[caption id="attachment_129533" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Tahun ini hari kemerdekaan RI jatuh di bulan Ramadhan, jauh-jauh hari telah terbayang olehku pastilah akan sangat sepi dan mungkin tidak ada perayaan-perayaan meriah yang akan diadakan di sekitar tempat tinggal kami maupun di tempat lain. Tidak akan ada acara panjat pinang, tidak ada balapan karung, tidak akan ada lomba makan kerupuk apalagi tarik tambang.
Setidaknya aku masih bisa menyaksikan perlombaan kecil di sekolah anakku, demikian pikiranku beberapa hari lalu. Namun dengan alasan mau lebaran, datang selembar pemberitahuan dari wali kelas anakku...sekolah akan diliburkan mulai besok. Tepat di hari kemerdekaan. Anakku tentu senang sekali, ia girang karena besok tak perlu lagi dipaksa bangun pagi.
Sebagian teman-temannya juga berperasaan yang sama, ketika sang mama bertanya apakah tidak ada acara yang akan diadakan di sekolahnya, maka sang anak akan menjawab " yang penting sekali merdeka, tetap merdeka ma...adek mau berenang di hari libur dan berteriak "Merdeka" dari papan seluncuran teratas lalu mencemplungkan diri ke kolam renang".
Ketika sang mama bertanya "apa kegiatan kita untuk merayakan hari 17-an itu pa?, supaya anak kita tahu bahwa hari itu adalah hari bersejarah". Sang papa dengan enteng menjawab " ya bacakan aja buku sejarah itu juga naskah proklamasi yang dibacakan oleh pak Soekarno itu". Kedengarannya sederhana namun meninggalkan rasa yang sulit terlukiskan di hati. Bukankah dari zaman kita mulai membaca kita telah diajarkan demikian, namun hari ini nampaknya semakin sering dibaca...semakin berkurang penjiwaan dan penghayatannya.
Ketika aku dengan iseng menelpon menanyakan kabar sang kakek yang kini berusia 78 tahun di kampung (desa Rambayan Kal-Bar), kakekku berkata ia baik-baik saja. Dan ia bertanya apakah kami di sini (Batam) telah memasang bendera di depan rumah atau umbul-umbul?. Saya katakan baru akan di pasang, karena dari kemarin-kemarin gak sempat membeli tiang benderanya.
Sang kakek dari ujung telepon menghempaskan nafas sedikit kuat " kalian tahu akung saja sudah dari beberapa hari yang lalu memasangkan bendera di mana-mana, bukan hanya di depan rumah bahkan di tiang antena tv pun akung sendiri yang memasangkannya".
"Apa akung manjat sendiri?, di mana emangnya si achung (adik sepupuku)? akung sudah sakit-sakit kakinya kok masih manjat sendiri?".
"Di sini kami semuanya sibuk menyiapkan bendera-bendera kami, umbul-umbul... menghias dan membuat beberapa rangkaian bernuansa merah putih untuk menghias desa, jadi siapa yang bisa akung suruh untuk memasangkan bendera itu, kalau gak akung sendiri".
"Wau, pasti keren ya kung bernuansa merah putih semua...".
"Iya seharusnya merah putih, tapi karena bendera akung ini sudah lama maka warnanya telah pudar menjadi orange putih, tapi gak papa yang penting semangatnya".
" Ternyata orang tua bisa lebih bersemangat dari pada yang muda ya kung?".
" Iya semestinya, tapi mungkin kalian orang-orang muda tidak pernah merasakan sendiri zaman-zaman penjajahan dulu hanya membacanya di buku saja, jadinya tidak segreget kami yang sudah jompo ini".
Mendengar kata-kata kakek aku jadi malu...ternyata meskipun mereka tua dan sudah pikun namun mereka tak pernah lupa akan hari kemerdekaan. Dan pesan kakek terakhir sebelum menutup teleponnya ia berkata " Meskipun banyak hal yang mencoreng bangsa ini, namun jangan lupa di sinilah kita berpijak, apalagi kalian yang lahir di sini...jadi di sinilah lahir dan mati kita, maka kita harus tetap cinta ". Kakek saja semangatnya begitu berkobar meskipun ia tak lahir di Indonesia, kakek dulu lahir di daratan Cina.
Aku waktu masih duduk di bangku SD pernah bertanya, " kenapa akung dibawa athai (eyang) kemari, bukankah di Cina enak kung?".
"Itu yang kelihatan sekarang, kalau dulu kamu tahu eyangmu kerja mati-matian hasilnya bukan ada sama kita semua buat pemerintah di sana, sering gak makan, kalaupun makan itu hanya ubi jalar...tidak ada beras seperti di sini".
" oo...bukankah ubi itu enak juga kung?".
" Itu karena kita tidak dipaksa makan ubi setiap hari, coba setiap hari makannya cuma ubi... dijatah-jatah lagi apa kamu sanggup?, eyangmu setiap kali melihat ubi ia akan menangis...makanya akung juga yang lainnya tidak pernah berani menyuguhkan ubi di depan eyangmu...dia akan menangis mengingat kepedihannya, juga mengingat istri dan anak yang ditinggalnya di Cina sana dan tak pernah lagi bisa diketahui keberadaannya setelah eyang merantau ke Indonesia. Eyangmu berkata " selama aku masih bernafas jangan pernah menyuguhkan ubi untukku, karena ubilah makanya aku berlari kemari meninggalkan semuanya jadi jangan mengingatkanku lagi dengan ubi ".
Dari cerita kakekku itu aku tahu bagaimana kehidupan eyang kakek sebelumnya. Eyang yang kukenal dan kutahu adalah seorang tauke (bos/juragan) yang lumayan hebat dan kesohor di kampung kami dan juga kampung-kampung seberang... ketika kami para cucu dan cicit menyebut marga eyang (Liu), semua akan memberi hormat secara tidak langsung kepada kami. Ia yang kelihatan punya segalanya....namun aku tak tahu kalau ternyata eyang yang nampaknya serba ada itu ada hal besar yang dikorbankannya.
Eyang, membantu banyak orang miskin dan papa di kampung, demikian juga kakek. Kekek dimataku juga amat luar biasa ia sosok sederhana, pandai bermain gitar, menyanyi, menjahit, ia juga seorang guru matematika terbaik di zamannya dulu juga menjadi sinshei yang dicari banyak orang. Kebanggaan sekaligus kekaguman, itulah yang kupunya terhadap mereka....sosok yang bagiku pantas untuk diteladani.
Kecintaan mereka terhadap Indonesia, mengajari kami bahwa bukan negara ini yang patut kita cerca dan kita salahkan kalau ternyata terdapat kecurangan, kebobrokan, kebodohan di dalamnya...namun kitalah para generasi penerus yang kualitas serta kuantitasnya patut dipertanyakan.
Dirgahayu Negeriku, Dirgahayu bangsaku...Sekali Merdeka Tetap Merdeka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H