Covid di Desa
Bila rasa khawatir muncul karena melihat data-data angka penyebaran wabah, seperti biasa yang diantara saya lakukan adalah menghubungi saudara dan teman-teman. Menyapa, menanyakan kabarnya, memastikan mereka sehat dan mengingatkan situasi yang belum terkendali. Beberapa waktu lalu ketika rasa khawatir muncul, hal itu juga yang saya lakukan kepada Adik saya.
Semula saya yakin pertanyaan saya hanya akan menjadi pertanyaan basa-basi. Karena bersama suaminya mereka adalah apoteker. Saya yakin mereka sadar situasi dan tahu apa yang harus dilakukan. Tidak perlu lagi edukasi apalagi terpapar hoax Covid. Terlebih sebelum kembali ke Bandung, mereka sempat kerja di sebuah Rumah Sakit di Depok di masa awal pandemi. Menjadi saksi ketika pegawai-pegawai Rumah Sakit di Depok gelagapan menghadapi gelombang pasien Covid tanpa APD memadai.
Tetapi sangkaan saya meleset. Adik memberi tahu bila dia dan suaminya positif. Hanya saja karena dia sudah divaksin, gejala yang dia alami relatif ringan. Berbeda dengan suaminya yang mengalami gejala berat. Tapi Adik menenangkan saya. Dia meyakinkan kalau situasinya sudah terkendali. Mungkin karena itu juga Dia tidak memberi tahu ketika terpapar. Selain tidak ingin merepotkan, juga tidak ingin membuat khawatir karena semuanya bisa dia kendalikan.
Besoknya saya pergi ke rumahnya. Menjenguk sekalian ingin tahu situasi detailnya. Diantara obrolan cara menghadapi Covid-19, cerita situasi di Kampung pun muncul. Perbedaannya dengan situasi yang saya hadapi di Kompleks Perumahan yang diisi masyarakat urban.
Menurutnya, beberapa orang Desa di tempatnya tinggal terlihat mengalami gejala Covid-19. Beberapa diantaranya bahkan mengaku terus terang kalau indra perasa nya hilang. Tidak merasakan apa-apa ketika makan dan minum. Tetapi mereka tidak menghiraukannya. Saran Adik supaya periksa ke Puskesmas atau Rumah Sakit tidak digubris. Selain tidak punya uang, takut di covid kan Rumah Sakit serta hoax tentang vaksin Covid-19 menjadi sebab utama.
Alih-alih mengikuti saran diperiksa Nakes, mereka tetap pergi ke sawah untuk bekerja. Karena pergi ke sawah bukan hanya terapi psikologis untuk menganggap penyakit tersebut tidak ada, tapi secara fisik juga bisa menjemur diri dibawah matahari yang dianggap efektif menghilangkan virus.Â
Secara kasat mata, upaya seperti itu terlihat berhasil bagi beberapa orang. Orang yang kehilangan indra pengecap dan tetap pergi ke sawah, beberapa hari kemudian hari terlihat sehat dan bisa makan seperti biasa.
Hanya saja mereka tidak tahu apa yang akan terjadi setelah paru-paru mereka terpapar. Apakah setelah terpapar dan dibiarkan tanpa treatmen penyembuhan, produktivitasnya tetap terjaga seperti sebelumnya?Â
Anggap saja jam kerjanya di sawah tidak berkurang. Lalu apakah waktu bercengkrama dengan anak istri di Rumah tidak terganggu? Terganggu karena mesti memperpanjang jam istirahat karena mudah lelah, terganggu karena bantuk yang tidak kunjung berhenti atau terganggu karena mudah sakit.