Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Bagi Didier Deschamp Ini Belum Berakhir

20 Desember 2022   18:56 Diperbarui: 20 Desember 2022   19:07 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lahir di Bayonne Prancis 15 Oktober 1968, tinggi badan Didier Deschamp hanya 1.7 meter. Bahkan katanya kurang 1 centimeter. Tinggi badan yang pendek untuk pemain Sepakbola. Apalagi pemain Sepakbola Eropa.

Namun jangan pernah bandingkan tinggi badan Deschamps dengan capaian yang sudah diraihnya di Sepakbola. Prestasinya menenggelamkan legenda Prancis seperti Michael Platini dan Zinedine Zidane. 

Ketika Prancis pertama kali Juara Dunia 1998, Deschamps lah pemain Prancis yang pertama kali mengangkat Piala Jules Rimet itu. Begitu juga ketika Prancis berangkat ke Euro 2000. Deschamps adalah Kapten Tim Nasional Prancis di dua turnamen itu. Bukan Zidane yang dianggap maestro mengolah bola.

Prestasi Deschamps tidak berhenti sebagai pemain. Ketika menjadi pelatih, Deschamps membawa Prancis ke Final Piala Eropa 2016 sebelum kemudian berhasil mempersembahkan trofi Piala Dunia pada 2018. Di dunia ini, baru tiga orang yang berhasil mengangkat trofi Piala Dunia baik sebagai pemain maupun pelatih. Mario Zagalo dari Brazil, Franz Beckenbauer dari Jerman dan Deschamps. Tentunya ini diluar catatan Deschamp ketika menjadi pelatih klub.

Karena berpostur pendek dengan prestasi menjulang, beberapa kalangan kerap menyematkan nama Napoleon Bonaparte pada Deschamps. Kapten Prancis yang juga berpostur pendek, tapi berhasil memimpin pasukan Prancis menaklukan berbagai wilayah di dunia. Di tangan Napoleon, Prancis menjadi ancaman baru Inggris untuk menjadi penguasa baru dunia.

Namun sebetulnya lebih mudah menautkan Deschamps ke sosok Asterix ketimbang Napoleon. Figur imaginatif dalam komik Asterix & Obelix rekaan Ren Goscinny dan Albert Uderzo. Komik Asterix & Obelix mendunia bukan hanya kerap memunculkan banyak tradisi diluar Prancis dengan sarkasmenya, tetapi juga diterjemahkan ke berbagai bahasa dan di film kan.

Dalam imaginasi Goscinny dan Uderzo, Asterix adalah pasukan Galia bertubuh kecil dan berpedang pendek. Bila tidak meminum ramuan super ajaib dari dukun Panaromix, Asterix tidak mempunyai cara unik dan atraktif untuk menghajar pasukan Romawi musuhnya. Bahkan mungkin akan kalah oleh satu pasukan Romawi.

Berbanding terbalik dengan temannya Obelix. Lelaki bertubuh raksasa dan mempunyai kekuatan luar biasa, meski tidak meminum ramuan dukun Panaromix. Obelix tidak hanya mempunyai kekuatan untuk menghajar empat garnisun pasukan Romawi yang mengeliling desa Galia, tetapi juga mempunyai cara atraktif dan membuat pembaca terhibur.

Meskipun begitu, kepada Asterix lah semua otoritas diberikan dan dipercayakan. Curcix sang Kepala Desa yang dalam hidupnya tidak mempunyai ketakutan apapun kecuali pada ancaman langit runtuh, akan mempercayakan semua strategi pertempuran pada Asterix. Begitu juga dukun Panaromix yang menjadi nyawa Desa Galia. Kepada Asterix lah mempercayakan semua misi yang sulit. Bukan kepada Obelix.

Kira-kira begitulah Deschamps. Tinggi badannya kalah dengan Emmanuel Petit. Partnernya yang bertugas menggalang lini tengah Prancis. Tidak pernah menunjukan kecepatan seperti seperti duo wing bek Prancis, Lizarazu dan Thuram. Terlebih bila dibandingkan Zidane yang menjadi ikon Prancis. Deschamps tidak mempunyai daya magis mengolah bola apalagi melakukan Zidane's Roulette. Sebuah teknik mengecoh lawan ketika memegang bola dengan melakukan manuver putaran badan 180 derajat.

Meski begitu, kepada Deschamps lah semua otoritas diberikan. Aim tienne Jacque yang berhasil membawa Prancis Juara Dunia 1998, memilih Deschamps sebagai Kapten tim bukan Zidane.

Deschamps memang mempunyai tugas tidak menarik. Mesti menjadi pemain pertama yang menahan semua pemain lawan yang mau memasuki area pertahanan Prancis dengan cara apapun. Apakah tackling keras bila pemain bergerak cepat, atau merebut bola ketika pemain dalam pergerakan lambat. Setelah merebut bola, Deschamps bertugas untuk mendistribusikannya. Tidak ada yang menarik dari dua tugas seperti itu.

Namun sebetulnya disinilah kelebihan Deschamps. Butuh kecerdasan membaca permainan lawan bila ingin efektif menahan pergerakan lawan. Sebaliknya, butuh ketepatan membaca permainan kawan bila ingin efektif mendistribusikan bola.

Di final Piala Dunia 1998 melawan Brazil, sulit bagi Deschamp untuk menahan Ronaldo il fenomeno yang eksplosif. Namun ketepatan membaca permainan, memungkinkan Deschamps membuat il fenomeno terisolir dan tidak berdaya. 

Tugas Deschamps memang merebut bola, tetapi setelah itu Deschamps lah yang menentukan arah bola. Apakah bola akan diberikan pada Thuram dan Lizarazu yang rajin menyusur sektor flank kiri kanan, Youri Djorkaeff yang bergerak di sektor hal space atau Zidane yang bergerak di tengah lapangan. Kepada siapa bola di distribusikan, akan menentukan format serangan seperti apa yang dijalankan.

Pada Babak I final Piala Dunia 1998, Zidane lah yang mencetak dua gol keunggulan Prancis. Namun dalam Yeux Dans Les Bleus, dokumenter yang merekam perjalanan Prancis di Piala Dunia 1998, ditunjukan bahwa Deshcamps lah yang pertama kali sampai ruang ganti pemain. Ketika Zidane terlihat lelah sambil tergelak di lantai dan beberapa pemain terlihat sumringah, Deschamps memandang tajam semua temannya. Mengingatkan mereka bila permainan belum berakhir. Masih tersisa 45 menit lagi yang harus dituntaskan dengan baik.

Setelah itu, satu persatu pemain didatangi Deschamps untuk membicarakan strategi permainan. Deschamps yang berposisi diantara pemain depan dan belakang, mendatangi Djorkaeff yang bermain di sektor depan. Kemudian juga berdialog dengan Thuram yang bermain di belakang. Tidak lupa mendatangi Zidane dan membisikan sesuatu sambil menepuk-nepuk pipi Zidane.

Dalam terminologi Sepakbola modern, posisi Deschamps adalah Deep-lying Play Maker. Berdiri diantara pemain belakang dan tengah, pemain ini bertugas menahan serangan lawan sekaligus merancang serangan tim dari awal. Orang Italia menyebutnya sebagai Regista atau Sutradara Film. Karena dialah pengatur orkestra permainan secara keseluruhan.

Hal itu juga yang ditunjukan Deschamps di final Qatar 2022. Setelah tertinggal 2-0 dari Argentina, Deschamps sadar bila anak buahnya kalah ball posession dan harus direspon dengan cepat dan tepat. Deschamps pun melakukan perubahan drastis.

Ousmane Dambele mesti diganti. Bukan hanya karena menjadi biang hukuman pinalti dan tidak ada kontribusi, tapi tidak cocok menjalankan direct ball yang direncanakan Deschamps. Begitu juga dengan Griezman dan Giroud. Theo Hernandez memang kerap maju ke depan membantu serangan. Hanya sering kedodoran menguasai pertahanan kiri Prancis sehingga sering dieksploitasi. Solusinya adalah Kolo Muani, Marcus Thuram, Kingsley Coman dan Camavinga.

Hasilnya seperti yang sudah kita ketahui. Keempat pemain yang dimasukan Deschamp, berkontribusi atas comeback nya Prancis. Berawal dari Kingsley Coman yang merebut bola dari Messi lalu mengirim umpan ke Kolo Muani. Akselarasi Muani memaksa Ottomendi melakukan pelanggaran yang berbuah pinalti. Sekitar 1.5 menit kemudian, giliran Marcus Thuram yang mengirimkan asist. Mbappe berhasil mengkonversi kedua peluang tersebut menjadi gol. Sementara Camavinga bukan hanya membuat pressing Argentina bubar, tapi menjadikan lini tengah lebih stabil.

Perubahan yang dilakukan Deschamps mungkin bisa mengantar Prancis juara ketika Muani membuaat shooting keras ke gawang Argentina. Tapi Martinez sedang tampil gemilang sehingga layak menjadi Man of The Match. Martinez sudah melakukan penyelematan terbaik di Qatar 2022 ini. Jadi ini bukan perihal Muani yang tampil buruk, tapi Martinez yang sedang tampil gemilang.

Sebagaimana Asterix yang kadang mempunyai hubungan buruk dengan Obelix dan membuat mereka berada dalam kesulitan, hal seperti ini jugalah yang sepertinya terjadi dengan Deschamps.

Mungkin Deschamps masih mempunyai pembelaan objektif ketika memilih Varane ketimbang Ibrahim Konate untuk mengawal lini belakang. Meski Konate menunjukan catatan baik di Qatar 2022. Memenangkan 21 kali duel dengan lawan dari 22 kali duel. Konate juga bermain ketika Prancis tidak kebobolan.

Namun ada banyak pertanyaan kenapa Deschamps tidak mau memanggil kembali Karim Benzema sebagai striker. Padahal pemegang Ballon D'Oro sudah sembuh. Begitu juga pilihannya atas Kounde yang beberapa kali kedodoran mengawal sisi kanan dan memarkir Pavard. Konon katanya hubungan tidak baik lah yang menyebabkan itu.

Namun Asterix sendiri memang begitu. Goscinny dan Uderzo selalu menunjukan bila Asterix kerap jatuh karena kesalahan perhitungan dan kesalahan sikap terhadap Obelix. Namun setelah itu, dia bangun lagi.

Jadi bagi Deschamps Qatar 2022 ini bukan berakhir. Deschamps mungkin gagal menorehkan sejarah baru membawa Prancis juara Piala Dunia berturut-turut. Namun Deschamps masih mempunyai peluang menjadi pemain sekaligus pelatih yang pertama mengangkat trofi Piala Dunia dua kali. Dimana dua trofi itu diraih sebagai pelatih. Selama masih diberikan otoritas untuk itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun