Novel Biografi Rahmah El Yunusiyyah
Nama lengkapnya Abu Bakr Muhammadbin 'Abdul Malik bin Muhammad bin Thufayl al-Qaisi al-Andalusi. Orang menyebutnya Ibn Thufayl. Hidup tahun 1105 - 1185, Ibn Thufayl lahir di Granada Spanyol. Selain filsuf, Ibn Thufail juga dikenal sebagai dokter. Karenanya ditunjuk sebagai pejabat pengadilan di Al-Andulisia dan menjadi dokter penguasa Islam di Spanyol yaitu Abu Ya'qub Yusuf.
Namun selain dokter dan filsuf yang fasih memahami pemikiran Aristoteles, Ibn Thufail juga dikenal seorang sastrawan. Karyanya yang terkenal adalah novel Hayy bin Yaqdzan atau si Hidup Anak Kesadaran.Â
Judul roman yang mirip dengan karya Ibn Sina, namun memiliki alur cerita berbeda. Dalam novel tersebut Ibn Thufail menceritakan kisah hidup Hayy bin Yaqdzan. Seorang pemuda yang hidup seorang diri di sebuah pulau terpencil sedari bayi dan diasuh seekor Rusa.
Roman Ibn Thufail yang ditulis pada abad 12 ini diterjemahkan dalam bahasa latin dengan judul "Philosophus Autodidactus"atau filsuf otodidak pada tahun 1671. Setelah itu diterjemahkan kembali oleh George Keith tahun 1674, George Ashwell tahun 1686 dan Simon Ockley tahun 1708.Â
Puncaknya adalah pada tahun 1719 ketika sastrawan Inggris Daniel Defoe menerbitkan novel berjudul Robinson Crusoe. Seperti Hayy, Robinson Crusoe juga bercerita tentang lelaki yang hidup terpencil di sebuah pulau hanya berbeda sebab.
Novel Daniel Defoe ini laris manis sehingga diterjemahkan ke berbagai bahasa juga di filmkan. Setelah kemunculan novel ini, di Barat muncul figur-figur fiksi yang menceritakan orang yang hidup sendiri di hutan dan diasuh hewan. Seperti Tarzan yang diasuh Simpanse atau Mowgli yang diasuh Serigala.
Namun bila kembali lagi ke novel Hayy, Ibn Thufail pada dasarnya tidak sedang membicarakan tentang kehidupan seorang manusia yang terpencil di hutan, tapi menceritakan renungan-renungan manusia filosofis dalam memahami hidupnya. Berasal dari renungan inilah kemudian orang bisa memahami Tuhan dan Agamanya.
Di dalam hutan Hayy selalu memperhatikan dan menganalisa dunia sekitarnya. Karena analisanya yang dituntun akal pikiran ilmiah itulah Hayy bisa hidup dan survive, bukan karena adanya pengajaran orang lain. Namun ketika Rusa yang mengasuhnya mati, Hayy sadar akan adanya esensi non-material yang menggerakan segala materi yang ada. Karena Hayy melihat meski seluruh organ Rusa masih utuh, tapi Rusa itu sudah tidak bergerak lagi.
Kisah Hayy dari Ibn Thufayl yang dikenal filosof yang mengandalkan rasionalitas, adalah kritik dan autokritik pada kelompok rasional yang menganggap bisa hidup tanpa bantuan hal-hal metafisik.
Ibn Thufail perlu mengingatkan pentingnya berpikir logis dan kepercayaan kepada hal-hal metafisik secara bersamaan. Karena pada saat itu ada permasalahan pelik di tengah masyarakat yaitu pertentangan keras antara filsafat dan syariat.Â
Orang-orang filsafat yang dikenal rasional, oleh kalangan agamawan dianggap sudah kafir karena memuja pikiran. Sementara orang-orang yang telalu berpegang teguh pada syariat, menurut para filosof tidak bisa memahami esensi beragama. Karena inti agama hanya bisa difahami dengan pemikiran. Ibn Thufayl sendiri dikenal sebagai rasionalis yang sangat ketat menjalankan syariat agama.
Situasi diatas bertambah pelik ketika tema filsafat dan syariat bukanlah tema yang gampang dan ringan diterangkan kepada masyarakat. Keduanya bukan hanya tema yang cukup berat, tapi juga butuh ketenangan dan pikiran jernih untuk memahaminya. Atas dasar dua situasi inilah kemudian novel Hayy bin Yaqdzan hadir. Mencoba menjernihkan suasana melalui sastra. Karena melalui sastra, permasalahannya bukan hanya lebih mudah diurai, tapi juga mudah difahami. Hayy adalah alegori pertautan antara filsafat dan syariat.
Karena novel lebih memudahkan orang untuk memahami suatu tema penting, tidak aneh bila akhir-akhir ini muncul banyak biografi yang dituturkan dalam bentuk novel. Karena penuturan hidup orang dalam bentuk novel, lebih mudah dan menarik untuk difahami ketimbang dirangkai dalam bentuk catatan sejarah dengan kronologis yang runtut dan ketat. Karena bila novel bisa dinikmati dengan rasa dan rasio, maka catatan sejarah hanya bisa dinikmati dengan rasio.
Sepertinya hal itu juga yang dimaksud Khaerul Azmi penulis novel biografi Rahmah El-Yunusiyah. Penulis tidak hanya ingin mengajak orang untuk tahu dan mengerti sepak terjang seorang Rahmah El-Yunusiyyah, tapi juga ingin mengusik dimensi rasa untuk memahami sosok Rahmah El-Yunusiyyah.
Namun sebagaimana disampaikan penulis dalam sebuah diskusi buku yang diselenggarakan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia Sumatra Barat, format novel ditulis bukan karena peliknya ide dan karya Rahmah El-Yunusiyyah untuk dicerna dan disampaikan ke masyarakat, tapi karena rendahnya minat baca masyarakat. Turunnya minat baca masyarakat, menjadi sebab utama dipilihnya penulisan dalam bentuk novel.
Namun diluar menjadikan novel sebagai medium untuk memahami Rahmah, maka dibanding tokoh-tokoh perempuan lainnya, Rahmah memang memiliki keunikan tersendiri.
Bila kegelisahan RA Kartini terhadap situasi perempuan Indonesia berujung pada korespondensi, maka kegelisahan Rahmah berujung dengan berdirinya sekolah khusus putri yang masih berdiri sampai sekarang, yaitu Diniyyah Putri. Bila heroisme Cut Nyak Dien terwujud dalam bentuk kepemimpinannya dalam Perang Aceh, Rahmah juga ikut turun perang fisik mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan menjadi Komandan Tentara Keamanan Rakyat. Khaerul Azmi penulis novel sendiri menambah perbedaan Rahmah dibanding pejuang perempuan pada masa itu yang dominan bergerak sebagai wartawan.
Mungkin hal yang kerap menjadi pertanyaan adalah, sebagai perempuan yang mendirikan sekolah khusus putri, lalu darimana Rahmah memahami proses pendidikan?Apalagi dalam novel yang ditulis Khaerul Azmi ini, kita tidak akan menemukan latar pendidikan yang pernah ditempuh Rahmah.
Berkaitan dengan pertanyaan ini, mungkin ada baiknya sedikit menyinggung pengalaman Buya Hamka dan juga pendapat Hans-Georg Gadamer tentang proses memahami dalam sebuah pengalaman hermeneutis.
Dalam novel Rahmah ini penulis Khaerul Azmi sempat menyinggung sosok Zaenudin Labai El-Yunussi. Kakak pertama laki-laki yang sangat dihormati dan menjadi inspirasi Rahmah. Zaenudin sendiri adalah guru di Diniyyah School. Mengenai Zainudin ini, Hamka sempat menyinggung nya ketika dia sekola Diniyyah School ini. Hamka yang pembolos, dalam buku "Kenang-Kenangan Hidup" mengatakan bahwa dari sekian guru yang ada, maka Zainudin adalah guru yang cerdas. Bukan hanya dalam ilmunya, tetapi juga mengerti psikologi pengajaran dan dunia pelajar.
Sementara Gadamer mempunyai pandangan sendiri tentang cara orang memahami sesuatu. Kebanyakan orang selalu memisah antara pemahaman dan aplikasi (penerapan). Pemahaman dan aplikasi kerap dipisah menjadi dua hal yang berbeda. Orang dituntut untuk memahami sesuatu terlebih dahulu, baru mengaplikasikannya.
Namun menurut Gadamer, aplikasi sendiri adalah pemahaman atau bagian dari upaya memahami. Ketika seseorang menerapkan sesuatu, maka sebetulnya saat itu juga dia sedang memahami dan belajar. Banyak orang mengajar atau menulis tidak semata sedang mendidik orang atau membagi ilmu kepada orang lain, tapi dia juga sedang belajar dan memahami sesuatu dengan cara mengajar dan menulis. Itulah sebuah pengalaman hermeneutis yang membuat orang senantiasa mendapat pemahaman baru. "For both art and historical sciences are modes of experiencing in which our own understanding of existence come directly into play" Begitu kata Gadamer
Jadi merujuk pada pengalaman Hamka, dunia pendidikan dan pengajaran sudah menjadi faktor genetik dalam kehidupan Rahmah. Bukan hanya Bapaknya saja yang dikenal ulama yang aktif mencerahkan umat, kakak kesayangannya pun seorang pendidik handal. Sementara menurut Gadamer, melalui pendirian dan mengajar itulah Rahmah memahami pendidikan. Alam Minangkabau tempat Rahmah hidup menyebutnya dengan istilah "Alam Takambang Jadi Guru"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H