Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

The Two Popes

14 Februari 2021   08:52 Diperbarui: 14 Februari 2021   09:05 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

The Two Popes

Penonton film klasik "Silence of The Lamb" (1991) arahan Jonathan Demme, sehingga Jonathan meraih Academy Award karena film ini, pastinya dia tidak hanya akan mengingat Jodie Foster. Artis cantik lulusan Yale University yang juga meraih Academy Award karena peran utamanya di film ini. 

Kehadiran Anthony Hopkins adalah sisi lain yang membuat "Silence of The Lamb" menjadi lebih powerfull. Athony Hopkins tidak hanya membuat orang untuk menyimak "Silence of The Lamb" dari awal sampai akhir, tapi membuat orang tertarik menonton sekual berikutnya dari film ini.

Berperan sebagai seorang psikopat jenius (Hannibal), Hopkins hampir membuat banyak orang membolehkan dan membela laku seorang psikopat yang jelas-jelas kehidupannya mengancam nyawa banyak orang. Hopkins bukan hanya meraih award karena perannya ini, sekuel "Silence of The Lamb" berikutnya seperti Hannibal, Red Dragon atau Hannibal Rising justru secara konsisten memunculkan Hopkins bukan Jodie Foster. Padahal dalam film Hannibal, tokoh Clarice Sterling, yang sebelumnya diperankan Jodie Foster, muncul kembali.

Namun bukan semata karena Anthony Hopkins lah maka film Two Popes ini menjadi menarik. Dialog-dialog antara dua pemuka agama terkemuka, Kardinal Retzinger atau Paus Benediktus XVI (Anthony Hopkins) dan Kardinal Jorge Mario Bergoglio (Jonathan Pryce) yang kelak menjadi Paus Fransiskus membuat kita memahami persoalan pelik apa yang sedang dihadapi institusi keagamaan terkemuka seperti Vatikan. Sikap dan jalan hidup yang dijalani keduanya juga seperti memberikan gambaran kepada kita akan soalan apa yang dihadapi dua orang yang secara spiritualitas kerap dianggap diatas rata-rata kehidupan banyak orang.

Diluar dua hal diatas, maka yang tidak bisa dilupakan adalah cara dua pemimpin spiritual Agama Kristen ini berpolemik, menjalani pertentangan antara mereka dan sikap mereka terhadap pertentangan itu.

Dari sisi pemikiran dan sikap, sutradara Fernando Meirelles menggambarkan Paus Benediktus XVI sebagai pemimpin umat beragama yang konservatif. Paus Benediktus mengecam pandangan relativisme para ilmuwan yang kerap menggugat pandangan otoritas keagamaan manapun termasuk Vatikan, dan mengecam gay dan homoseksual. Paus Benediktus juga dianggap melindungi berbagai penyimpangan yang terjadi di Vatikan. Karena kecewa, seorang warga menyebut Paus Benediktus sebagai Nazi.

Berbeda dengan Paus Benediktus, Kardinal Jorge Mario Bergoglio adalah pemimpin spiritual yang sangat populer. Kepada Paus Benediktus, Kardinal Mario Bergoglio mendesakan berbagai macam agenda reformasi untuk Gereja dan tidak setuju dengan kemewahan Vatikan yang dipraktekan Paus Benediktus. Kardinal Bergoglio berdebat keras dengan Paus Benediktus perihal cara pandanganya ini.

Meski dikenal sebagai Agamawan, Kardinal Mario Bergoglio akrab dengan buku-buku Karl Marx atau Gramsci. Figur yang selama ini menjadi rujukan bagi masyarakat yang kerap menggugat otoritas keagamaan. 

Di tempat asalnya Buenos Airos, Kardinal Mario Bergoglio bukan hanya akrab dengan orang miskin, tapi juga pendukung timnas Argentina dan klub San Lorenzo. Bergoglio menjadikan sepakbola sebagai kesukaan masyarakat Argentina, sebagai bagian tidak terpisahkan dari ceramah keagamaannya di tengah orang-orang miskin. Mario Bergoglio juga mengerti bagaimana seharusnya menari Tango dan tahu lagu-lagu The Beatls.

Namun meski keduanya bersilang pendapat dan bersitegang tentang bagaimana seharusnya Vatikan, Paus Benediktus adalah orang yang sangat menghormati dan mendukung Kardinal Mario Bergoglio.

Paus Benediktus bukan hanya menghadiahi album Abbey Road nya The Beatles, tapi berkali-kali Kardinal Bergoglio mengajukan pengunduran diri ke Paus Benediktus, namun sang Paus tidak pernah mengabulkan. Bahkan ketika Paus Benediktus hendak mengundurkan diri, sang Paus berharap dan meminta bahwa Bergoglio lah yang kelak akan menjadi penggantinya. Harapan dan permintaan yang pada akhirnya terjadi.

Namun diluar figur kedua orang pemimpin spiritual umat Kristiani yang berbeda tetapi saling menghargai satu sama lain ini, Two Popes juga menggambarkan problem pelik yang dihadapi Vatikan. Problem pelik yang bila kita pelajari lebih seksama, itu bukan hanya problem pelik institusi keagamaan umat Kristiani, tetapi juga institusi keagamaan lain seperti Islam atau Yahudi.

Misalnya saja ketika Fernando Meirelles menggambarkan gugatan Paus Benediktus terhadap relativisme yang selama ini menyerang Gereja. Maka sejatinya hal serupa juga yang dialami institusi keagamaan lain seperti Islam atau Yahudi. Agama yang basisnya adalah kepercayaan, berhadapan dengan modernisme yang basisnya adalah kritisisme.

 Agama yang memperkenalkan kemutlakan, berhadapan dengan post-modernisme yang mengintrodusir relativisme. Akhir-akhir ini Agama juga menghadapi gugatan dari New Atheisme seperti Richard Dawkins yang berdasar epistemologi sains, mempertanyakan keabsahan adanya Tuhan.  

Agamawan mungkin sudah mempunyai jawaban atas gugatan-gugatan diatas. Namun yang dibutuhkan bukan hanya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas, namun juga cara menjawab yang tepat atas gugatan-gugatan diatas. Agamawan tidak bisa lagi memberikan jawaban yang sifatnya dogmatis ala abad pertengahan atas pertanyaan-pertanyaan kritis diatas. Karena yang dihadapi adalah pertanyaan serius dari para pemikir terkemuka. Bukan celetukan-celetukan tanpa makna.

Dalam konteks berbeda, mungkin tantangan yang dihadapi agamawan sekarang mirip dengan tantangan yang dihadapi umat Islam abad pertengahan. Ketika para Agamawan dihadapkan pertanyaan kritis para filsuf seperti Ibn Sina dan Ibnu Rusyd. Namun Imam Ghazali berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis para filsuf tersebut. 

Imam Ghazali tidak menjawab pertanyaan para filsuf secara dogmatis, tapi mengambil cara berpikir filsuf itu sendiri untuk menjawabnya. Cara Al-Ghazali menjawab bukan hanya menjadikan semuanya menjadi lebih jelas difahami, tetapi juga menyehatkan tradisi perdebatan. Meskip selepas Al-Ghazali, umat Islam dianggap mandeg dalam aspek perkembangan dinamika pemikiran.

Two Popes juga menggambarkan dilema yang dihadapi Agamawan ketika berhadapan dengan kekuasaan dan problem real masyarakat. Ketika berhadapan dengan perkembangan masyarakat terkini, Kardinal Bergoglio dengan jernih dan gamblang mengingatkan bahwa Agamawan mesti melihat ketimpangan ekonomi dan ekonomi yang sangat eksploitatif terhadap masyarakat miskin, sebagai masalah pelik yang harus terus dibicarakan supaya diselesaikan. Karena cara pandang inilah kemudian Kardinal Bergoglio yang sedang mengalami pengasingan, dilirik kembali oleh Vatikan.

Namun bagaimana seharusnya Agamawan ketika berhadapan dengan tirani?Apa sikap yang harus diambil Agamawan ketika menghadapi kekuasaan yang menindas masyarakat yang note bene adalah umatnya sendiri?Apakah diam-diam saja, membiarkan, menentang secara spartan atau berkompromi?

Pada diri Kardinal Bergoglio, Meirelles mengambarkan sikap kompromi seorang Agamawan. Karena tirani begitu berkuasa, Bergoglio terpaksa memutuskan untuk berkompromi. Sesuatu yang dikemudian hari tidak pernah bisa dia lupakan bahkan tangisi dan sesali. Meskipun Kardinal Bergoglio melakukan itu bukan untuk kepentingan pribadi tapi kepentingan masyarakat yang lebih luas.

Mungkin scene yang menarik dari Two Popes ini adalah ketika Paus Benediktus yang sudah mundur memimpin Vatikan, menonton final Piala Dunia 2014 antara Jerman lawan Argentina bersama Kardinal Bergoglio yang sudah diangkat menjadi pemimpin Vatikan. Paus Benediktus yang berasal dari Jerman, tentunya mendukung Mesut Ozil dan teman-teman yang pada waktu itu keluar menjadi Juara. Sementara Kardinal Bergoglio, menjadi pendukung Lionel Messi dan teman-teman.

Seperti juga kita masyarakat umum, dua pemimpin spiritual ini bergembira melihat pertandingan sepakbola. Sebagai pendukung Jerman, Paus Benediktus menganggap pelanggaran keras terhadap Gonzalo Higuain pemain Argentina sebagai bagian dari pertandingan. Begitu juga sebaliknya. 

Ketika pemain Argentina menyiku muka Bastian Schwensteiger sampai berdarah, Kardinal Bergoglio mengingatkan Paus Benediktusi bahwa itu bagian dari sebuah pertandingan juga. Keduanya sama seperti kita. Bergembira ketika menonton sepakbola dan penuh apologi ketika membela tim yang didukungnya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun