" Ternyata orang tua bisa lebih bersemangat dari pada yang muda ya kung?".
" Iya semestinya, tapi mungkin kalian orang-orang muda tidak pernah merasakan sendiri zaman-zaman penjajahan dulu hanya membacanya di buku saja, jadinya tidak segreget kami yang sudah jompo ini".
Mendengar kata-kata kakek aku jadi malu...ternyata meskipun mereka tua dan sudah pikun namun mereka tak pernah lupa akan hari kemerdekaan. Dan pesan kakek terakhir sebelum menutup teleponnya ia berkata " Meskipun banyak hal yang mencoreng bangsa ini, namun jangan lupa di sinilah kita berpijak, apalagi kalian yang lahir di sini...jadi di sinilah lahir dan mati kita, maka kita harus tetap cinta ". Kakek saja semangatnya begitu berkobar meskipun ia tak lahir di Indonesia, kakek dulu lahir di daratan Cina.
Aku waktu masih duduk di bangku SD pernah bertanya, " kenapa akung dibawa athai (eyang) kemari, bukankah di Cina enak kung?".
"Itu yang kelihatan sekarang, kalau dulu kamu tahu eyangmu kerja mati-matian hasilnya bukan ada sama kita semua buat pemerintah di sana, sering gak makan, kalaupun makan itu hanya ubi jalar...tidak ada beras seperti di sini".
" oo...bukankah ubi itu enak juga kung?".
" Itu karena kita tidak dipaksa makan ubi setiap hari, coba setiap hari makannya cuma ubi... dijatah-jatah lagi apa kamu sanggup?, eyangmu setiap kali melihat ubi ia akan menangis...makanya akung juga yang lainnya tidak pernah berani menyuguhkan ubi di depan eyangmu...dia akan menangis mengingat kepedihannya, juga mengingat istri dan anak yang ditinggalnya di Cina sana dan tak pernah lagi bisa diketahui keberadaannya setelah eyang merantau ke Indonesia. Eyangmu berkata " selama aku masih bernafas jangan pernah menyuguhkan ubi untukku, karena ubilah makanya aku berlari kemari meninggalkan semuanya jadi jangan mengingatkanku lagi dengan ubi ".
Dari cerita kakekku itu aku tahu bagaimana kehidupan eyang kakek sebelumnya. Eyang yang kukenal dan kutahu adalah seorang tauke (bos/juragan) yang lumayan hebat dan kesohor di kampung kami dan juga kampung-kampung seberang... ketika kami para cucu dan cicit menyebut marga eyang (Liu), semua akan memberi hormat secara tidak langsung kepada kami. Ia yang kelihatan punya segalanya....namun aku tak tahu kalau ternyata eyang yang nampaknya serba ada itu ada hal besar yang dikorbankannya.
Eyang, membantu banyak orang miskin dan papa di kampung, demikian juga kakek. Kekek dimataku juga amat luar biasa ia sosok sederhana, pandai bermain gitar, menyanyi, menjahit, ia juga seorang guru matematika terbaik di zamannya dulu juga menjadi sinshei yang dicari banyak orang. Kebanggaan sekaligus kekaguman, itulah yang kupunya terhadap mereka....sosok yang bagiku pantas untuk diteladani.
Kecintaan mereka terhadap Indonesia, mengajari kami bahwa bukan negara ini yang patut kita cerca dan kita salahkan kalau ternyata terdapat kecurangan, kebobrokan, kebodohan di dalamnya...namun kitalah para generasi penerus yang kualitas serta kuantitasnya patut dipertanyakan.
Dirgahayu Negeriku, Dirgahayu bangsaku...Sekali Merdeka Tetap Merdeka!