Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

AC Milan dan Sepak Bola Modern di Era Big Data

29 Juni 2023   00:14 Diperbarui: 7 Juli 2023   09:45 697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Klub sepak bola Serie A Liga Italia, AC Milan. (sumber: acmilan.com via kompas.com)

Ketika Investcorp menyatakan ketertarikannya membeli AC Milan, asa millanisti alias fans Milan membumbung tinggi. Sebagai investor Arab, investcorp dianggap tidak akan segan mengeluarkan uang banyak untuk membeli pemain terbaik Eropa.

Perpindahan kepemilikan AC Milan kepada Investcorp diyakini akan mengembalikan AC Milan seperti era Silvio Berlusconi. Orang tajir Italia yang tidak segan memecahkan rekor transfer pemain dunia untuk mengangkat AC Milan ke tangga juara.

Elliot Management pemilik AC Milan sebelumnya memang dikenal super ketat dalam hal keuangan. Pemain AC Milan yang didatangkan berputar antara pemain pinjaman, pemain habis kontrak, atau pemain potensial yang tersisihkan di klub. Semuanya serba murah.

Baca juga: Haji dan Fiqih Wudhu Masyarakat Indonesia dan Masyarakat Arab Saudi  

Bahkan ketika RedBird Capital dari Amerika berhasil menyalip rencana akuisisi Investcorp, asa millanisti tidak berubah. RedBird dianggap mempunyai portofolio lebih meyakinkan dalam Sepabola. Selain pemilik Tollouse FC di Prancis, RedBird juga memiliki saham Liverpool.

Namun pelan tapi pasti, asa millanisti pupus. RedBird tidak menunjukan tanda-tanda akan mengeluarkan uang banyak untuk membeli pemain terbaik Eropa. Tidak ada pemain besar Eropa yang dikaitkan dengan AC Milan sesudah RedBird menguasai Milan.

Indikator "pelit" nya RedBird makin menguat. Berawal dari pemecatan Direktur Tekhnik, Paolo Maldini, beserta tangan kanannya, Frederick Massara. Maldini dan Massara berselisih paham dengan Garry Cardinale, CEO Redbird, perihal budget transfer pemain.

Baca juga: Manuver Mohammed Bin Salman Mempercepat Perkembangan Sepakbola Arab Saudi  

Maldini dan Massara menuntut RedBird mengeluarkan dana lebih besar untuk membeli pemain. AC Milan perlu dibenahi dan diisi pemain berkualitas. Bila tidak, Milan akan tetap menjadi klub medioker. Tidak bisa bersaing dengan klub Eropa lainnya.

Garry Cardinale menolak permintaan Maldini. Bukan hanya tidak ingin mengeluarkan uang besar, Cardinale juga memecat Maldini karena dianggap gagal. Beberapa pemain mahal seperti Donnarumma dan Hakan Calhonaglu bisa keluar klub dengan status gratis.

Puncaknya adalah ketika Cardinale menjual Sandro Tonali ke Newcastle United. Gelandang timnas Italia yang digadang-gadang calon maskot AC Milan itu, dilego dengan harga 80 Juta Euro (Rp 1,14 Triliun).

Baca juga: Arab Saudi dan Kesultanan Ottoman Turki  

Cardinale mengatakan bahwa Klub tidak akan besar hanya bermodalkan nama besar dan sejarah. Harus ada visi baru dalam mengelola klub.

Menurut Cardinale, pembelian pemain AC Milan tidak lagi didasarkan pada nama besar atau reputasi. Karena cara seperti itu akan menguras keuangan klub. Nama besar selalu berkaitan dengan biaya transfer yang mahal.

Mesti dicari pemain-pemain yang murah dan tidak terdeteksi, tapi sebetulnya mempunyai performa meyakinkan. Semuanya itu memungkinkan bila pembelian pemain berdasarkan data statistik. Hal terakhir inilah yang menjadi menarik dari rencana Cardinale.

Baca juga: Jazan, Kota Di Arab Saudi Yang Dibangun Ketika Perang

Setidaknya ada dua hal yang menjadikan Cardinale yakin dengan visi baru nya ini. Pertama adalah karena sudah membuktikan bisa mempromosokan FC Tollouse ke divisi utama Ligue 1 Prancis dengan cara itu.

@acmilan twitter 
@acmilan twitter 

Adapun alasan kedua, Cardinale sudah melihat cara yang sama di Amerika. Pendekatan data dan statistik yang akurat dalam mengelola tim olahraga, sudah merevolusi olahraga Bisboll di Amerika.

Cardinale dikenal memiliki kedekatan khusus dengan Billy Beane. Seorang pelatih tim Bisboll yang berhasil mengangkat timnya menjadi juara, Oakland Atheltics, meski dengan dana terbatas. Beane sukses karena menyusun kerangka tim berdasarkan data dan statistik pemain.

Baca juga: Batu-Batu Berdiri Di Arab Saudi Bagian Selatan 

Kesuksesan Beane dalam merevolusi dunia Bisbol Amerika ini sempat diangkat Hollywood ke dalam film berjudul "Moneyball." Aktor kawakan Brad Pitt berperan menjadi pemeran utama dalam film yang direlease tahun 2011.

Berkaitan penting nya data dan statistik untuk dalam mengelola tim olahraga, juga sempat disinggung dalam Drama Korea "Hot Stove League." Cerita tentang Baek Seung-Soo yang berhasil mengangkat tim Bisball di Korea karena kejeliannya melihat data dan statistik pemain.

Diluar segala kontroversi Garry Cardinale dalam mengelola AC Milan, sekarang ini sadar tidak sadar kita memang sudah memasuki era Sepakbola modern yang sama sekali baru. Sepakbola di era Big Data.  

Baca juga: Arab Saudi Dan Kebutuhan Kaca Mata Anti Ultra Violet 

Adanya banya hal baru dalam Sepakbola modern di era Big Data. Seperti dalam analisa dan permainan Sepakbola.

Beberapa tahun lalu, para penggemar Bola masih bisa membaca analisa-analisa Sepakbola dari para kolumnis yang  bergelut dengan dunia sosial budaya. Karenanya analisa Sepakbola pun selalu berkaitan dunia sosial budaya masyarakat.

Seorang analis Sepakbola bisa melihat keterkaitan antara gerakan Marco Van Basten di lapangan yang tidak berbeda dengan penari balet. Seperti juga melihat Total Football Belanda sebagai psyche orang Belanda dalam memanfaatkan ruang.

Baca juga: Khutbah Jumat di Arab Saudi dan di Iran 

Dalam dimensi yang sama, seorang kolumnis juga bisa melihat keterkaitan antara pragmatisme Filippo Inzaghi dan Cattenacio Italia yang berkaitan dengan tradisi masyarakat Italia dalam menjalani kehidupan.

Bahwa Sepakbola adalah olahraga yang dilakukan oleh anggota tubuh yang sangat sulit dikontrol, yaitu kaki. Sehingga yang harus dilakukan dalam Sepakbola bukan bermain cantik, tapi bermain meminimalisir kesalahan.

Hal yang sama juga bisa kita lihat dalam memahami pertandingan.

Baca juga: Diri'yyah dan Gap Imajinasi Muslim Indonesia

Secara umum, Sepakbola memilah lapangan bola menjadi menjadi tiga wilayah berbeda. Wilayah belakang untuk bertahan, wilayah tengah untuk mengontrol permainan, dan wilayah depan untuk menyerang lawan.

Beberapa tahun lalu, sangat mudah memahami formasi 4-4-2 yang banyak dipakai pelatih Sepakbola. Empat orang pemain bertahan akan berada di belakang menjaga wilayah pertahanan. Dua bek sisi kiri kanan bisa overlap ke depan untuk menyerang.

Empat pemain di tengah dibagi dua. Dua pemain menyerang dari sisi kiri dan kanan, sementara dua pemain lagi menyeimbangkan lapangan tengah. Pemain yang satu condong menyerang ke depan, satu lagi menjadi filter lawan sebelum mereka masuk wilayah pertahanan.

Baca juga: Pajak di Arab Saudi dan Jembatan Penyebrangan di Riyadh, Melihat Arab Saudi Yang Bertransformasi - Bagian 3 

Adapun dua pemain di depan berarti pemain yang bertugas mencetak gol. Dia akan mendapat suplly bola dari lapangan tengah, dua pemain tengah yang berada di sisi kiri kanan, juga dua full back yang kerap maju ke depan untuk menyerang.

Namun analisa dan cara memahami strategi Sepakbola seperti diatas sudah mulai pudar. Selain menjadi sangat sarat dengan angka, formasi sebuah tim juga diatur sedemikian rigid dan lebih complicated.  

Analisa-analisa Sepakbola terkini dipenuhi dengan angka-angka performa pemain dan permainan. Istilah nilai expected goal, jumlah driblling, prosentase tackling gagal berbanding tackling sukses, atau besaran coverage area diantara fenomena baru analisa sepakbola.

Baca juga: Pajak di Arab Saudi dan Jembatan Penyebrangan di Riyadh, Melihat Arab Saudi Yang Bertransformasi - Bagian 2 

Begitu juga dengan cara memahami permainannya. Lapangan permainan tidak lagi dipilah menjadi tiga wilayah berberbeda seperti sebelumnya. Para pelatih Sepakbola memilah wilayah permainan pada bagian-bagian yang lebih sempit lagi.

Seperti wilayah sisi kiri kanan lapangan. Para pelatih membagi setiap sisi lapangan menjadi half space dan flank. Bila half space adalah wilayah gelandang sayap, maka flank adalah wilayah paling dekat dengan garis pembatas lapangan dan menjadi daerah full back.

Pembagian wilayah lapangan ini tentunya akan bertambah lebih detail bila kita melihat cara para pelatih bola memilah wilayah depan dan wilayah belakang. Dimanakah area yang harus dikuasai defensive midfielder, juga area mana yang mesti dieksplorasi seorang striker.

Baca juga: Pajak di Arab Saudi dan Jembatan Penyebrangan di Riyadh, Melihat Arab Saudi Yang Bertransformasi - Bagian 1 

Sepakbola yang sebelumnya sangat subjektif dan intuitif, menjadi sangat objektif dan rigid. Maldini yang sangat instingtif dalam melihat Sepakbola, berganti dengan Cardinale yang sangat kalkulatif.

Lalu siapakah yang akan menjadi pemenang antara Sepakbola Maldini dengan Sepakbola Cardinale?

Belum ada jawaban pasti tentang itu. karena ini berkaitan dengan masa depan yang sulit diprediksi. Hanya saja di era Big Data,  apa yang dikemukakan Cardinale mendapat momentum untuk tumbuh lebih cepat dan lebih besar.

Baca juga: Air Mineral Di Masjid Arab Saudi, Absurdnya Lupa Puasa Dan Minum Didalam Masjid di Siang Hari Bulan Ramadhan 

Ketika "Moneyball" Billy Beane berhasil mengembangkan Oakland Athlethics hanya berdasar pada pengolahan data dan statistik, maka era Big Data bisa berbuat lebih dari itu.

Big Data memungkinkan Cardinale mendapatkan data pemain yang lebih berlimpah ruah. Data besar tersebut diolah dengan machine learning dengan lebih cepat dan bisa mempetakan apa yang sedang terjadi sekarang, dan apa yang mestinya dilakukan pada masa yang akan datang.

Setelah itu, data bisa divisualisasi dengan mudah sehingga proses pengambilan keputusan bisa lebih cepat dan akurat.

Baca juga: Ragam Bahasa Arab Dalam Keseharian Masyarakat Arab Saudi, Kisah Lucu Negosiasi Dengan Supir Taksi di Riyadh!

Setelah sebelumnya kita menghadapi pertampuran antara Sepakbola indah dan Sepakbola pragmatis, kita sepertinya akan menghadapi dinamika baru dalam dunia sepakbola. Antara Sepakbola yang serba kalkulatif dengan Sepakbola instingtif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun