Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Al-Kindi; Bapak Filosof Muslim

18 Agustus 2020   18:40 Diperbarui: 18 Agustus 2020   18:31 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Al-Kindi : Bapak Filosof Muslim

Setidaknya ada tiga pandangan terhadap istilah Filsafat Islam. Pandangan pertama menganggap bahwa Filsafat Islam tidak lebih dari lanjutan Filsafat Yunani. Selain fakta menunjukan banyaknya filosof muslim yang menyatakan kekaguman terhadap filsafat Yunani, juga terjadi penerjemahan massif filsafat Yunani ke Bahasa Arab. Utamanya pada masa Khalifah Al-Makmum di Baghdad. Sebuah pandangan yang sekilas terlihat seperti memuji, namun sebetulnya mengandung sinisme. Bahwa filsafat Islam itu pada dasarnya tidak otentik, tidak lebih dari Filsafat Yunani yang di Islamkan.

Pandangan kedua tidak kalah sinisnya dengan pandangan pertama. Bahwa Filsafat Islam hanyalah reaksi orang Islam ketika bersentuhan dengan banyak pemikiran dari luar Islam dan ajaran Agama lain. Terlebih dibanding ketiga agama samawi lainnya, Islam adalah agama termuda. Faktanya, banyak ritual dalam Agama Islam yang dianggap kelanjutan dari Agama sebelumnya. Seperti Ibadah puasa yang juga sudah dilakukan oleh penganut Yahudi atau ritual Haji yang juga sudah dilakukan kaum pagan.

Sementara pandangan ketiga merevisi dua pandangan diatas. Pandangan ketiga tidak menampik bahwa Filsafat Islam terpengaruh Filsafat Yunani. Masalahnya perkembangan peradaban selalu berjalan seperti itu. Saling pengaruh mempengaruhi. Tradisi Yunani yang mempengaruhi orang Islam, sebelumnya juga dipengaruhi tradisi berpikir India dan Persia. 

Bila setelah abad pertengahan banyak orang Barat mendapat banyak inspirasi dari orang Islam seperti Ibnu Rusyd, Ibn Sina dll, maka pada abad modern ketika Barat maju, banyak orang Islam yang juga belajar dari Barat. Hakekat perjalanan manusia adalah saling mempengaruhi. Di bumi ini tidak ada sesuatu yang betul-betul baru, "Nothing new on the sky"

Namun meski saling mempengaruhi adalah suatu hal yang biasa, itu bukan berarti mengindikasikan tidak adanya keotentikan. Setiap fase selalu memiliki keontentikan Diantara orisinalitas Filsafat Islam adalah ketika para pemikirnya menjadikan Quran dan Sunnah sebagai rujukan. Filsafat adalah alat memahami kitab suci bukan tujuan. Karenanya intelek teoritis para filosof muslim, tidak bisa disamakan lagi dengan nous nya Aristoteles. Meski terminologi Aristetolian tetap dipergunakan.

Dalam konteks pengaruh mempengaruhi Filsafat Yunani serta otensitas inilah kemudian hal yang menarik bila kita menyingung nama Al-Kindi atau Abu Yusuf Yakub Al-Kindi. Al-Kindi adalah anak Gubernur Kuffah berasal dari daerah bernama Kindah. Namun Al-Kindi tidak lama hidup di Kuffah. Al-Kind pindah ke Bagdad. Ibu Kota kekhalifahan Bani Abasiyyah yang juga dikenal sebagai pusat keilmuan. Di Kota inilah Al-Kindi berkutat mengembangkan khazanah keilmuan dibawah dukungan tiga khalifah Bani Abbasiyyah, yakni Khalifah Al-Ma'mun, Al-Mu'tasim dan Al-Watsiq.

Baghdad dibawah kepemimpinan Harun Al-Rasyid, ketika itu sedang menjadi pusat peradaban dunia. Di kota ini, Harun Al-Rasyid mendirikan sebuah lembaga bernama Baitul Hikmah yang dikenal Barat sebagai House of Wisdom. Pada awal pendiriannya, Baitul Hikmah adalah perpustakaan pribadi Khalifah Harun Al-Rasyid. 

Namun anaknya, Khalifah Al-Ma'mun (813-833 M)  memperluas fungsinya. Baitul Hikmah menjadi lembaga pendidikan formal dan pusat pengembangan keilmuan. Karenanya Baitul Hikmah bukan hanya menarik pelajar pelajar dari Cina, Yunani, India, hingga Persia untuk datang, tetapi juga banyak melahirkan agamawan dan ilmuwan.

Dalam upaya pengembangan keilmuan inilah Baitul Hikmah melakukan upaya penterjemahan karya-karya ilmiah. Setidaknya ada dua kategori keilmuan yang diterjemahkan, keilmuan tradisional dan keilmuan kuno atau al'ulum al awail, seperti filsafat atau pemikiran Yunani. Di desk penterjemahan Al'ulum Al Awail inilah Al-Kindi berdiri sebagai pemimpinnya. Melalui penterjemahan inilah Al-Kindi dikenal sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan filsafat kepada orang Islam. Karenanya banyak yang menyebut Al-Kindi sebagai Filosof Muslim awal atau bapak Filosof Muslim.

Ada banyak hal menarik dari Al-Kindi. Seperti pendapat Ibn Al-Nadhim yang menyebutkan adanya 242 karya Al-Kindi. Sebuah jumlah yang produktif untuk orang yang berumur 72 tahun.  

Al-Kindi juga memiliki banyak ide menarik. Seperti ketika Al-Kindi memperkenalkan Teologi Negatif tentang Tuhan. Dimana menurut Al-Kindi, cara mengenal Tuhan adalah dengan menyematkan kata negatif. Seperti Tuhan bukan makhluk, Tuhan bukan benda dan lain sebagainya. Karena satu-satunya kalimat positif tentang Tuhan hanyalah bahwa Tuhan Itu Satu. Hanya melalui penyematan kalimat negatif itulah kita akan mengenal Tuhan.

Hal lain yang menarik dari dari Al-Kindi adalah definisinya tentang filsafat dan tujuan berfilsafat. Menurut Al-Kindi, filsafat adalah ilmu tentang kebenaran sesuatu menurut kesanggupan manusia. Sementara tujuan berfilsafat itu bersifat teoritis dan amalan. Teoritis karena tujuannya mengetahui kebenaran. Amalan karena tujuannya mewujudkan tindakan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Bila kita membaca kembali definisi Filsafat Al-Kindi yang menekankan pencarian kebenaran menurut kesanggupan manusia, maka mau tidak mau kita akan teringat kepada filosof abad modern seperti Edmund Husserl dengan fenomenologinya.

Husserl adalah orang yang melihat bahwa manusia itu pada dasarnya bisa mengetahui setiap hal yang dia lihat. Karena manusia mempunyai modalitas untuk itu. Pandangan ini bertentangan dengan teori das ding an sich Kant. Dimana Kant menganggap bahwa hakekat sesungguhnya sesuatu pada dasarnya tidak bisa kita ketahui. Hal yang bisa ketahui hanyalah gejala dari sesuatu itu. Hakekat sesuatnya seperti apa, itu tidak bisa kita ketahui.

Pandangan Husserl ini dikemudian hari dilengkapi oleh muridnya Heidegger. Dimana menurut muridnya itu, manusia juga bisa mencerap sesuatu bukan hanya karena manusia mempunyai modalitas untuk mengetahuinya, tapi karena benda itu juga sering hadir dalam diri manusia. Sebagaimana Husserl dan Heidegger, Al-Kindi menyiratkan bahwa pada setiap tingkatan manusia itu pada dasarnya bisa memahami sesuatu. Manusia pada dasarnya tidak kosong melompong seperti yang disangkakan. Al-Kindi sangat menghargai keberdayaan manusia.

Bila merujuk pada definisi filsafat Al-Kindi, maka berpikir filosofis itu pada dasarnya bukan monopoli filosof. Orang tidak harus menjadi filosof atau mempelajari filsafat untuk berpikir filosofis. Orang mungkin harus menjadi dosen dan mahasiswa jurusan filsafat untuk memahami peta pemikiran filsafat. Namun setiap orang bisa berpikir filosofis tanpa harus menjadi dosen dan mahasiswa filsafat. Begitu juga sebaliknya.

Dalam konteks inilah tidak keliru bila orang mengatakan bahwa anak-anak adalah filosof yang paling jenius. Karena anak-anak kerap mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan mendasar untuk mencari kebenaran. Hanya saja pertanyaan-pertanyaan mendasar yang menjadi kebiasaan anak-anak di kemudian hari menghilang. Karena kebanyakan orang tua tidak memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan filosofis anak-anak.

Hal menarik lainnya adalah ketika Al-Kindi mengatakan bahwa tujua berfilsafat itu bukan hanya bersifat teoritis tapi juga amalan. Dimensi amalan yang disebut Al-Kindi menyiratkan dimensi praksis. Bahwa berilmu itu pada dasarnya harus berakhir dengan tindakan untuk perubahan. Bukan hanya sebatas pengetahuan saja.

Pada masa sekarang, filsafat praksis dari Al-Kindi ini mau tidak mau akan mengingatkan orang pada pikiran Karl Marx. Karena dalam salah satu tesisnya yang kerap diulang-ulang pengikutnya, Marx mengatakan bahwa para filosof itu hanya ribut menafsirkan dunia. Padahal yang terpenting adalah mengubahnya.

Riwayat Al-Kindi sendiri berakhir tragis. Sebagimana Al-Kindi berkiprah karena topangan khalifah yang mendukung aktivitas pengembangan keilmuan, Al-Kindi tersingkir dan hidup di pengasingan ketika Khalifah Al-Mutawakkil, yang tidak tertarik dengan ilmu pengetahuan dan menganggap Filsafat Yunani tidak Islami karena bukan berasal dari Islam, berkuasa. Sementara Baitul Hikmah yang kerap dianggap sebagai pembentuk The Golden Age of Islam, hancur luluh ketika Hulagu Khan menyerbu Baghdad, 1258 M, dan membakarnya. 

Riwayat Al-Kindi dan Baitul Hikmah ini mengajarkan bahwa diantara variable penting berkembangnya ilmu pengetahuan adalah dukungan penguasa. Sebaliknya, ilmu pengetahuan akan redup ketika penguasa tidak mendukung pengembangannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun