Umrah sebagai sebuah pengalaman keberagamaan
Karenanya biji Kopi Khalwani pun menjadi produk premium. Hanya dikonsumsi kalangan tertentu. Mahal dan berkualitas. Satu kilo biji Kopi Khalwan dijual seharga 100 riyal atau sekitar Rp 400.000. Hampir lebih dua kali lipat diatas harga rata-rata biji Kopi impor yang beredar di Arab Saudi.
Meski memiliki biji Kopi unggulan, Kerajaan Saudi Arabia tetap mendatangkan biji Kopi dari negara lain. Seperti juga komoditi lainnya yang dipergunakan untuk keseharian masyarakat Arab Saudi.
Bila kita jalan-jalan ke hypermarket di Riyadh, sepertinya hanya tiga hal saja yang tidak didatangkan Kerajaan ke Saudi Arabia dari luar. Ketiganya adalah minyak bumi, air zam zam dan Ka'bah.
Lainnya, kita akan familiar dengan barang impor. Beras yang menjadi makanan pokok didatangkan dari India, Thailand dan Mesir. Sajadah untuk shalat, datang dari China. Bahkan Kurma yang juga ada di Saudi, masih didatangkan dari Yaman.
Baca juga;
Asykar penjaga ketertiban di Masjidil Haram Makkah
Keberadaan Kopi di Saudi Arabia sepertinya sudah ada terlebih dahulu ketimbang keberadaan Kopi di Indonesia. Begitulah kesimpulan yang akan kita temukan bila membaca "Babad Kopi Parahyangan" yang ditulis Evi Sri Rezeki.
Menurut alumni Fikom Unisba ini, mulanya adalah Khaldi. Seorang pemuda penggembala kambing di Ethiopia. Sebuah wilayah di Afrika bagian Timur. Dahulu bangsa Arab menyebut wilayah ini dengan nama Habasyah.
Sebagai penggembala, Khaldi terbiasa membiarkan kambing gembalanya pergi kemanapun mereka mau. Karena toh mereka akan kembali bila dia panggil. Atau akan kembali ke tempat dia mengumpulkan, bila waktu pulang sudah tiba.
Namun kali ini Khaldi melihat kambing gembalaannya berlaku diluar kebiasaan. Gerakannya lebih aktif dan embikannya lebih keras. Terdorong rasa ingin tahu, Khaldi pun membuntuti kemana kambing-kambingnya pergi.