The Crusades; an Arab Perspective
Bila Asia itu representasi Timur dan Eropa itu representasi Barat, maka The Crusades atau Perang Salib adalah riwayat peradaban manusia yang akan terus dibicarakan dan dikenang. Terlebih bila Kristen dan Islam dianggap dua agama dengan pemeluk terbesar di dunia
Ada banyak hal menarik dalam dokumener berjudul "The Crusades; an Arab Perspective" yang dipublikasikan Aljazeera pada tahun 2018 ini. Dokumenter Aljazeera ini sendiri terdiri dari empat episode dengan durasi masing-masing episode sekitar 45 menit.Â
Tambahan episode ke-5 yang hanya berdurasi sekitar 2 menit, berisi profil singkat Shalahuddin Al-Ayyubi. Dokumenter ini bisa diakses secara gratis di akun YouTube resmi Aljazeera
Diantara yang menarik tentunya figur Shalahuddin Al-Ayyubi. Bagi kaum muslimin Shalahuddin adalah "The Greatest Hero" dalam Perang Salib. Al-Ayyubi berbeda kontras baik dengan pendahulu maupun penerusnya.Â
Bila pendahulunya gagal menyingkirkan ego supaya bisa bersatu untuk menghadapi invasi Eropa ke Jerusallem, maka Al-Ayyubi berhasil menyatukan seluruh elite politik umat Islam untuk bersatu merebut kembali Jerusallem dari Pasukan Salib Eropa.
Para penerus Shalahuddin disebutkan juga berhasil membendung upaya penaklukan kembali Jerusallem. Namun Al-Ayyubi dianggap tetap yang terbesar. Karena beliau berhasil merebut Jerusallem ketika Eropa berada dalam puncak kekuatannya di Arab.Â
Sementara para penerusnya berhasil membendung kedatangan Eropa ke Jerusallem karena dalam banyak hal terbantu oleh keteledoran strategi perang Eropa. Seperti ketika Eropa tidak kenal geographis dan memprediksi cuaca Timur Tengah sehingga serangan mereka gagal disebabkan banjir di Mesir karena luapan sungai Nil.
Lebih dari itu, Al-Ayyubi juga dikenal bukan orang Arab dan dianggap lebih jernih dan tulus ketika memimpin perebutan kembali Jerusallem.
Disebutkan bahwa ketika meninggal, mantan Gubernur Mesir dan Syiria, hanya meninggalkan sedikit harta yang bahkan tidak cukup untuk membeli kain kafan. Sementara para penerus Al-Ayyubi kerap termotivasi untuk meraih simpati publik ketika menyatakan perang terhadap Pasukan Salib dari Eropa.
Hal menarik lainnya adalah di sela-sela pertempuran berdarah-darah selama 2 abad ini, ternyata terjadi proses transfer Ilmu Pengetahuan dari orang Arab ke orang Eropa. Diceritakan bahwa ketika Eropa berhasil menguasai Jerusallem pada Perang Salib I, ada banyak tradisi yang hilang dalam kehidupan di Jerusallem.Â
Seperti cara menghadapi orang sakit. Orang Eropa menganggap cara menyembuhkan orang sakit kepala adalah dengan memberi cap salib di dahinya. Karena orang tersebut sedang kemasukan setan. Menggantikan kebiasaan orang Jerusallem yang memberikan obat kepada orang sakit kepala.
Penamaan Perang Salib sendiri pada dasarnya baru muncul pada akhir Abad-12 ketika perang sudah usai. Berawal dari Jerman yang mengkaitkan dengan gambar Salib yang menjadi panji pasukan Eropa. Istilah muncul dari orang Kristen yang merasa menjadi korban dari peperangan ini.Â
Sementara sejarawan muslim pada masa itu, menghindari penamaan Perang yang dikaitkan Agama. Sementara ketika peperangan berlangsung, orang Eropa menyebut nya dengan "Holy War", "Lord War" dan lain sebagainya.
Invasi Barat atas Timur dengan penguasaan Jerusallem sendiri pada akhirnya tidak berlanjut. Setelah Al-Ayyubi meninggal, Barat bukan hanya berkali-kali salah strategi, tetapi juga kembali ke kampung halaman karena di negerinya mempunyai masalah pelik yang harus diselesaikan.
Namun menurut para sejarawan, berkhirnya Perang Salib tidak pernah memudarkan memori kolektif orang Eropa yang ingin menaklukan dunia Timur.
Memori kolektif yang sudah menjadi obsesif ini akhirnya bisa diwujudkan pada oleh Napoleon Bonaparte dari Prancis pada abad ke-18 dengan menaklukan Mesir. Setelah invasi Prancis atas Mesir itu, negara-negara di kawasan Timur Tengah yang dahulu menjadi basis perlawanan terhadap pasukan Salib Eropa, praktis berada dalam jajahan negara Eropa Barat seperti Inggris dan Prancis.
Dokumenter Aljazeera sendiri hanya menyinggung sedikit keterkaitan antara Perang Salib dan invasi Napoleon ke Mesir. Namun bila kita review perjalanan dunia Islam pasca invasi Napoleon dan Perang Salib, ada sesuatu yang menarik sekaligus miris. Bila dalam Perang Salib terjadi transfer ilmu pengetahuan dari orang Arab ke orang Eropa, maka pada masa Napoleon terjadi hal yang sebaliknya. Napoleon datang ke Mesir sambil memperkenalkan Ilmu Pengetahuan pada orang Mesir yang dulu didapat Eropa ketika Perang Salib.
Setelah invasi Napoleon inilah di Mesir muncul figur seperti Muhammad Abduh. Selain dikenal sebagai penyeru persatuan umat Islam melawan kolonialisme Barat, Abduh juga dikenal sebagai orang yang mengingatkan pentingnya Sains. Karena melalui Sains itulah orang Islam bisa mengejar ketertinggalan dari Barat.Â
Dalam rangka mengingatkan pentingnya Sains inilah Abduh sebagai Rektor Universitas Al-Azhar Kairo memperkenalkan Filsafat sebagai bidang yang mesti menjadi bahan kajian serius. Selain dari perlunya Al-Azhar membuat jurusan Ilmu Umum selain Ilmu-Ilmu Agama.
Bersama gurunya Jamaluddin Al-Afghani juga rekannya Musthafa Al-Maraghi, Abduh bisa dikatakan sebagai generasi pertama intelektual muslim abad-19 setelah generasi Ibnu Rusyd, Al-Farabi di abad 11. Di Indonesia, Â ide perlunya pengajaran Filsafat dalam institusi pendidikan Islam diadopsi UIN (dulu IAIN) dengan pendirian Fakultas Ushuluddin dan menjadikan Ushuluddin sebagai "benchmark" IAIN sebelum dilanjutkan dengan pendirian berbagai Jurusan Ilmu Umum yang mengubah IAIN menjadi UIN.Â
Namun sebelum menonton lebih jauh dokumenter ini, hal paling menarik dari dokumenter ini ada pada judulnya. Terutama frasa "an Arab Perspective".Â
"An Arab Perspective" pada judul dokumenter tidak hanya sudah memberikan batasan bagi para calon penonton, tetapi juga peringatan. Batasan bahwasannya apa yang diungkap dalam dokumenter ini adalah dalam perspektif orang Arab. Artinya, dokumenter ini mengakui ada perspektif lain yang bisa jadi berbeda dengan perspektif dalam dokumenter ini.Â
Meskipun sejarawan yang menjadi narasumber dalam dokumenter ini tidak hanya dari dunia Arab, tetapi juga dari Eropa. Juga peringatan bagi para calon penonton bahwa dalam dokumenter ini bisa jadi ada pemihakan terhadap golongan tertentu.
Di era post-truth dimana manipulasi dan distorsi informasi kerap dianggap hal normal, frasa "An Arab Perspective" menjadi sangat bermakna. Al-Jazeera tidak membuat judul "The Truth About Crusades" yang menyiratkan klaim kebenaran mutlak. Atau hanya membuat judul "The Crusades" tanpa keterangan apapun sehingga tidak memberikan kesiapan bagi para calon penonton untuk memaknai dokumenter ini.
Bila dikatakan bahwa sejarah adalah peristiwa berulang dan saat ini orang sedang ramai membicarakan radikalisme beragama, maka ada hal menarik dari latar munculnya Perang Salib yang diungkap dokumenter ini.
Pada masa sebelum Perang Salib dimulai, Eropa betul-betul sedang menghadapi kehidupan yang suram. Secara politik sedang terjadi pertentangan antara kelompok Agamawan dan Aristokrat Borjuis tentang siapakah yang paling berkuasa diantara mereka. Sementara di kalangan Borjuis yang populasinya hanya 1% dibanding masyarakat kebanyakan pun terjadi konflik. Penyebabnya adalah ketidakpuasan pembagiaan wilayah kekuasaan.
Adapun masyarakat bawah yang kehidupannya bergantung kepada pertanian, dihadapkan kepada kemarau panjang. Penderitaan masyarakat bawah bertambah ketika konflik elite borjuis juga berimbas kepada kehidupan mereka. Para borjuis yang merasa tidak puas dengan pembagian kue ekonomi antar mereka, lalu turun langsung ke masyarakat untuk merampok. Penjarahan dan kekerasan terhadap perempuan oleh para borjuis pun menjadi umum.
Pada saat yang sama orang Eropa Kristen yang kerap berziarah ke Jerusallem untuk mengenang peristiwa disalibnya Yesus, melihat kehidupan yang kontras. Meskipun Jerusallem diisi oleh tiga penganut Agama berbeda, kehidupan berjalan rukun dan damai. Begitu juga dengan kehidupan ekonomi. Penguasaan Sains yang memungkinkan pengaturan irigasi yang benar, memungkinkan orang Arab di Timur menata aktivitas pertanian dan peternakan sehingga membuahkan hasil optimal. Gambaran ini diperteguh dengan novel "Seribu Satu Malam" yang menggambarkan betapa maju dan makmurnya Timur.
Sampai pada suatu ketika Paus Paulus II mendapat surat permohonan bantuan dari kaisar Byzantium di Konstantinopel yang terancam karena ekspansi tentara Islam Bani Saljuk. Paus Paulus II pun terpikir untuk melakukan invasi ke Timur. Paus sepertinya ingin membawa kehidupan umatnya ke keadaan yang lebih baik di Timur. Lalu Paus pun memutuskan untuk mengumpulkan masyarakat dan berceramah pentingnya menguasai Jerusallem sebagai tanah suci milik umat Kristen.
Menurut dokumenter ini, ketika Paus Paulus berpidato mengumpulkan rakyatnya, Paus Paulus tidak menyinggung nama Muslim atau Islam sebagai penguasa Jerusallem. Paus menyebutkan bahwa Jerusallem dikuasai para kaum kafir, kaum penyembah berhala dan orang yang tidak percaya Tuhan.Â
Merebutnya kembali adalah tugas suci yang akan dibalas dengan pengampunan Tuhan. Jadi bisa dikatakan Paus Paulus tidak sedang mengobarkan semangat anti Islam atau Muslim.
Dokumenter ini menambahkan bahwa ketika berceramah, dihadapan Paus Paulus tidak hanya ada masyarakat kelas bawah yang sedang susah secara ekonomi dan tidak bisa baca tulis, tapi juga kelompok borjuis. Keduanya memaknai secara berbeda ajakan Paus Paulus. Bagi masyarakat kelas bawah, ajakan Perang Suci ke Jerusallem adalah jalan keluar bagi kesusahan hidup. Bila berhasil, mereka akan menikmati kemakmuran di Timur, bila gagal mereka akan mendapat surga.
Namun kaum borjuis memaknai ajakan Paus secara berbeda. Bagi mereka Timur adalah "Full of milk and fruit". Negeri yang dipenuhi dengan susu dan buah. Bila susu adalah produk peternakan, maka buah adalah produk pertanian. Karena keduanya termasuk barang Lux, maka bisa dipastikan Timur adalah negeri yang makmur. Dalam bayangan kaum borjuis itu, menaklukan Timur berarti memperluas kekuasaan dan kekayaan. Pada akhirnya, kelompok aristokrat borjuis inilah yang kemudian menjadi pilar penting terjadinya Perang Salib.
Situasi munculnya Perang Salib diatas mau tidak mau mengingatkan kita akan kondisi sekarang. Ketika banyak orang menuding Agamawan sebagai pemicu segala macam bentuk kekerasan atas nama Agama.
Adalah benar bila pemahaman dan praktek beragama seperti yang ditunjukan orang Eropa kala itu memicu kekacauan kehidupan masyarakat. Hanya masalahnya orang menuding hal tersebut sambil berdampingan dengan para oligarki yang mengusai sebagian besar sumber ekonomi masyarakat. Seperti borjuis Eropa yang pada masa sebelum perang Salib merupakan para tuan tanah penguasa faktor produksi
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H