"Java Time" Pada Waktu Riyadh
Ketika mobil yang kami naiki memasuki Olaya District, agak kaget melihat sebuah coffee bernama "Java Time." Penasaran, coba googling mencari informasi. Ternyata "Java Time" bukan hanya ada di Olaya yang merupakan kawasan bisnis utama Riyadh, tetapi juga tersebar di beberapa wilayah Riyadh. Bahkan juga ada di beberapa kota utama Arab Saudi seperti Makkah dan Madinah.
Entah siapa pemilik coffee ini. Apakah investasi asing, waralaba internasional, murni milik orang Saudi, atau sesuai namanya. Coffee milik orang Indonesia.
Namun terlepas dari siapa pemiliknya, kenapa mesti kaget dengan "Java Time" di Riyadh ini?
Adalah benar bila "Java" dalam "Java Time" berarti Jawa. Sebutan Belanda dan Eropa dahulu pada sebuah pulau di Asia Tenggara yang didiami kebanyakan masyarakat Indonesia sekarang.
"Java Time" adalah istilah bangsawan Eropa Abad 18 ketika hendak menikmati minuman dari Jawa, yaitu Kopi. Karena berkaitan dengan menikmati Kopi, "Java Time" juga selaras dengan istilah  yaitu"Cup of Java" atau secangkir Jawa. Kopi dari Jawa yang enak dan menimbulkan sensasi tertentu ketika diseruput.
Meski "Java Time" atau "Cup of Java" menyiratkan aktivitas menyenangkan dan mengasyikan, dibalik dua istilah itu sebetulnya ada duka mendalam yang panjang dan memilukan. Kedua istilah bangsawan Eropa diatas tidak bisa dilepaskan dari kolonialisme Belanda terhadap rakyat Indonesia.
Ada banyak perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Diantara yang terkenal adalah Perang Padri di Sumatra yang dipelopori Tuanku Imam Bonjol, serta Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Pemerintah kolonial Belanda keteteran menghadapi perlawanan spartan ini.
Belanda memang berhasil mematahkan perlawanan ini. Namun usai perang, Belanda menghadapi problem pelik. Kas pemerintah tersedot cukup dalam karena perang ini. Bila tidak ingin kolaps, mesti ada upaya esktra untuk menutupi krisis finansial Belanda.
Menutupi problem inilah Guberrnur Hindia Belanda waktu itu, Johannes Van Den Bosch, mengeluarkan kebijakan tanam paksa. Kebijakan Van Den Bosch menimbulkan bencana kelaparan dan korban jiwa. Di beberapa kota seperti Gorobogan Jawa Tengah, sekitar sekitar 9/10 penduduk yang ada meninggal.
Kebijakan tanam paksa atau cultuur stelsel pada 1830 mengharuskan rakyat Indonesia menanam komoditi yang dicari pasar Eropa. Diantaranya adalah Kopi si emas hitam. Selain Gula dan Teh. Karena ingin mendapatkan keuntungan berlimpah, maka produksi pun mesti berlimpah.
Karena orang Indonesia belum mengenal Kopi, maka Belanda pun membawa benih Kopi. Mencari lahan yang cocok untuk ditanami Kopi, dan mengajarkan rakyat Indonesia cara menanam Kopi.
Sisi waktu dan nikmatnya Kopi Jawa inilah yang membuat agak kaget dengan keberadaan "Java Time" di Riyadh. Orang Arab seperti sedang disuguhi cara meminum Kopi Indonesia. Sementara di sisi lain, sejarah Kopi di Arab sebetulnya datang lebih awal dibanding Indonesia. Bila Kopi masuk Indonesia pada abad-19, maka Kopi sudah masuk Arab pada abad 15. Bisa dianggap bila orang Arab lebih berpengalaman menikmati Kopi dibanding Indonesia.
Beberapa sumber mengatakan bahwa permulaan Kopi berasal dari Ethiopia. Waktu itu seorang penggembala bernama Kaldi terheran-heran dengan tingkah polah gembalannya. Kambingnya terlihat bergerak lebih aktif setelah memakan biji-bijian.
Ketika Kaldi juga ikut memakan biji-bijian tersebut, ternyata dia merasakan bila badannya lebih segar dan kuat. Sehingga dia bisa bergerak lebih aktif. Biji-bijian itulah yang disebut Kopi.
Setelah itu Kopi masuk ke Yaman. Sebuah negara yang berada di Semenanjung Arabia paling Selatan. Karena efeknya yang membuat tubuh lebih segar dan kuat, orang Yaman yang Muslim menjadikan Kopi sebagai sarana penunjang Ibadah. Mereka meminum Kopi supaya bisa berdzikir semalaman.
Namun Yaman bukan hanya dikenal sebagai negeri tempat tinggalnya orang Islam. Yaman masa itu adalah pusat lalu lintas perdagangan dunia dan dikenal sebagai bangsa perantau.
Sebagai pusat lalu lintas perdagangan dunia, Yaman memiliki Pelabuhan terkenal bernama "Mocha." Karena biji Kopi dikirim dari Pelabuhan ini, banyak yang menyebut minuman Kopi sebagai "Mocha." Nama yang sekarang menjadi salah satu resep seduhan Kopi, yaitu "Mochachino."
Selain itu, orang Yaman juga dikenal sebagai perantau. Dalam Riwayat peradaban Arab Pra-Islam, penduduk Yaman inilah yang dianggap sebagai Arab asli atau 'Aribah. Ketika Nabi Muhammad hijrah dari Makkah ke Madinah, merekalah orang "Aus" dan "Khajraj" yang disebutkan menyambut kedatangan Nabi. Suku Aus dan Khajraj adalah imigran Yaman di Madinah.
Orang Arab pada waktu itu memberi nama minuman ini dengan sebutan "Qahwah" atau kuat. Karena minuman ini menimbulkan efek badan menjadi kuat.
Dari Selatan Semenanjung Arab, ditangan orang Yaman yang dikenal sebagai bangsa perantau dan memiliki Pelabuhan terkenal. Qahwah terus bergerak. Keluar Yaman dibawa ke wilayah Utara. Sampai kemudian berbelok ke Timur juga ke Barat. Diantaranya sampai ke Turki sekitar abad 16-17. Qahwah di lisan orang Yaman diadaptasi orang Turki menjadi "Kahveh." Â
Turki yang waktu itu secara politik sedang berkuasa dan secara geografis adalah pintu gerbang menuju Eropa, memperkenalkan Kopi ke Eropa. Diantaranya ke orang Belanda. "Kahveh" pun diadaptasi menjadi "Koffie."
Ketika "Koffie" diperkenalkan ke orang Indonesia, orang Indonesia pun mengadaptasinya menjadi Kopi. (Jangan-jangan yang merubah "Koffie" menjadi "Kopi" adalah orang Sunda. Selain orang Sunda kerap menyebut F dengan P, tatar sunda adalah diantara wilayah yang menjadi pusat penanaman Kopi zaman Belanda. Karena tanahnya subur dan suhunya dianggap cocok. Seperti perkebunan Kopi Malabar di Bandung).
Riwayat Kopi inilah yang membuat heran dan kaget melihat adanya "Java Time" di Riyadh. Sebuah masyarakat yang mempunyai tradisi minum Kopi yang lebih lama, disodori cara minum Kopi dari tradisi yang lebih muda.
Lalu apakah biji Kopi yang disajikan "Java Time" berasal dari Indonesia?
Disinilah ada ironi kedua dari "Java Time."
Meski secara generik"Java Time" merujuk kepada meminum Kopi dari Indonesia, besar kemungkinan bila biji Kopi di caffee "Java Time" Riyadh bukan berasal dari Indonesia.
Meski Indonesia mempunyai reputasi sebagai pemilik biji Kopi yang nikmat, tapi Kopi dari Indonesia masih sulit ditemukan di Riyadh khususnya dan Arab Saudi umumnya. Kopi Ethiopia dan beberapa biji Kopi dari Amerika Latin seperti Brazil dan Kolombia, masih menjadi pemain utama di Arab Saudi.
Banjirnya Kopi Ethiopia di Arab Saudi bukan hanya karena sudah berurat akar sejak dahulu, tapi juga faktor produksi dan distribusi. Orang Ethiopa dikenal bisa memproduksi Kopi lebih efektif dan efisien sehingga produksinya berlimpah. Selain itu, jarak Saudi-Ethiopia juga lebih pendek dibanding jarak Saudi-Indonesia.
Kopi Indonesia tidak bisa bersaing di Arab Saudi bukan karena kualitas, tapi karena masalah harga. Ethiopia, Yaman, Brazil, Kolombia bisa menjual Kopi lebih murah dibanding Indonesia.
Meski biji Kopi Indonesia bukanlah biji Kopi utama di Arab Saudi, namun orang Indonesia tetaplah peracik kopi yang handal. Banyak orang Saudi yang mempercayakan racikan kopi di coffee yang mereka miliki kepada orang Indonesia.
Belum ada data resmi berapa jumlah peracik Kopi dari Indonesia di Arab Saudi. Namun selain ahli perminyakan dan pelatih bulu tangkis, barista adalah profesi yang juga digeluti masyarakat Indonesia di Arab Saudi. Meskipun tentunya masih kalah jumlahnya dengan asisten rumah tangga dan supir pribadi.
Jadi mungkin kita sulit menikmati "Java Time" di Arab Saudi dengan biji Kopi dari Indonesia, namun kita masih bisa menikmati "Java Time" di waktu Riyadh dari tangan barista dari Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H