Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Roman Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai: Perlawanan Samar Atas Kolonialisme

30 Mei 2020   11:22 Diperbarui: 30 Mei 2020   11:33 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adapun pendidikan disusun hanya untuk menghasilkan tenaga administrasi yang murah dan orang terdidik untuk mendukung roda pemerintahan Belanda di Indonesia.

Dalam rangka program Trias Deventer bagian edukasi, munculah ide Belanda untuk membangun Commissie voor de inlandsche School en Vokslectuur alias Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat pada 1908.

Sebuah komisi yang bertugaskan untuk merumuskan kategori bacaan yang baik untuk rakyat juga menerbitkan naskah-naskah dari berbagai daerah. Komisi inilah yang sekarang dikenal dengan Balai Pustaka yang menerbitkan Roman Sitti Nurbaya Kasih Tak Sampai yang ditulis Marah Roesli.

Karena itu tidak aneh bila novel-novel angkatan Balai Pustaka (1920-1935) berkutat seputar kritik terhadap tradisi juga perbaikan sistem sosial budaya masyarakat bila ingin maju seperti Eropa. Bandingkan dengan novel Pramoedya (angkatan 50-60) yang tidak hanya mengkritik feodalisme Jawa, tetapi juga mengkritik kolonialisme Belanda, Jepang dan PKI.

Novel Keluarga Gerilya atau Cerita Dari Blora menggambarkan bagaimana kejamnya PKI dan penjajahan di Indonesia. Terlebih Tetralogi Buru yang menceritakan perlawanan pertama orang Indonesia dengan memakai organisasi dan Pers sebagai instrumen utamanya.

Hilmar Farid, Dirjend Kebudayaan Kemdikbud Sekarang, dalam risetnya berjudul Politik, Bacaan, dan Bahasa pada Masa Pergerakan: Suatu Studi Awal mengatakan bahwa Balai Pustaka adalah kepanjangan tangan kolonial. Pedoman mereka adalah tata kolonial yang "aman" dan "tertib". Menurut Hilmar Farid "Dala dunia ini tidak ada 'demonstratie' karena sudah ada Volksradd, tidak ada 'pergerakan ra'jat tapi 'gerakan ekstim' tidak ada 'kapitalist jang mengisep darah' tapi 'Pengoesaha' atau 'saudagar' "

Dalam konteks inilah sebetulnya kita mesti memahami Roman mashur Sitti Nurbaya ini. Roman ini bukan hanya ditulis di masa kolonialisme Belanda, tetapi juga diterbitkan oleh sebuah institusi penerbitan yang dibuat oleh pemerintah kolonial.

Sementara kalau kita membaca uraian Louis Althusser tentang cara sebuah negara melanggengkan kekuasaannya, Balai Pustaka adalah bagian dari Idiological State Aparatus yang bertugas melanggengkan kekuasaan Belanda di Indonesia.

Namun seperti kata Gandhi, kolonialisme memang bisa menundukan fisik seseorang, tetapi dia tidak selalu bisa menundukan jiwa seseorang. Secara fisik orang mungkin bisa patuh, tetapi bukan berarti dia itu tunduk. Ketundukan dan kepatuhan adalah dua hal yang berbeda.

Orang bisa melakukan perlawanan meski dalam posisi orang patuh. Hal ini jugalah yang tersirat dalam Roman Sitti Nurbaya. Ada perlawanan tersirat yang muncul dalam roman ini. Perlawanan yang ditunjukan dalam kepatuhan.

Dari segi jumlah halaman novel ini, 5/6 novel ini memang bercerita kisah kasih antara Sitti Nurbaya dan Samsulbahri beserta konflik yang mengintarinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun