Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Politik yang Membutakan dan Sastra yang Membuka Mata

18 Mei 2020   13:45 Diperbarui: 18 Mei 2020   13:49 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kaya atau Miskin itu objektif. Bisa diukur. Bisa dilihat dari aset, properti atau jumlah simpanan di tabungan. Sementara bahagia dan sengsara itu subjektif. Bergantung cara pandang. 

Orang bisa punya uang banyak. Tapi karena tidak puas, maka dia merasakan hidupnya kekurangan, tidak menyenangkan apalagi membahagiakan. Sebaliknya. Ada orang yang  uang nya sedikit. Tapi karena melihatnya dengan cara berbeda, maka dia merasa hidupnya serba berkecukupan, menyenangkan dan membahagiakan.

Objek negatif tidak selalu akan dimaknai orang menjadi yang negatif dan fakta positif tidak selalu bermakna negatif. Begitu juga sebaliknya. Fakta positif bisa jadi berimbas negatif dan fakta negatif bisa berimbas positif. 

Karenanya dalam kehidupan lumrah ditemui. Ada orang berlimpah kekayaan tapi merasa hidupnya merasa serba kekurangan. Sebaliknya, ada yang kepemilikannya sedikit tapi merasa hidupnya menyenangkan.

Pemisahan antara objektif dan subjektif ini, sudah lama menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat kita. Namun di kala pandemi seperti sekarang, sepertinya hal diatas sudah tidak menjadi pegangan. 

Pengambil kebijakan dan masyarakat seolah menghindar untuk membicarakan sesuatu yang faktual atau objektif. Utamanya yang menyakitkan dan tidak mengenakan. 

Seolah membicarakan fakta objektif yang menyakitkan, akan berimbas pada cara pandang dan cara sikap yang negatif juga. Padahal tidak seperti itu. Fakta negatif bisa disikapi secara secara positif sebagaimana fakta positif bisa diartikan secara negatif.

Di awal pandemi, kita masih ingat sikap pengambil kebijakan menghadapi wabah ini. Mengeluarkan segala daya upaya untuk menyangkal bahwa SARS-COV-2 sudah masuk ke Indonesia. Meski sudah diperingatkan dunia internasioal. 

Begitu juga di tengah pandemi. Utamanya dalam pengelolaan data. Antara data yang dikeluarkan pemerintah, bukan hanya jauh lebih kecil dengan prediksi para matematikawan dan epidemiologis, tetapi kerap berbeda dengan input data dari Provinsi.

Jawaban sikap diatas sudah dijelaskan pemerintah. Menurut Presiden, pemerintah bermaksud mengajak masyarakat tenang, tidak panik menghadapi pandemik. 

Sebuah pandangan yang menyiratkan kekhawatiran Presiden bahwa fakta objektif yang negatif, akan berimbas pada sikap yang negatif juga. Isyu virus corona masuk Indonesia atau tingginya angka penderita Covid-19 di Indonesia, dikhawatirkan akan membawa situasi sosial yang destruktif. 

Presiden tidak berpandangan sebaliknya. Bahwa berbicara fakta apa adanya, meski itu negatif, akan membuat masyarakat lebih peduli, waspada dan pemerintah dianggap kredible dalam menangani wabah.

Hal demikian tidak hanya ditunjukan pemerintah, tetapi juga diperlihatkan sebagian masyarakat kita. Berdalih untuk meningkatkan imunitas sebagai senjata menghadapi wabah, muncul kampanye pentingnya berpikir positif yang diamini banyak kalangan. 

Sayangnya, berpikir positif yang rumusan awalnya adalah kesediaan menerima fakta apa adanya namun memiliki cara pandang positif dalam memahami setiap fakta yang ada, diubah. 

Berpikir positif menjadi upaya mengajak orang untuk tidak jujur terhadap realitas. Fakta dan data di otak atik sedemikian rupa, supaya menimbulkan rasa aman dan tentram bagi siapa saja yang mencernanya.

Dalam konteks menghadapi wabah, adalah menarik melihat cara pemerintah Jerman berbicara apa adanya ke masyarakat. Sebuah negara yang sempat dianggap lalai merespon awal kedatangan wabah, tapi kemudian dianggap sebagai negara yang berhasil mengatasi wabah. Angka-angka penyebaran wabah di Jerman menunjukan anomali dibanding negara-negara Eropa yang mengelilinginya.

Dalam menghadapi wabah, Perdana Mentri Angela Markel bukan hanya mendasarkan pada pendapat ilmuwan, tetapi juga berbicara apa adanya ke masyarakat.

Ketika wabah mulai masuk Jerman, Angela Markel berbicara pahit dan terus terang. Markel berbicara terbuka bahwa 70% masyarakat Jerman terancam terpapar Covid-19. 

Lalu beberapa waktu lalu, ketika negara lain menyatakan bahwa vaksin akan ditemukan di akhir tahun, pendapat Mentri Kesehatan Jerman justru tidak seirama. Sebagaimana dikutip brusseltimes, Jens Spahn justru mengatakan bahwa vaksin baru bisa ditemukan beberapa tahun lagi.

Namun ternyata, realitas negatif yang disampaikan diatas tidak serta merta direspon secara negatif. Peringatan Markel direspon dengan keseriusan, kedisiplinan dan solidaritas sosial dalam menjalani lock down, bukan kerusuhan. Jerman pada akhirnya bukan hanya bisa mengontrol Covid-19 tapi sudah mulai melonggarkan lock down. 

Bundesliga mulai diputar meski tanpa penonton. Ungkapan Mentri Kesehatan Jerman tentang vaksin, bukan berarti melenakan proses penemuan vaksin.

Malah sebaliknya. WHO mengumumkan bahwa dari 7-8 kandidat kuat vaksin penangkal Covid-19 salah satunya adalah dari Jerman. Milik lembaga Biopharmaceutical New Technologis yang bekerjasama dengan Tiongkok dan Amerika.

Kebiasaan Jerman untuk berbicara fakta objektif apa adanya, mungkin sudah terbentuk sejak lama. Kita bisa melihat misalnya dari sikap dan perilaku masyarakat Jerman terhadap sejarah kelam negerinya. Meski dunia mencatat bahwa Hitler adalah pemimpin Jerman yang menyebabkan jutaan umat manusia, namun masyarakat Jerman tidak pernah menutup fakta itu. Semuanya dibicarakan secara terbuka. Ada banyak situs yang dijaga dan mesueum yang dibangun untuk mencatat Hitler sebagai seorang pemimpin Jerman. Namun hal itu tidak berarti menjadikan Jerman sebagai negeri pecundang. Jerman adalah salah satu negara terkemuka dunia. Tidak hanya dikenal dengan sistem politik dan ekonomi yang mapan, tapi juga melahirkan banyak inovator dan pemikir kelas dunia.

Tentunya perlu penelaahan lebih jauh kenapa para pengambil kebijakan di Indonesia dan sebagian masyarakat kita tidak bisa berbicara apa adanya dalam melihat sesuatu. Lebih memilih memoles satu realitas, dan menyembunyikan realitas lainnya untuk menenangkan publik. Menganggap fakta negatif akan selalu direspon secara negatif. Bukan sebaliknya.

Hanya saja bila kita review perjalanan bangsa ini, cara pandang ini terlihat jejaknya dalam perjalanan kehidupan politik.

Dibawah kepemimpinan Soeharto, pemerintahan ini memisahkan priode nya sebagai Orde Baru dan priode sebelumnya dengan Orde Lama. Namun ketika membicarakan Orde Lama, temanya selalu tidak seimbang dan tidak apa adanya. Orde Baru selalu dikaitkan dengan orde kekacauan politik dan kebangkrutan ekonomi. Namun Orde Lama sebagai sebuah masa yang berhasil membentuk landasan bernegara dan pembentukan karakter building, kerap disembunyikan.

Ketika Orde Baru dirubah dengan Orde Reformasi, hal yang sama berulang. Orang juga tidak apa adanya membicarakan Orde Baru. KKN dan pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru, seperti menutupi capaian-capaian Orde Baru yang berhasil mengentaskan buta huruf, membangun infrastruktur pendidikan dan kesehata ke daerah-daerah.

Mungkin puncak dari tidak terbiasanya kita berbicara apa adanya adalah masa kampanye politik terakhir. Pemanfaatan media sosial secara massif untuk kampanye politik, membuat realitas semu berpadu dengan algoritma media sosial. Bila realitas semu membuat orang buta terhadap realitas sesungguhnya, maka algoritma sosial membuat orang hanya berkumpul dengan orang yang satu pandangan dengan dirinya. Realitas tidak sesungguhnya pun dianggap nyata karena itu menjadi pegangan banyak orang. Situasinya bertambah rumit manakala kontestasi politik sudah usai, pola komunikasi seperti ini juga yang terus dikembangkan pemerintahan terpilih beserta para penentangnya. Orang hanya mau menerima informasi dan realitas yang sesuai dan menyenangkan dirinya.

Namun berbeda dengan politik, dunia sastra kita ternyata mengajarkan sebaliknya. Perjalanan sastra kita memberikan pijakan bagi kita untuk berbicara apa adanya. Baik buruk sebuah realitas, diungkap apa adanya.

Generasi sastra Balai Pustaka yang eksistensinya berada seputaran pra dan pasca kemerdekaan, banyak menceritakan realitas negeri-negeri di Indonesia apa adanya. Bila Marah Rusli dengan roman "Siti Nurbaya", berbicara apa adanya tentang adat Minangkabau, begitu juga Merari Siregar dengan roman "Azab dan Sengsara" yang berbicara apa adanya tentang adat Batak. Keduanya mengungkap sisi negatif adat budaya kampung halamannya secara terbuka.

Kita juga akan melihat hal serupa dalam novel "Katak Hendak Jadi Lembu" karangan Nur St Iskandar. Novelist Minangkabau ini sempat ragu untuk menerbitkan novelnya. Karena novel tersebut mengkritik adat lelaki Sunda yang besar pasak daripada tiang, kesohor meski tekor. Mementingkan penampilan. Namun kekhawatiran itu disanggah tokoh masyarakat Pasundan. Menurut mereka, realitas itu memang terjadi di masyarakat Pasundan waktu itu dan novel Katak Hendak Menjadi Lembu mesti diterbitkan. Untuk menjadi pembelajaran bagi masyarakat.

Hal ini juga berlanjut pada masa Pujangga Baru. Dalam novel "Merantau ke Tanah Deli" misalnya. Buya Hamka tidak hanya berbicara apa adanya tentang sisi negatif budaya Minangkabau yang menurutnya tidak produktif dan destrutif. Tetapi lebih dari itu. Ketika terjadi konflik antara orang Jawa dan orang Minang, Hamka ulama Minang ini justru memenangkan orang Jawa.

Mungkin yang menarik adalah ketika Abdoel Moeis menulis "Robert Anak Surapati". Aktivis Serikat Islam yang namanya diabadikan menjadi salah satu Jalan di Kota Bandung ini, menceritakan tentang seorang Robert yang ber Ibu Belanda dan Bapak Jawa. Robert mengalami konflik identitas kebangsaan tentang siapakah yang mesti dia bela. Apakah Belanda tanah air Ibu nya, atau Jawa tanah air bapaknya. Pada akhirnya Robert memilih Belanda. Karena di negeri itulah dia tumbuh dan berkembang.

Meski begitu, Abdoel Moeis yang dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional, justru mengatakan Robert sebagai pahlawan bukan pengkhianat. Meski Robert membela Belanda dan Moeis adalah pejuang kemerdekaan. Karena memang pemihakan Robert atas dasar patriotisme bukan aportunisme. Abdoel Moeis menyatakan itu dalam novel yang terbit tahun 1953. Sebuah massa ketika Indonesia baru keluar dari penjajahan Belanda

Jadi sejarah sastra kita pada dasarnya sudah mengajarkan kita berbicara apa adanya. Tidak seperti politik yang suka memoles dan memanipulasi. Masalahnya, masyarakat lebih berminat membaca cuitan tentang politik ketimbang membaca sastra. Pembaca sastra kita makin hari jumlahnya makin menurun

robert-anak-surapati-5ec22efed541df52113f2b12.jpg
robert-anak-surapati-5ec22efed541df52113f2b12.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun