Dalam teori hukum sebab akibatnya Aristoteles memilah sebab akibat pada empat hal yaitu, bentuk sebagai penyebab (causa formalis), materi sebagai penyebab (causa materialis), efektivitas sebagai penyebab (causa efficient) dan tujuan sebagai penyebab (causa finalis). Logika sebab akibat yang dikembangkan Aristoteles inilah kemudian mendorong orang untuk mengembangkan sains. Ketika kita menghadapi wabah seperti sekarang, logika sebab akibat yang diperkenalkan para ilmuwan, seperti epidemolog adalah rujukan kita.
Namun ketika pandangan seperti ini pada masa itu terlalu dominan, Imam Ghazali mengingatkan cacat pandangan dalam hukum sebab akibat ini. Menurut Imam Ghazali tidak selamanya hukum sebab akibat berjalan sangat material dan fisikal seperti yang diungkapkan para filosof. Dalam kehidupan selalu ada intervensi Tuhan yang tidak bisa dihalangi oleh siapapun. Hukum alam mengatakan bahwa orang terbakar api akan kepanasan dan meninggal. Tapi bagi Al-Ghazali, orang bisa tidak merasa kepanasan atau mati meski sudah dibakar oleh api yang sangat besar karena ada intervensi Tuhan.
Untuk waktu yang sangat lama, orang sempat menuding bahwa pandangan al-Ghazali diatas adalah anti sains. Teori sebab akibat yang diperkenalkan Al-Ghazali menghalangi orang untuk mengembangkan Ilmu Pengetahuan. Meski Al-Ghazali sendiri adalah seorang ilmuwan yang mustahil ingin menghalangi perkembangan Ilmu.
Namun di masa pandemi ini, teori sebab akibat yang diperkenalkan Al-Ghazali seperti mendapatkan kebenarannya. Seperti yang sudah disebut sebelumnya, entah berapa orang yang sudah menjalankan protokol kesehatan dan menjaga kebugaran tubuh seperti yang disarankan para epidemiologist, tetap saja terpapar dan bahkan banyak yang meninggal karena virus. Hal ini karena ada arogansi yang tidak terasa masuk ke dalam diri orang. Orang merasa karena usaha dia lah virus tidak bisa masuk ke dalam tubuhnya. Padahal dalam kehidupan ini, ada penyebab lain kehidupan yang kadang tidak bisa diprediksi oleh sains.
Sepertinya panduan sikap terbaik dalam menghadapi wabah ini adalah seperti yang ditunjukan Nabi Muhammad ketika menghadapi seorang Badui yang mau shalat Jamaah ke Masjid.
Dalam suatu riwayat disebutkan tentang seorang Badui yang mengendari Unta ke Masjid untuk shalat berjamaah bersama Nabi. Namun di halaman masjid, Badui tersebut tidak mengikat Unta nya seolah tidak takut kabur. Ketika Nabi bertanya kenapa Unta tersebut tidak diikat, orang Badui tersebut mengatakan bahwa semuanya sudah dia serahkan kepada Tuhan. Seperti juga orang sekarang yang yakin tidak akan terpapar wabah karena datang ke Masjid untuk beribadah, begitu juga dengan Badui tersebut. Dia merasa Tuhan akan melindunginya karena dia ke Masjid untuk untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.
Namun Nabi Muhammad yang kedekatannya dengan Tuhan melebihi seluruh makhluk yang ada di dunia ini, mempunyai pandangan lain. Kepada Badui tersebut Nabi menyuruh nya untuk mengikatkan tali Unta supaya Untanya tidak kabur. Kalau Unta nya sudah diikat dengan baik, barulah tawakal kepada Yang Maha Kuasa.
Dalam cara kita menghadapi wabah, perintah Nabi untuk mengikat tali Unta supaya tidak kabur adalah perintah mengikuti protokol kesehatan yang sudah dirumuskan para ilmuwan. Memakai masker dan menjaga jarak adalah pendekatan rasional-tekhnis yang bisa dilakukan sebagaimana yang diajarkan para filosof. Sementara menyerahkannya kepada Tuhan adalah perintah Nabi untuk tawakal, menyerahkan semuanya kepada Tuhan, ketika Unta tersebut sudah diikat dengan baik.
Orang masa kini merumuskan pandangan Nabi tersebut dalam sebuah kalimat "Let's Do The Best and God Do The Rest". Ikutilah protokol kesehatan sesuai anjuran para ilmuwan. Karena itulah yang menjadi domain manusia. Setelah itu, serahkanlah kepada Yang Maha Kuasa. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H