Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Covid di Desa

26 Juli 2021   11:13 Diperbarui: 26 Juli 2021   12:23 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Covid di Desa

Bila rasa khawatir muncul karena melihat data-data angka penyebaran wabah, seperti biasa yang diantara saya lakukan adalah menghubungi saudara dan teman-teman. Menyapa, menanyakan kabarnya, memastikan mereka sehat dan mengingatkan situasi yang belum terkendali. Beberapa waktu lalu ketika rasa khawatir muncul, hal itu juga yang saya lakukan kepada Adik saya.

Semula saya yakin pertanyaan saya hanya akan menjadi pertanyaan basa-basi. Karena bersama suaminya mereka adalah apoteker. Saya yakin mereka sadar situasi dan tahu apa yang harus dilakukan. Tidak perlu lagi edukasi apalagi terpapar hoax Covid. Terlebih sebelum kembali ke Bandung, mereka sempat kerja di sebuah Rumah Sakit di Depok di masa awal pandemi. Menjadi saksi ketika pegawai-pegawai Rumah Sakit di Depok gelagapan menghadapi gelombang pasien Covid tanpa APD memadai.

Tetapi sangkaan saya meleset. Adik memberi tahu bila dia dan suaminya positif. Hanya saja karena dia sudah divaksin, gejala yang dia alami relatif ringan. Berbeda dengan suaminya yang mengalami gejala berat. Tapi Adik menenangkan saya. Dia meyakinkan kalau situasinya sudah terkendali. Mungkin karena itu juga Dia tidak memberi tahu ketika terpapar. Selain tidak ingin merepotkan, juga tidak ingin membuat khawatir karena semuanya bisa dia kendalikan.

Besoknya saya pergi ke rumahnya. Menjenguk sekalian ingin tahu situasi detailnya. Diantara obrolan cara menghadapi Covid-19, cerita situasi di Kampung pun muncul. Perbedaannya dengan situasi yang saya hadapi di Kompleks Perumahan yang diisi masyarakat urban.

Menurutnya, beberapa orang Desa di tempatnya tinggal terlihat mengalami gejala Covid-19. Beberapa diantaranya bahkan mengaku terus terang kalau indra perasa nya hilang. Tidak merasakan apa-apa ketika makan dan minum. Tetapi mereka tidak menghiraukannya. Saran Adik supaya periksa ke Puskesmas atau Rumah Sakit tidak digubris. Selain tidak punya uang, takut di covid kan Rumah Sakit serta hoax tentang vaksin Covid-19 menjadi sebab utama.

Alih-alih mengikuti saran diperiksa Nakes, mereka tetap pergi ke sawah untuk bekerja. Karena pergi ke sawah bukan hanya terapi psikologis untuk menganggap penyakit tersebut tidak ada, tapi secara fisik juga bisa menjemur diri dibawah matahari yang dianggap efektif menghilangkan virus. 

Secara kasat mata, upaya seperti itu terlihat berhasil bagi beberapa orang. Orang yang kehilangan indra pengecap dan tetap pergi ke sawah, beberapa hari kemudian hari terlihat sehat dan bisa makan seperti biasa.

Hanya saja mereka tidak tahu apa yang akan terjadi setelah paru-paru mereka terpapar. Apakah setelah terpapar dan dibiarkan tanpa treatmen penyembuhan, produktivitasnya tetap terjaga seperti sebelumnya? 

Anggap saja jam kerjanya di sawah tidak berkurang. Lalu apakah waktu bercengkrama dengan anak istri di Rumah tidak terganggu? Terganggu karena mesti memperpanjang jam istirahat karena mudah lelah, terganggu karena bantuk yang tidak kunjung berhenti atau terganggu karena mudah sakit.

Mendengar cerita Adik, saya langsung teringat pengalaman orang tua dengan pedagang keliling langganannya. Sudah lebih dari dua minggu pedagang keliling langganan tidak singgah. Berita yang sampai, pedagang keliling tersebut katanya sakit corona. Berita yang terkuatkan karena dia juga tinggal di area dengan berita banyaknya orang yang meninggal karena Covid.

Ketika akhirnya pedagang keliling itu kembali singgah ke Rumah sambil memakai masker, sesuatu yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya, orang tua pun akhirnya bertanya. Mengklarifikasi apakah dia kena Corona atau tidak.

Dengan penuh percaya diri, pedagang keliling tersebut mengatakan tidak. Alasannya karena Dokter yang memeriksanya tidak mengatakan dia Covid. Dokter yang memeriksanya hanya menyuruh nya istirahat 2 minggu di Rumah atau kamar khusus. Tidak boleh keluar juga tidak boleh dikunjungi orang lain.

Lebih lengkap, pedagang keliling tersebut bercerita. Beberapa waktu lalu dia demam dan sempat tidak merasakan apa-apa ketika makan dan minum. Lalu dia berangkat ke Dokter. 

Di ruang periksa ada beberapa orang yang mempunyai gejala serupa.  Kepada seorang Ibu yang terlihat sehat dan datang membawa kendaran sendiri, Pak Dokter menyuruh Ibu tersebut untuk test Covid. 

Kepada dirinya dan teman-temannya yang lain, Pak Dokter memberikan instruksi yang berbeda. Setelah bertanya sakit yang dia alami, Dokter menyuruhnya diam di Rumah atau di kamar khusus. Tidak keluar selama dua minggu, jangan berhenti makan meski tidak merasakan apa-apa, dan terus minum obat yang dia berikan.

Karena tidak ditest Covid dan Pak Dokter tidak mengatakan dia Covid, dia percaya diri kalau dia tidak kena Covid. Hanya saja dia mengikuti seluruh saran Dokter. Termasuk diantaranya untuk tidak melepas masker kalau berjualan lagi.

Secara medis, pastinya ada yang keliru dari proses putusan si Dokter. Melakukan treatmen medis tanpa protokol medis. Putusannya berdasar instuisi sebagai Dokter. Namun kita bisa memahami bila Dokter mengambil langkah tersebut. Di satu sisi si Dokter pastinya sedang berhadapan dengan peralatan medis untuk menghadapi Covid-19 yang serba kurang dan mesti di hemat. 

Di sisi lain si Dokter juga tidak mungkin membebankan test Covid ke pedagang keliling. Bagi seorang pedagang keliling, biaya test Covid yang paling murah sekalipun, besarannya bisa dianggap sama dengan omzet atau modal dagang sehari-hari. Sedangkan yang dia hadapi adalah pasien dengan gejala Covid-19 yang sudah jelas.

Setidaknya itu dua pengalaman yang saya rekam dari orang Desa yang terpapar Covid-19. Tidak ada cerita kematian. Hanya saja ketidakjelasan apa yang akan mereka alami setelah terpapar Covid. Apakah produktivitas dan hari-harinya akan berjalan seperti sebelumnya, atau tidak. Gelap.

Sebagaimana diprediksi banyak kalangan pada awal pandemi, meski virus Covid-19 berawal dari kalangan menengah keatas, namun resiko terbesar akan dialami kalangan menengah ke bawah. 

Orang-orang yang tinggal di Desa atau orang-orang yang secara ekonomi kesulitan mengakses sarana kesehatan, akan menjadi korban terbesar wabah ini. Jakarta bisa menyediakan Wisma Atlet disamping menyiagakan seluruh Rumah Sakit untuk pasien-pasien Covid. Lalu berapa daerah yang bisa seperti Jakarta? Terlebih bila itu dilihat di Desa-Desa.

Bahkan bila kita lihat pada tingkatan yang lebih global, negara-negara berkembanglah yang paling keteteran dan mengalami kerugian besar dalam menghadapi wabah ini. Bukan negara-negara maju. Angka kasus di Amerika atau Inggris bisa jadi tinggi. Tapi mereka bisa menjaga tingkat hospitality dan menurunkan tingkat kematian. 

Angka kasus tinggi tapi Rumah Sakit masih bisa menerima pasien dan tidak perlu menambah lahan perkuburan secara massif. Situasinya berbeda dengan kita. 

Angka kasus terus meninggi, bahkan setelah banyak yang ditutupi, seiring dengan kesulitan Rumah Sakit menampung pasien Covid dan tingginya angka yang meninggal. Baik yang menjalani perawatan di Rumah Sakit maupun perawatan di Rumah sendiri.

Mungkin ada beberapa negara berkembang dan negara yang belum bisa dikategorikan sebagai negara maju secara penuh tapi secara umum bisa menangani wabah ini. Seperti Vietnam atau Taiwan. Namun mereka bisa menangani itu karena sigap, serius, fokus dan konsisten.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun