Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Al-Kindi; Bapak Filosof Muslim

18 Agustus 2020   18:40 Diperbarui: 18 Agustus 2020   18:31 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Al-Kindi juga memiliki banyak ide menarik. Seperti ketika Al-Kindi memperkenalkan Teologi Negatif tentang Tuhan. Dimana menurut Al-Kindi, cara mengenal Tuhan adalah dengan menyematkan kata negatif. Seperti Tuhan bukan makhluk, Tuhan bukan benda dan lain sebagainya. Karena satu-satunya kalimat positif tentang Tuhan hanyalah bahwa Tuhan Itu Satu. Hanya melalui penyematan kalimat negatif itulah kita akan mengenal Tuhan.

Hal lain yang menarik dari dari Al-Kindi adalah definisinya tentang filsafat dan tujuan berfilsafat. Menurut Al-Kindi, filsafat adalah ilmu tentang kebenaran sesuatu menurut kesanggupan manusia. Sementara tujuan berfilsafat itu bersifat teoritis dan amalan. Teoritis karena tujuannya mengetahui kebenaran. Amalan karena tujuannya mewujudkan tindakan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Bila kita membaca kembali definisi Filsafat Al-Kindi yang menekankan pencarian kebenaran menurut kesanggupan manusia, maka mau tidak mau kita akan teringat kepada filosof abad modern seperti Edmund Husserl dengan fenomenologinya.

Husserl adalah orang yang melihat bahwa manusia itu pada dasarnya bisa mengetahui setiap hal yang dia lihat. Karena manusia mempunyai modalitas untuk itu. Pandangan ini bertentangan dengan teori das ding an sich Kant. Dimana Kant menganggap bahwa hakekat sesungguhnya sesuatu pada dasarnya tidak bisa kita ketahui. Hal yang bisa ketahui hanyalah gejala dari sesuatu itu. Hakekat sesuatnya seperti apa, itu tidak bisa kita ketahui.

Pandangan Husserl ini dikemudian hari dilengkapi oleh muridnya Heidegger. Dimana menurut muridnya itu, manusia juga bisa mencerap sesuatu bukan hanya karena manusia mempunyai modalitas untuk mengetahuinya, tapi karena benda itu juga sering hadir dalam diri manusia. Sebagaimana Husserl dan Heidegger, Al-Kindi menyiratkan bahwa pada setiap tingkatan manusia itu pada dasarnya bisa memahami sesuatu. Manusia pada dasarnya tidak kosong melompong seperti yang disangkakan. Al-Kindi sangat menghargai keberdayaan manusia.

Bila merujuk pada definisi filsafat Al-Kindi, maka berpikir filosofis itu pada dasarnya bukan monopoli filosof. Orang tidak harus menjadi filosof atau mempelajari filsafat untuk berpikir filosofis. Orang mungkin harus menjadi dosen dan mahasiswa jurusan filsafat untuk memahami peta pemikiran filsafat. Namun setiap orang bisa berpikir filosofis tanpa harus menjadi dosen dan mahasiswa filsafat. Begitu juga sebaliknya.

Dalam konteks inilah tidak keliru bila orang mengatakan bahwa anak-anak adalah filosof yang paling jenius. Karena anak-anak kerap mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan mendasar untuk mencari kebenaran. Hanya saja pertanyaan-pertanyaan mendasar yang menjadi kebiasaan anak-anak di kemudian hari menghilang. Karena kebanyakan orang tua tidak memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan filosofis anak-anak.

Hal menarik lainnya adalah ketika Al-Kindi mengatakan bahwa tujua berfilsafat itu bukan hanya bersifat teoritis tapi juga amalan. Dimensi amalan yang disebut Al-Kindi menyiratkan dimensi praksis. Bahwa berilmu itu pada dasarnya harus berakhir dengan tindakan untuk perubahan. Bukan hanya sebatas pengetahuan saja.

Pada masa sekarang, filsafat praksis dari Al-Kindi ini mau tidak mau akan mengingatkan orang pada pikiran Karl Marx. Karena dalam salah satu tesisnya yang kerap diulang-ulang pengikutnya, Marx mengatakan bahwa para filosof itu hanya ribut menafsirkan dunia. Padahal yang terpenting adalah mengubahnya.

Riwayat Al-Kindi sendiri berakhir tragis. Sebagimana Al-Kindi berkiprah karena topangan khalifah yang mendukung aktivitas pengembangan keilmuan, Al-Kindi tersingkir dan hidup di pengasingan ketika Khalifah Al-Mutawakkil, yang tidak tertarik dengan ilmu pengetahuan dan menganggap Filsafat Yunani tidak Islami karena bukan berasal dari Islam, berkuasa. Sementara Baitul Hikmah yang kerap dianggap sebagai pembentuk The Golden Age of Islam, hancur luluh ketika Hulagu Khan menyerbu Baghdad, 1258 M, dan membakarnya. 

Riwayat Al-Kindi dan Baitul Hikmah ini mengajarkan bahwa diantara variable penting berkembangnya ilmu pengetahuan adalah dukungan penguasa. Sebaliknya, ilmu pengetahuan akan redup ketika penguasa tidak mendukung pengembangannya.

Ibtimes
Ibtimes

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun