Seperti juga Ibnu Sina, melalui Hayy bin Yaqzhan, Ibn Thufail sedang membuat novel alegoris tentang Agama dan filsafat. Karena pada masa itu sedang ada konfrontasi antara Agama yang pemahamannya berdasar wahyu dan Filsafat yang pemahamannya berdasar nalar kritis, Ibn Thufail sedang ingin mendamaikan keduanya.Â
Menurut Ibn Thufail, tidak ada pertentangan antara akal dan wahyu. Sebagaimana dikatakan temannya Ibn Rusyd, akal dan wahyu itu ikwanul ar rodhoah, saudara sepersusuan.
Sebagaimana alegori Hayy bin Yaqzhan dari Ibnu Sina dan Ibn Thufail, mungkin seperti itulah sepertinya kita memahami novel Laila Majnun yang ditulis Syaikh Nizami Ganjazavi.Â
Seorang penyair Persia yang hidup sepanjang tahun 1141-1209 M yang dikenal sebagai penyair epik-romantik terbesar dalam sejarah kesusastraan Persia. Dilahirkan di Ganja, sekarang menjadi negara Ajerbeizan, Nizami adalah penyair yang juga dikenal sebagai seorang filosof.
Layla Majnun sendiri adalah syair-syair liris tentang kisah kasih tak sampai Qais dan sepupunya Layla yang melegenda di arabia dan Persia pada abad 12. Namun di tangan Nizami, legenda ini dibangkitkan kembali dan menjadikannya semakin terkenal dan sangat disukai.Â
Nizami memadukan unsur-unsur sastra gurun Arabia dengan sastra Persia sehingga menghasilkan roman yang indah dan sulit dilupakan. Karena luar biasanya karya Nizami ini konon Layla Majnun inilah yang mengilhami William Shakespeare saat menulis naskah drama "Romeo and Juliet"
Baca:Â Romansa "Layla-Majnun" di Tangan Kiai Husein
Namun bila kita membaca novel "Layla Majnun" seperti kita membaca hikayat Hayy bin Yaqzhan dari Ibnu Sina dan Ibnu Thufail diatas, maka kita akan menemukan makna lain tentang "Layla Majnun".Â
Novel ini pada akhirnya tidak sedang membicarakan cinta Layla dan Majnun yang kandas, tetapi justru menceritakan tentang hakekat Cinta itu sendiri. Apa yang terjadi pada kehidupan manusia bila Cinta sudah merasuk sedemikian dalam pada dirinya utamanya Cinta pada Tuhan.
Majnun pada akhirnya hanyalah sebuah metafor dari manusia yang sangat mencintai Tuhan nya. Adapun Layla dalam banyak hal bukan hanya sifat seorang manusia yang juga dirasuki Cinta seperti Majnun, tapi kadang merepresentasikan sikap Tuhan yang Cinta terhadap makhluk yang mencintainya. Sementara Ibnu Salam yang mencintai Layla karena keelokan parasnya, adalah represenatasi dari orang yang mencintai hal-hal fisikal yang temporal artificial.
Dengan asumsi Saudi Arabia serta Persia pada waktu Nizami Ganjavi hidup dipengaruhi Islam, maka dalam memahami novel yang sangat kental nuansa sufistik ini, ada baiknya mencerna lebih dahulu apa yang disampaikan Ali bin Abi Thalib tentang cara manusia beribadah atau membangun hubungan dengan Tuhan nya.