Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kehidupan Menurut Sains dan Agama

11 Maret 2022   06:18 Diperbarui: 11 Maret 2022   06:24 867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam keseharian, terlihat betapa orang sangat mengagungkan Ilmu Pengetahuan. Cerita tentang orang tua yang mengorbankan seluruh miliknya demi pendidikan anak-anak, menjadi cerita heroik dan menyentuh. Rekrutmen pegawai dan peningkatan karir yang mensyaratkan ijazah pendidikan formal, sampai pada pencantuman gelar akademis pada surat undangan yang tidak ada kaitannya dengan dunia akademis, juga sudah lumrah.

Reputasi gelar akademis makin membumbung manakala Agama juga mengajarkan bahwa memiliki Ilmu itu kemuliaan. Siapapun yang menginginkan kesenangan dunia dan hari akhir, kuncinya adalah Ilmu. Selain itu, Tuhan akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu. Meskipun bila ditelaah lebih detail ayat yang menyatakan itu, kita akan menemukan bahwa dua yang utama sebelum Ilmu adalah Iman dan Amal Shaleh.

Pandangan yang tidak keliru. Karena memang begitulah seharusnya Ilmu dan orang ber Ilmu pengetahuan diperlakukan. Mereka mesti berada diatas. Karena dengan pengetahuannya mereka memberi cahaya bagi kita untuk memahami situasi.

Begitu juga lah riwayat kehidupan manusia. Bermula hidup yang dipenuhi dengan mitos, dilanjutkan dengan hidup yang memberdayakan akal, sampai dengan kehidupan yang dipenuhi dan dipandu Ilmu. Bila masa mitos kerap sinonim dengan kegelapan dan keterbelakangan, maka masa Ilmu pengetahuan adalah masa penuh terang dan kemajuan.

Bila kita melihat pada masa Yunani yang kerap dianggap rujukan sebagai awal munculnya Ilmu Pengetahuan, mungkin kita bisa merujuk kepada tiga tokoh legendaris, yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles.

Awalnya kehidupan di Yunani dipenuhi dengan mitos. Masyarakat berpandangan bahwa penguasa dan penentu kehidupan manusia adalah Dewa. Sebagaimana faktor penentu kehidupan manusia itu bermacam-macam dan bertingkat-tingkat pengaruhnya, maka Dewa pun bermacam-macam dan masing-masing mempunyai tingkatannya tersendiri. Makin tinggi pengaruhnya, makin tinggilah level Dewa tersebut.

Socrates kemudian datang mengingatkan.

Namun Socrates tidak datang dengan membawa berbagai tulisan untuk dibaca atau berceramah untuk didengar. Socrates justru datang tanpa membawa tulisan dan sedikit berbicara. Dia hanya mengajak masyarakat berdialog dengan mengajukan berbagai macam pertanyaan. Hanya saja pertanyaan-pertanyaan Socrates itulah yang menggugah dan membangun daya pikir masyarakat.

Para Psikolog dan Pendidik mengadopsi cara Socrates bertanya dalam istilah "Socratic Question". Sebuah cara merumuskan pertanyaan yang benar dan tepat untuk bisa menstimulasi tumbuhnya daya kritis peserta didik. Sementara para ilmuwan menyebut Socrates sebagai seorang bidan. Sebagaimana bidan yang tidak melahirkan tapi hanya membantu kelahiran, begitu juga Socrates. Dia tidak melahirkan sebuah pemikiran tapi mengajak orang untuk melahirkan pemikiran.

Melalui Socrates, kehidupan yang dipenuhi mitos perlahan bergeser ke kehidupan kritis. Kehidupan ketika manusia memberdayakan pikirannya untuk memahami situasi. Pola memahami kehidupan inilah lebih diperdalam oleh Plato dan Aristoteles.

Bila Plato memperkenalkan istilah "Allegory of the Cave" untuk menggambarkan perlunya menelisik hal yang idealistik, Aristoteles bersikap sebaliknya. Menurut Aristo, manusia mesti memberikan perhatian kepada hal-hal yang sangat realistik. Seperti kepada tumbuhan yang ada dalam kehidupan manusia. Melalui Aristoteles inilah orang kemudian berbicara tentang kategorisasi. Upaya untuk memilah suatu hal berdasarkan kesamaan.

Adalah Raphael, arsitek dan penulis masa Renaisance dari Italia, yang memberikan gambaran perihal kedua penerus Socrates ini. Raffaello Sanzio da Urbino, nama asli Raphael, melukis dinding Palazzo Apostolico, kediaman resmi Paus Paulus di Vatikan, dengan lukisan berjudul "Scuolo di Atene" School of Athens atau Mazhab Athena.

Pada lukisan yang dibuat sepanjang 1509 -- 1511 terlihat sekelompok orang sedang berkumpul di sebuah ruang besar. Di tengah kumpulan itu, ada dua lelaki yang berdiri di tengah dan menjadi pusat kumpulan. Bila lelaki sebelah kiri mengarahkan tangannya keatas sambil mengacungkan satu jarinya, maka lelaki sebelah kanan mengarahkan tangannya kebawah dengan lima jari yang terbuka.

Lelaki sebelah kiri adalah Plato. Tangan dan telunjuk jari yang mengarah keatas bermakna bahwa yang benar itu satu dan dia ada diatas sana. Alam idea. Sementara lelaki sebelah kanan adalah Aristoteles. Melalui tangan yang mengarah kebawah dia mengingatkan bahwa kita mesti memperhatikan dunia ini. Kelima jari yang terkembang bermakna bahwa dunia ini bisa dikenali dengan mengaktifkan kelima panca indra kita.

Bila Plato yang menunjukan satu jari nya keatas membuat orang mempelajari dunia spiritualitas, maka Aristo dengan tangan terbuka kebawah mengajak orang mempelajari realitas. Bila ajaran Plato sering dikutip para agamawan, maka ajakan Aristoteles melahirkan banyak ilmuwan. Dalam kehidupan sekarang, kedua hal inilah yang sedang menjadi patokan manusia. Agama di satu sisi dan Ilmu Pengetahuan di sisi lain.

Sejatinya Agama dan Ilmu Pengetahuan adalah dua yang sinergis sebagai pemandu manusia. Keduanya memandu pada dua level yang berbeda. Namun riwayat kehidupan manusia menunjukan hal yang kontras. Pada satu sisi pernah terjadi dominasi Agama atas Ilmu pengetahuan dan begitu juga sebaliknya. Sayangnya dominasi yang terjadi sangat ekstrem sampai menghilangkan nilai-nilai yang terkandung dalam Agama dan Ilmu Pengetahuan.

Ajaran dasar Agama tentang pengayoman hidu manusia pernah menjadi alat eksekusi bagi orang-orang yang merumuskan Ilmu pengetahuan dengan dalih Agama. Begitu juga sebaliknya. Dominasi Ilmu Pengetahuan tanpa sadar telah menjadi alat persekusi sosial bagi orang-orang yang melihat Agama sebagai hal yang sangat penting bagi kehidupan dirinya.

Padahal bila ajaran Agama menyatakan secara ekstrinsik perlunya Ilmu Pengetahuan, maka Ilmu Pengetahuan secara intrinsik menyatakan perlunya instrumen lain untuk memahami kehidupan. Sementara bila Ilmu pengetahuan adalah upaya untuk memahami dan memprediksi kehidupan, maka penolakan akan kemutlakan adalah bawaan Ilmu pengetahuan. Meskipun Ilmu pengetahuan berperan sangat besar dalam kemajuan.

Sinergitas Agama dan Ilmu Pengetahuan serta penolakan Ilmu Pengetahuan terhadap kemutlakan bisa kita lihat pada cara Matematika mendefinisikan manusia. Matematika menjadi sangat penting karena Matematika adalah dasar pengembangan Sains. Kita bisa melihat ini pada situasi sekarang.  

Di dunia yang sedang ditenggelamkan informasi, Matematika kembali menunjukan elan vitalnya. Timbunan data yang tidak terstruktur, dengan mudah diurai. Melalui dan dengan Matematika, orang merancang berbagai macam bentuk algoritma machine learning untuk mengurai data dan memprediksi masa depan. Alpha Go, artificial intellegence google yang meniru permainan tradisional Go dari China, bisa mengalahkan juara dunia Go dari China Ke Jie. Diantara kuncinya karena Alpha Go bisa memprediksi berbagai langkah Go dari Ke Jie. Sementara Go dikenal sebagai permainan tradiosional yang paling rumit di dunia.

Meski Alpha Go buatan Google bisa memprediksi dengan tepat langkah-langkah Ke Jie dan mengalahkannya, dunia Data Science sendiri pada dasarnya tidak mengenal prediksi yang bernilai tepat 100%. Bila sebuah kalkulasi algoritma sebuah machine learning menghasilkan angka 100% atau nilai pasti, Data Scientist sepakat bila angka tersebut pasti keliru. Ada banyak hyperparameter, bahkan mungkin tahap preprocessing data, yang mesti diteliti kembali. Karena dalam Matematika tidak ada hitungan yang bersifat mutlak.

Hal yang sama juga berlaku bila Matematika dipakai untuk menganalisa variable-variable penentu sebuah peristiwa. Secara teoritis, Matematika memperkenalkan analisa berdasar satu variable, berdasar dua variable, dan multivariabel.

Meski Matematika memperkenalkan multivariable sebagai pola analisa, menganalisa dengan sedikit variable jauh lebih disarankan. Karena lebih aplikatif bagi kehidupan manusia. Pastinya konsekuensi pengurangan variable adalah pengurangan akurasi dari sebuah prediksi. Namun begitulah memang cara kerja Sains. Dia tidak bisa menganalisa secara keseluruhan sehingga hasilnya pun tidak menjadi benar 100%. Cara Matematika mengurai realitas ini memberi ruang bagi orang lain untuk menyanggah kebenaran prediksi nya.

Cara kerja dan "mental" Matematika seperti inilah yang sepertinya absen pada banyak Ilmuwan. Sering kita temukan banyak Ilmuwan yang memutlakan Sains. Seolah semuanya bisa benar karena memakai Ilmu Pengetahuan untuk meneropongnya. Padahal cara kerja Sains melihat realitas itu parsial dan reduktif.

Dari cara kerja sains yang reduktif dan parsial diatas tentunya muncul pertanyaan penting. Bila Sains itu parsila dan reduktif baik proses dan hasilnya, lalu untuk apa berpegang pada hal yang tidak sempurna? Tidak keliru bila masyarakat yang menganggap Agama sebagai hal yang penting, mengajak orang beralih ke Agama.

Untuk menjawab hal ini, mungkin kita bisa mengingat kembali ajaran Agama yang mengingatkan orang untuk memperhatikan dan memegang pada Sunatullah dan Qudratullah. Keduanya adalah ketentuan dari Tuhan yang berlaku bagi manusia.

Bila Sunatullah adalah kejadian umum, maka Qudratullah adalah peristiwa khusus. Sunatullah adalah peristiwa yang menunjukan bekerjanya hukum alam. Sementara Qudratullah adalah terhentinya hukum alam yang sudah digariskan Tuhan, karena intervensi Tuhan.

Bila kita simulasikan dalam Matematika, Sunatullah adalah "Three Central Tendencies". Sunatullah adalah rata-rata peristiwa yang menimpa manusia (mean), atau peristiwa yang kerap menimpa manusia (modus) atau pusat peristiwa setelah semua peristiwa sejenis diurutkan secara urut (median). Adapun Qudratullah adalah Standard Deviasi. Peristwa yang kerap menyimpang dari keumuman yang terjadi pada kehidupan dan prosentase kejadiannya sangat kecil.

Sunatullah adalah ketika orang terbakar dan mati karena dia melompat dalam kobaran api. Sementara Qudratullah adalah ketika Nabi Ibrahim dibakar hidup-hidup namun api bukan hanya tidak membunuhnya, tetapi juga menjadi dingin bagi tubuhnya.

Sunatullah dan Qudratullah sama-sama ada dalam kehidupan manusia. Namun meski keduanya ada, patokan manusia tetaplah Sunatullah bukan Qudratullah. Bila tidak ragu kalau rujukan utama kita adalah Sunatullah, bisa dicoba dengan mendekatkan tangan ke api. Silahkan diperhatikan apakah yang terjadi itu Sunatullah atau Qudratullah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun