu, namun ayah memaksakan kemauannya dan kemudian terkubur begitu saja. Mungkin memang tidak pernah dilahirkan untuk menjadi diri sendiri. Ayah tidak pernah mempercayakan apa-apa pada anaknya, menyemangati apalagi memuji anak seperti yang ayah lain lakukan pada anaknya, meskipun itu hal amat baik sekalipun".

"Aku bukan tidak menghormati ayahku, bukan pula serta merta menjawabnya dengan nada tinggi namun itu kulakukan untuk menutupi rasa rendah diri, dipermalukan dan dibodoh-bodohkan oleh ayahku di depan bawahan di depan orang upahanku sendiri. Ayah seolah mengatakan kesemua orang betapa bodohnya, goblok dan tak bergunanya aku ini kepada semua orang. Sehingga didepanku, pekerja-pekerja itu tidak lagi mau menaruh telinganya. Mereka tertawa dan membicarakan aku yang seperti anak-anakkan, seperti anak kecil yang tak pernah dianggap berharga di depan ayahku sendiri. Bayangkan mau ditaruh dimana mukaku? Apakah dengan begini ayahku akan tampak hebat dan superior?, yah mungkin saja".

"Aku tahu dalam darahku mengalir juga darahnya, tapi aku punya keinginan, hati, pikiran, perasaan yang juga ingin dimengertinya. Aku bukan benda mati yang bisa dibengkokkan dan dibentuk sesuka hati dengan kasar. Aku selalu terluka dan terluka lagi...Hari ini kalau aku tak bisa seperti keinginannya maafkanlah, kalau aku tak jadi apa-apa itu bukan murni kebodohanku ataupun kesalahanku sepenuhnya".

"Ayah adalah bos di kerjaan, tapi seharusnya bukan bos untuk anak istrinya. Aku tidak butuh bos, yang kubutuhkan adalah seorang ayah, bos bisa ditemukan dimana-mana, tapi ayah...".

####

Curhatan itu, membuat hatiku trenyuh....banyak yang ingin kukatakan tapi sepertinya banyak kalimat tersekat ditenggorokan. Luka,...yah kulihat luka di sana. Aku juga pernah terluka, terluka oleh seorang ayah yang setiap hari mengutuk-ngutuki kami anak-anaknya. Tapi Tuhan Yesus yang setia membalut dengan kasihNya dan memulihkanku.

Ayah bukan sekedar panggilan belaka, bukan pula gelar kehormatan. Ketika seseorang memiliki anak dan ia menjadi ayah dari anaknya ada tanggung jawab yang dipikulnya. Bukan soal kebutuhan jasmani, menafkahi, menyekolahkan saja namun ada yang lebih dari itu. Seorang ayah ikut andil dalam pembentukan karakter anaknya, kecerdasan emosi, intelektual bahkan kepribadian anak.

Ayah dikatakan adalah tempat perlindungan, sumber pengajaran, sumber keteladanan yang lebih daripada 1000 orang guru. Tidak penting berapa orang guru yang mendidik anak secara akademik tapi Ayah benar-benar harus berperan sebagai ayah bukan bos. Bos akan dilupakan, ditinggalkan tapi Ayah akan ada selamanya dihati anak sepanjang masa, hubungan yang tak pernah bisa putus sampai kapanpun.

Anak yang merasa tidak dipedulikan, tidak dihargai, merasa ditolak oleh orangtua yang melahirkannya maka cenderung akan bertumbuh menjadi orang yang tidak berani mengambil keputusan, tidak berani menghadapi masa depan, tidak konsisten, memiliki kepercayaan diri yang rendah, pemberontak, sulit menjalin hubungan dengan orang lain, merasa ditolak dalam kehidupan. Bahkan cenderung bertumbuh dengan mengalami gangguan kepribadian paranoid.

Ayah yang baik tidak merendahkan anaknya, mengecilkan apalagi membodoh-bodohkan anaknya terlebih didepan orang lain. Sebab jika orangtua sendiri saja tidak bisa menghargai anaknya, siapa lagi yang akan menghargai anak itu?. Bagaimana anak kita hari ini dan kedepannnya, adalah tergantung didikan orangtuanya, terutama ayahnya. Didiklah anak dalam kasih dan takut akan Tuhan. Segala hikmat, kemampuan akan diberikanNya, karena anak bukan anak kita sendiri tapi adalah titipannNya yang berharga.

Seringkali orangtua lupa, bahwa anak kita juga adalah pribadi sendiri yang punya keunikan sehingga orangtua bertugas mengarahkan, tapi bukan memaksakan. Buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya, bagaimana anak kita yah tidak jauh-jauh dari bagaimana orangtuanya. Kegagalan seorang anak juga adalah kegagalan orangtuanya, keberhasilan anak adalah keberhasilan sekaligus kebanggaan orangtuanya. Pola keteladanan ayah-anak yang terbaik adalah mengadopsi pola Allah Bapa dan Tuhan Yesus Kristus dalam kehidupan kita. keteladanan yang buruk dari seorang ayah, akan diwariskan pada anaknya, kemudian kepada generasi di bawahnya lagi. 

Semoga tidak ada hati yang terluka lagi.. anak kembali pada posisinya sebagai anak, dan ayah sebagai ayah yang sesungguhnya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun