Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Covid dan Virus Arogansi

22 Juli 2021   01:51 Diperbarui: 22 Juli 2021   01:58 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Covid dan Virus Arogansi

Meski mungkin tidak menjadi followernya, netizen Indonesia kemungkinan mengenal nama Permadi Arya. Seorang pemilik akun media sosial yang aktif mengkampanyekan Presiden Jokowi. Ditambah keterlibatannya dengan ormas Islam terbesar di Indonesia, sepertinya bukan hanya netizen saja yang mengenal seleb media sosial ini.

Jejak digital menunjukan bahwa nama diatas pernah membuat tweet yang menganggap enteng Covid-19. Menantang pernyataan Gubernur DKI Anies Baswedan yang waktu itu memperingatkan bahaya Covid-19, tahun lalu Permadi membuat tweet "Hari ini saya turun lagi ke jalan lihat langsung apa peringatan hindari keramaian sampai ke warga atau cuma sampai warganet saja. Di jalan warga beraktivitas seperti biasa tidak terpengaruh riuh netizen middle class muji2 Anies hujat2 jokowi, tidak ada riak di dunia nyata".

Beberapa minggu lalu, keadaan berubah total. Dari yang mengejek keberadaan virus, melalui instagramnya Permadi mengabarkan dirinya terpapar Corona. Meski masih menyebarkan informasi salah, Permadi mengingatkan bahaya virus Corona dan mengajak orang berhati-hati.

Bukan Permadi, Anies atau Jokowi nya yang mesti menjadi perhatian. Tapi arogansi terhadap wabah itulah yang mesti digaris bawahi. Ada nuansa arogansi sangat pekat ditunjukan Permadi. Bahwa Corona bukanlah masalah serius.

Namun sebagaimana yang kita ketahui, arogansi menghadapi Corona itu bukan hanya ditunjukan Permadi, tetapi juga para pengambil kebijakan. Arogansi yang tidak hanya terlihat dari berbagai kebijakan di masa-masa awal datangnya wabah Corona, tetapi juga terbaca dari statemen pejabat tinggi negara.

Bila Presiden mengkampanyekan insentif bagi kedatangan wisatawan luar negeri serta massifikasi kegiatan di tempat kasus Corona ditemukan, maka para Mentri juga anggota DPR mengeluarkan banyak ejekan menyepelekan. Mulai dari ejekan bahwa Corona tidak mungkin masuk Indonesia karena proses perizinan di Indonesia yang sangat rumit, Corona seperti Istri yang tidak bisa ditaklukan, sampai dengan mengatakan bahwa Corona adalah singkatan dari Komunitas Rondo Mempesona.

Bila kita tarik lebih luas lagi, pada dasarnya bukan hanya pemerintah Indonesia saja yang sempat menganggap enteng kedatangan wabah ini. Berbeda dengan Taiwan yang sigap menghadapi situasi di Wuhan, negara-negara Eropa Barat yang dikenal mempunyai sistem kesehatan mapan awalnya juga menganggap remeh virus ini. Karenanya ketika Taiwan bisa mengantisipasi kedatangan wabah, negara-negara Eropa Barat justru pontang-panting. Jerman mesti memblokir perbatasannya, Italia kewalahan menghadapi lonjakan suspect Covid, dan Inggris yang kelimpungan karena Perdana Mentri nya positif Covid.

Hanya saja berbeda dengan Indonesia. Negara-negara itu sadar telah meremehkan virus Corona dan sigap memperbaikinya. Perdana Mentri Jerman misalnya. Angela Merkel bukan hanya mengakui kekeliruannya tapi juga mengingatkan bahaya virus ini. Kepada rakyatnya Merkel mengingatkan kemungkinan 70% warga Jerman yang akan terpapar karena virus ini. Sebuah statemen yang di Indonesia akan dianggap sebagai upaya menakut-nakuti dan tidak menerapkan kaidah "positive thinking"

Begitu juga dengan Inggris dan yang lainnya. Hasilnya seperti yang kita lihat sekarang. Negara Eropa Barat yang tahun lalu pontang-panting menghadapi virus corona, sekarang sudah bisa menggelar Piala Eropa, Piala Wimbledon sampai dengan balapan Formula 1.   

Di Indonesia sendiri hari-hari terakhir ini kita mendengar munculnya permintaan maaf dari para pengambil kebijakan terkait penanganan virus corona. Komunikasi politik yang secara tidak langsung ingin menunjukan kekeliruan terhadap langkah yang sudah diambil. Namun gesture politik para pengambil kebijakan pada dasarnya masih seperti Permadi. Hal itu bisa kita lihat dari politik anggaran ataupun strategi mitigasi yang diambil.

Sehingga di tengah pandemi ini kita melihat yang sangat ironis. Para tenaga kesehatan yang kerap disebut sebagai garda terdepan pengendalian wabah, tapi insentif mereka yang sudah bekerja menantang maut tidak kunjung turun. Rumah Sakit yang menjadi sarana paling vital untuk menangani covid, bukan hanya dituding telah mengcovidkan pasien tapi juga tidak kunjung mendapat pembayaran dari pemerintah. Belum lagi ditambah dengan jumlah test dan tracing yang masih sangat rendah dan tidak sesuai dengan proporsi yang disarankan epidimologists. 

Namun pada dasarnya arogansi menghadapi wabah ini tanpa terasa bukan hanya menjadi monopoli pengambil kebijakan. Meski mungkin tidak seluruhnya, virus arogansi menghadapi wabah ini juga seperti menjelar ke masyarakat. Meski bukan seluruh masyarakat.

Dalam masyarakat yang dikenal sangat familiar dan menjunjung tinggi Agama, tanpa terasa arogansi keagamaan muncul. Tidak sedikit agamawan dan juga masyarakat yang selama ini memegang teguh nilai-nilai Agama, merasa sudah bisa menghadapi virus hanya karena tidak pernah absen menjalankan ritual keagamaan dan sehari-hari nya sangat lekat dengan kehidupan keagamaan.

Jadi bila politisi menganggap virus tidak akan menyentuh peserta kegaiatan politik sehingga Pilkada di masa pandemi tetap dilanjutkan, maka para agamawan seolah beranggapan bila virus tidak akan menyengat orang yang sedang beribadah. Bila yang pertama mengungkap dalil-dalil konstitusi sebagai legitimasi, maka yang kedua mengungkapkan dalil-dalil kitab suci sebagai pembenar. Namun keduanya mempunyai pola yang sama; minusnya pendalaman dari segala dalil yang diungkap tapi kuatnya nuansa arogansi.

Tidak sedikit Agamawan yang berkesimpulan bahwa beribadah adalah kartu pass melewati bahaya Covid. Menutup mata terhadap data banyaknya Agamawan dan orang-orang yang taat beribadah yang juga terpapar dan meninggal karena Covid. Lebih dari itu, banyak ayat dan hadits di introdusir untuk menguatkan pemahaman tersebut.

Agama sendiri memang berkali-kali mengingatkan umatnya untuk tidak takut mati. Hanya saja tidak takut mati itu berbeda dengan mencari mati. Agama memerintahkan yang pertama, tapi tidak yang kedua. Sebab hidup adalah anugrah. Karenanya dalam Agama salah satu dosa terbesar adalah orang yang mencabut nyawanya sendiri. Agama juga memang mengajarkan orang untuk ziarah kubur. Tapi ini bukan ajaran untuk menyuruh orang mencari mati. Sebaliknya, ziarah kubur adalah upaya mengingatkan manusia untuk menghargai kehidupan dengan memperhatikan kematian.

Tidak cukup sampai disini, pada titik ekstrem lain tanpa sadar virus arogansi juga muncul ketika orang sudah merasa aman dikarenakan sudah mengikuti semua prosedur menghadapi wabah yang sudah diwartakan para ahli. Dikarenakan sudah mengikuti semua protokol kesehatan yang sudah teruji secara ilmiah, tanpa sadar orang menjadi arogan bisa menghindari wabah karena upaya yang sudah dia lakukan.

Faktanya setelah kita wabah ini berjalan hampir dua tahun, ternyata tidak seperti itu. Bila para dokter mengingatkan pentingnya badan yang segar bugar dan fit sebagai perisai menghadapi virus, ternyata tidak sedikit olahragawan yang terpapar dan meninggal karena Covid-19. Kita juga dengan mudah mendapat berita tentang para pesohor yang sudah dengan sangat ketat menerapkan protokol kesehatan tapi tetap saja terjangkit virus membahayakan ini.

Tanpa terasa virus arogansi, bahwa orang akan selamat karena upayanya untuk menghindarkan diri dari paparan virus, muncul pada diri banyak orang. Arogansi ini melupakan bahwa hidup manusia tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor yang sangat fisikal saja.

Dalam riwayat umat Islam sendiri, silang pendapat seperti ini pernah muncul ketika para filosof dan mistikus muslim berdebat perihal hukum sebab akibat. Dalam pandangan filosof muslim seperti Al-Farabi atau Ibn Rusyd, sebab akibat adalah sebuah hukum kehidupan yang sangat rasional dan fisikal. Seperti orang akan sakit bila dia tidak menjaga kesehatan atau dan orang akan kenyang bila dia makan cukup. Karena para filosof muslim ini kerap mengemukakan pemikiran Aristoteles sebagai rujukannya, pandangan hukum sebab akibat tersebut bisa kita lacak dari pemikiran Aristoteles yang memilah dengan sangat detail hukum sebab akibat.

Dalam teori hukum sebab akibatnya Aristoteles memilah sebab akibat pada empat hal yaitu, bentuk sebagai penyebab (causa formalis), materi sebagai penyebab (causa materialis), efektivitas sebagai penyebab (causa efficient) dan tujuan sebagai penyebab (causa finalis). Logika sebab akibat yang dikembangkan Aristoteles inilah kemudian mendorong orang untuk mengembangkan sains. Ketika kita menghadapi wabah seperti sekarang, logika sebab akibat yang diperkenalkan para ilmuwan, seperti epidemolog adalah rujukan kita.

Namun ketika pandangan seperti ini pada masa itu terlalu dominan, Imam Ghazali mengingatkan cacat pandangan dalam hukum sebab akibat ini. Menurut Imam Ghazali tidak selamanya hukum sebab akibat berjalan sangat material dan fisikal seperti yang diungkapkan para filosof. Dalam kehidupan selalu ada intervensi Tuhan yang tidak bisa dihalangi oleh siapapun. Hukum alam mengatakan bahwa orang terbakar api akan kepanasan dan meninggal. Tapi bagi Al-Ghazali, orang bisa tidak merasa kepanasan atau mati meski sudah dibakar oleh api yang sangat besar karena ada intervensi Tuhan.

Untuk waktu yang sangat lama, orang sempat menuding bahwa pandangan al-Ghazali diatas adalah anti sains. Teori sebab akibat yang diperkenalkan Al-Ghazali menghalangi orang untuk mengembangkan Ilmu Pengetahuan. Meski Al-Ghazali sendiri adalah seorang ilmuwan yang mustahil ingin menghalangi perkembangan Ilmu.

Namun di masa pandemi ini, teori sebab akibat yang diperkenalkan Al-Ghazali seperti mendapatkan kebenarannya. Seperti yang sudah disebut sebelumnya, entah berapa orang yang sudah menjalankan protokol kesehatan dan menjaga kebugaran tubuh seperti yang disarankan para epidemiologist, tetap saja terpapar dan bahkan banyak yang meninggal karena virus. Hal ini karena ada arogansi yang tidak terasa masuk ke dalam diri orang. Orang merasa karena usaha dia lah virus tidak bisa masuk ke dalam tubuhnya. Padahal dalam kehidupan ini, ada penyebab lain kehidupan yang kadang tidak bisa diprediksi oleh sains.

Sepertinya panduan sikap terbaik dalam menghadapi wabah ini adalah seperti yang ditunjukan Nabi Muhammad ketika menghadapi seorang Badui yang mau shalat Jamaah ke Masjid.

Dalam suatu riwayat disebutkan tentang seorang Badui yang mengendari Unta ke Masjid untuk shalat berjamaah bersama Nabi. Namun di halaman masjid, Badui tersebut tidak mengikat Unta nya seolah tidak takut kabur. Ketika Nabi bertanya kenapa Unta tersebut tidak diikat, orang Badui tersebut mengatakan bahwa semuanya sudah dia serahkan kepada Tuhan. Seperti juga orang sekarang yang yakin tidak akan terpapar wabah karena datang ke Masjid untuk beribadah, begitu juga dengan Badui tersebut. Dia merasa Tuhan akan melindunginya karena dia ke Masjid untuk untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.

Namun Nabi Muhammad yang kedekatannya dengan Tuhan melebihi seluruh makhluk yang ada di dunia ini, mempunyai pandangan lain. Kepada Badui tersebut Nabi menyuruh nya untuk mengikatkan tali Unta supaya Untanya tidak kabur. Kalau Unta nya sudah diikat dengan baik, barulah tawakal kepada Yang Maha Kuasa.

Dalam cara kita menghadapi wabah, perintah Nabi untuk mengikat tali Unta supaya tidak kabur adalah perintah mengikuti protokol kesehatan yang sudah dirumuskan para ilmuwan. Memakai masker dan menjaga jarak adalah pendekatan rasional-tekhnis yang bisa dilakukan sebagaimana yang diajarkan para filosof. Sementara menyerahkannya kepada Tuhan adalah perintah Nabi untuk tawakal, menyerahkan semuanya kepada Tuhan, ketika Unta tersebut sudah diikat dengan baik.

Orang masa kini merumuskan pandangan Nabi tersebut dalam sebuah kalimat "Let's Do The Best and God Do The Rest". Ikutilah protokol kesehatan sesuai anjuran para ilmuwan. Karena itulah yang menjadi domain manusia. Setelah itu, serahkanlah kepada Yang Maha Kuasa.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun