Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Novel Biografi Rahmah El Yunusiyyah

24 November 2020   23:06 Diperbarui: 24 November 2020   23:08 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Orang-orang filsafat yang dikenal rasional, oleh kalangan agamawan dianggap sudah kafir karena memuja pikiran. Sementara orang-orang yang telalu berpegang teguh pada syariat, menurut para filosof tidak bisa memahami esensi beragama. Karena inti agama hanya bisa difahami dengan pemikiran. Ibn Thufayl sendiri dikenal sebagai rasionalis yang sangat ketat menjalankan syariat agama.

Situasi diatas bertambah pelik ketika tema filsafat dan syariat bukanlah tema yang gampang dan ringan diterangkan kepada masyarakat. Keduanya bukan hanya tema yang cukup berat, tapi juga butuh ketenangan dan pikiran jernih untuk memahaminya. Atas dasar dua situasi inilah kemudian novel Hayy bin Yaqdzan hadir. Mencoba menjernihkan suasana melalui sastra. Karena melalui sastra, permasalahannya bukan hanya lebih mudah diurai, tapi juga mudah difahami. Hayy adalah alegori pertautan antara filsafat dan syariat.

Karena novel lebih memudahkan orang untuk memahami suatu tema penting, tidak aneh bila akhir-akhir ini muncul banyak biografi yang dituturkan dalam bentuk novel. Karena penuturan hidup orang dalam bentuk novel, lebih mudah dan menarik untuk difahami ketimbang dirangkai dalam bentuk catatan sejarah dengan kronologis yang runtut dan ketat. Karena bila novel bisa dinikmati dengan rasa dan rasio, maka catatan sejarah hanya bisa dinikmati dengan rasio.

Sepertinya hal itu juga yang dimaksud Khaerul Azmi penulis novel biografi Rahmah El-Yunusiyah. Penulis tidak hanya ingin mengajak orang untuk tahu dan mengerti sepak terjang seorang Rahmah El-Yunusiyyah, tapi juga ingin mengusik dimensi rasa untuk memahami sosok Rahmah El-Yunusiyyah.

Namun sebagaimana disampaikan penulis dalam sebuah diskusi buku yang diselenggarakan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia Sumatra Barat, format novel ditulis bukan karena peliknya ide dan karya Rahmah El-Yunusiyyah untuk dicerna dan disampaikan ke masyarakat, tapi karena rendahnya minat baca masyarakat. Turunnya minat baca masyarakat, menjadi sebab utama dipilihnya penulisan dalam bentuk novel.

Namun diluar menjadikan novel sebagai medium untuk memahami Rahmah, maka dibanding tokoh-tokoh perempuan lainnya, Rahmah memang memiliki keunikan tersendiri.

Bila kegelisahan RA Kartini terhadap situasi perempuan Indonesia berujung pada korespondensi, maka kegelisahan Rahmah berujung dengan berdirinya sekolah khusus putri yang masih berdiri sampai sekarang, yaitu Diniyyah Putri. Bila heroisme Cut Nyak Dien terwujud dalam bentuk kepemimpinannya dalam Perang Aceh, Rahmah juga ikut turun perang fisik mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan menjadi Komandan Tentara Keamanan Rakyat. Khaerul Azmi penulis novel sendiri menambah perbedaan Rahmah dibanding pejuang perempuan pada masa itu yang dominan bergerak sebagai wartawan.

Mungkin hal yang kerap menjadi pertanyaan adalah, sebagai perempuan yang mendirikan sekolah khusus putri, lalu darimana Rahmah memahami proses pendidikan?Apalagi dalam novel yang ditulis Khaerul Azmi ini, kita tidak akan menemukan latar pendidikan yang pernah ditempuh Rahmah.

Berkaitan dengan pertanyaan ini, mungkin ada baiknya sedikit menyinggung pengalaman Buya Hamka dan juga pendapat Hans-Georg Gadamer tentang proses memahami dalam sebuah pengalaman hermeneutis.

Dalam novel Rahmah ini penulis Khaerul Azmi sempat menyinggung sosok Zaenudin Labai El-Yunussi. Kakak pertama laki-laki yang sangat dihormati dan menjadi inspirasi Rahmah. Zaenudin sendiri adalah guru di Diniyyah School. Mengenai Zainudin ini, Hamka sempat menyinggung nya ketika dia sekola Diniyyah School ini. Hamka yang pembolos, dalam buku "Kenang-Kenangan Hidup" mengatakan bahwa dari sekian guru yang ada, maka Zainudin adalah guru yang cerdas. Bukan hanya dalam ilmunya, tetapi juga mengerti psikologi pengajaran dan dunia pelajar.

Sementara Gadamer mempunyai pandangan sendiri tentang cara orang memahami sesuatu. Kebanyakan orang selalu memisah antara pemahaman dan aplikasi (penerapan). Pemahaman dan aplikasi kerap dipisah menjadi dua hal yang berbeda. Orang dituntut untuk memahami sesuatu terlebih dahulu, baru mengaplikasikannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun