Lemah Abang dan Konsep Masyarakat Ummah
Selepas mempelajari sejarah hidup Nabi Muhammad serta melakukan perjalanan ke Baghdad dan beberapa negeri di Jazirah Arab tempat lahirnya Islam berbelas tahun, Datuk Abdul Jalil atau yang lebih dikenal sebagai Syek Siti Jenar kembali ke Tanah Jawa Dwipa tepatnya ke Caruban Larang, Cirebon sekarang.
Tempat dia dilahirkan dan pertama kali belajar Islam ke Syekh Datuk Kahfi di Giri Amparan Jati. Kepulangannya ke Jawa Dwipa bukan hanya karena ingin kembali dan mengabdi di tempat kelahiran, tetapi juga konon karena instruksi dari guru-guru ruhaninya untuk memperkenalkan Islam ke masyarakat di Nusa Jawa.
Dalam perjalanan kembali ke asal di abad 15 inilah kemudian Datuk Abdul Jalil menemui realitas sosial meyedihkan. Bertentangan dengan yang dia pelajari tentang Islam juga bentuk masyarakat Islam yang telah dipraktekan Nabi Muhammad.
Dari segi politik misalnya. Secara politik, penguasa-penguasa di Jawa Dwipa diatur berdasar keturunan (dinasti) bukan berdasar kemampuan (meritokrasi). Orang yang berhak menjadi Raja dan juga penguasa-penguasa di Daerah adalah para turunan raja baik anak dari Istri pertama maupun dari selir-selir raja.
Di Bumi Pasundan misalnya. Raja Kerajaan Pasundan pastinya adalah keturunan dari Raja-Raja sebelumnya. Lalu kerajaan-kerajaan yang berada dibawah naungan Kerajaan Pasundan, seperti Caruban Larang, Kuningan, Sumedang Larang, Luragung, Talaga, Limbangan, Galuh Pakuan, Sindang Barang, dikuasai oleh anak-anak Raja Pasundan.
Diantara para anak Raja itu memang ada beberapa yang mempunyai kapasitas untuk memimpin. Seperti Raja Sri Manganti yang memerintah Caruban Larang yang juga merupakan Bapak asuh Datuk Abdul Jalil. Namun banyak kerajaan yang diperintah para keturunan Raja itu tidak mempunyai kapasitas dan integritas moral untuk memimpin. Kerajaan dipimpin dengan visi jangka pendek dan semuanya diatur sesuka hati raja. Raja-raja tidak mempedulikan kehidupan masyarakat dan hanya peduli pada uang dan perempuan.
Hal politis lain yang terlihat dalam kehidupan masyarakat ketika itu adalah masalah kepemilikan tanah. Pada masa itu status tanah adalah dimiliki raja yang diberikan kepaa rakyat untuk dikelola. Karenanya rakyat mesti membayar atas pengelolaan tanah itu.
Kekuasaan Raja yang totaliter itu bertambah ketika pihak kerajaan mempunyai hak untuk mengambil apapun yang ada di tangan rakyat. Rakyat mesti rela bila Istri mereka diambil pihak kerajaan untuk dijadikan selir atau anak-anak mereka diambil untuk dijadikan budak.
Implikasinya tentu berimbas pada sisi hukum. Hukum menjadi sangat diskriminatif dan sangat politis. Penguasa tidak akan menghadapi resiko hukum manakala melanggar, sementara rakyat kebanyakan terancam berbagai macam sanksi bila mereka melanggar aturan.
Secara singkat, bila Marx dulu mengatakan bahwa masyarakat Eropa itu hanya terdiri dari dua lapisan masyarakat; borguis dan proletar, maka masyarakat Nusa Jawa ketika itu juga hanya terdiri dari dua golongan; golongan kawula dan golongan gusti. Kawula adalah masyarakat kebanyakan yang lemah secara politik, sosial dan ekonomi serta gusti adalah segelintir orang yang kuat baik secara politik, sosial dan ekonomi.
Dalam kondisi seperti itu, Datuk Abdul Jalil mengimpikan sebuah tatanan kehidupan egaliter yang disebut dengan Masyarakat-Ummah. Bagi Abdul Jalil, yang tertinggi dalam kehidupan masyarakat adalah Tuhan sehingga masyarakat itu mengkhidmatkan semua aktivitasnya untuk Tuhan bukan untuk Raja. Seluruh aktivitas manusia di Bumi mestilah manifestasi dari statusnya sebagai Wakil Tuhan di Bumi dan harus hidup berdasar nilai-nilai Ketuhanan.
Raja atau penguasa sebuah negeri mesti dipilih oleh Rakyat bukan berdasar kepada keturunan. Penguasa sebuah daerah bukanlah Kepala, yang mengusai sebuah wilayah, tapi dia adalah Wali Negeri. Wali berasal dari bahasa Arab yang berarti melindungi. Karenanya pimpinan yang dipilih rakyat, tugasnya adalah melindungi rakyat bukan mengeksploitasi rakyat.
Selain itu, semua yang ada di Bumi ini pada hakikatnya juga milik Allah bukan milik raja. Sedangkan manusia adalah Wakil Tuhan di muka bumi ini untuk mengelolanya berdasar prinsip-prinsip ketuhanan. Atas dasar konsepsi ini, tanah yang sebelumnya diklaim milik kerajaan dan diberikan kepada rakyat sebagai penyewa, mesti dibagi-bagikan kepada rakyat untuk dikelola dengan produktif.
Ide Datuk Abdul Jalil akan konsep Masyarakat-Umah ini dimengerti oleh penguasa Caruban Girang, Raja Sri Manganti. Salah satu putra penguasa Pasundan yang diberi kuasa memimpin Caruban Girang, namun sudah lama merasa risau, kesal dan tidak suka dengan cara saudara-saudaranya berkuasa di Bumi Pasundan. Â
Untuk mendukung ide Datuk Abdul Jalil ini, Raja Sri Manganti lalu menghibahkan tanah seluas 200 Jung (560 hektar) bebas shima (pajak) kepada Datuk Abdul Jalil untuk dikelola. Tanah ini kemudian disebut dengan Lemah Abang. Secara harfiah, Lemah berarti Tanah dan Abang berarti Merah.
Disebut Tanah Merah karena sebagian tanah di daerah ini merah atau subur bisa menjai tempat tumbuh berbagai jenis tanaman. Selain itu Lemah juga berarti tenang dan Abang berarti nafsu. Diberi nama seperti ini karena diharapkan warga di daerah ini bisa menundukan nafsu amarah, yang menjadi pangkal kerusakan, dan tempat membentuk nafsu muthmainnah.
Lemah Abang kemudian dijadikan pilot project bagi Datuk Abdul Jalil untuk membangun masyarakat yang dia idealkan. Di Lemah Abang ini, tanah yang sudah dihibahkan Sri Manganti dibagi-bagi lagi ke masyarakat untuk dikelola.
Untuk melindungi hak-hak perempuan dan mengembalikan tugas laki-laki sebagai penanggung jawab kehidupan, maka lelaki di Lemah Abang tidak mengikuti keumuman masyarakat Pasundan yang membawa keris di depan dada sebagai perlambang kekuatan, tapi dia mesti memakai Golok di tangan kiri. Lambang bahwa laki-laki harus menjaga perempuan, yang terbuat dari rusuk kiri laki-laki, yang merupakan kehormatan dirinya sebagai lelaki.
Lelaki di Tanah Abang selain berdestar dan rambutnya tidak panjang digelung, juga tidak boleh menjual perempuan untuk biaya membayar hutang atau keperluan berjudi sebagaimana yang terjadi pada masyarakat keumuman waktu itu. Selain dari itu, perempuan di Lemah Abang bila keluar rumah, mereka harus menggunakan penutup dada. Tidak seperti masyarakat luar Lemah Abang. Â
Janda-Janda dan anak yatim piatu juga menjadi tanggung jawab para pemimpin Lemah Abang. Mereka tidak lagi berbadan lemah dan kurang gizi, karena semuanya di tanggung oleh baitul mal.
Namun mereka juga tidak boleh terus menerus berada di rumah untuk menunggu belas kasihan orang lain, mereka harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Kemudian secara politis, pemimpin di Lemah Abang tidak lagi ditunjuk berdasar keturunan tapi dipilih oleh masyarakat.
Datuk Abdul Jalil sendiri di Lemah Abang ini ingin meniru pola hidup Nabi Muhammad. Di daerah ini Datuk membuat Tajug, semacam masjid, dan disamping Tajug tersebut membuat ruangan sederhana tempat dia tinggal. Di ruangan Abdul Jalil inilah kemudian dia menerima masyarakat dan berdiskusi dengan para tokoh masyarakat.
Termasuk dengan penganut Hindu-Syiwa, yang sudah menganggap Datuk Abdul Jalil sebagai guru rohani mereka, karena di daerah ini penganut Agama lain juga dipersilahkan untuk berdomisili.
Tatanan sosial baru di Lemah Abang yang berbeda dengan keumuman ini, bukan hanya tersiar luas ke luar, tetapi juga menarik perhatian banyak kalangan. Karena orang ingin mendapatkan tanah milik sendiri untuk dikelola serta ingin merasakan hidup dalam struktur sosial dan kekuasaan yang lebih adil dan egaliter, maka orang berbondong-bondong pindah ke Lemah Abang.
Lebih dari itu sistem Lemah Abang makin meluas manakala banyak daerah lain di Caruban Girang ingin mengadopsi sistem ini,dan itu di izinkan oleh Raja Sri Manganti yang mengeluarkan aturan baru Kerajaan untuk wilayah kekuasaannya.
Namun bagi Sri Manganti sendiri yang mengerti dunia militer, politik juga pengelolaan negara, dia menyadari bahaya yang akan dia hadapi ketika dia menyetujui ide Datuk Abdul Jalil membuat komunitas seperti Lemah Abang ini.
Sesuai dengan perhitungan politik dan militer Sri Manganti, saudara-saudaranya yang menguasai kerajaan di wilayah Bumi Pasundan merasa gerah. Kebijakan di Caruban Girang bukan hanya dianggap mengancam kekuasaan mereka karena Caruban Girang makin kuat, tetapi juga dianggap merusak berbagai macam privillege dan kemewahan yang telah mereka nikmati dalam sistem lama.
Situasi politik makin memanas manakala Raja Padjadjaran juga lebih banyak terpukau dengan ide dan manuver Sri Manganti ketimbang mengecam seperti yang dilakukan anak-anaknya yang berkuasa di wilayah Pasundan. Bagi kerajaan-kerajaan lain, apa yang dilakukan Sri Manganti pada akhirnya akan memiliki imbas politik sangat jauh.
Hitungan politik mereka berkesimpulan bahwa Raja Padjadjaran bisa jadi akan menunjuk Sri Manganti sebagai penggantinya mengusai Bumi Pasundan, ketimbang menjadikan mereka sebagai Raja Padjadjaran.
Karena merasa terancam, beberapa wilayah tetangga sekitar Caruban pun bersekutu. Mereka mengumpulkan pasukan yang jumlahnya 5 kali lipat jumlah pasukan yang dimiliki Caruban Girang, lalu menempatkan pasukan tersebut di perbatasan untuk menebar teror dan ancaman.
Baik Caruban Girang maupun sekutu lawan Caruban Girang, tidak berani menyerang lebih dahulu. Karena siapa yang menyerang terlebih dahulu, maka dia akan mendapat murka orang tua mereka Raja Padjadjaran yang mengankan harmoni dan kedamaian di wilayah kekuasaannya.
Dalam kondisi kritis seperti ini, Sri Manganti pun mengumpulkan pembantu-pembantunya. Dalam pertemuan ini selain dibahas perkembangan terkini di perbatasan, ancaman yang sedang dihadapi, langkah ke depan, juga dilakukan evaluasi terhadap perkembangan Lemah Abang.
Dalam evaluasinya, Sri Menganti berkesimpulan bahwa perubahan yang terjadi di Lemah Abang pada dasarnya terlalu cepat. Ada jarak antara elite yang menawarkan perubahan dengan masyarakat yang mengikuti perubahan.
Menurut Sri Manganti, dia dan juga Datuk Abdul Jalil adalah elite masyarakat yang mendapat kesempatan belajar nilai-nilai utama kehidupan seperti kehormatan, keberanian, persamaan, keadilan dan lain sebagainya. Sementara masyarakat yang mengikuti mereka, adalah mereka yang sekian tahun hidup dalam penindasan, ketidakadilan, kemiskinan dan lain sebagainya. Â
Dalam sejarah manusia, ini ibarat Nabi Musa yang lama hidup dan dididik di Istana, lalu ketika besar mesti memimpin Bani Israil yang lama hidup dalam penindasan. Karenanya tidak salah bila ada sebagian masyarakat yang berbondong-bondong mengikuti tata sosial baru di Caruban, tetapi ketika ada bahaya mengancam mereka keluar Caruban berbondong-bondong juga.
Seperti tidak bertanggung jawab dan tidak mau bersusah payah mempertahankan sistem baru yang sudah mereka nikmati itu. Atau bisa dilihat dalam sistem pemilihan Wali Negeri yang baru. Meski sistemnya terbuka untuk umum karena berdasar meritokrasi bukan dinasti, tetapi yang terpilih menjadi pimpinan wilayah tetap saja para elite bukan masyarakat umum.
Namun bagi Sri Manganti, meski ada kekurangan yang mesti diperbaiki, projek tata masyarakat ala Lemah Abang mesti terus dilanjutkan. Karenanya ketika diputuskan bahwa untuk melindungi Caruban mereka akan meminta bantuan pada kerajaan-kerajaan Islam yang sudah muncul di Tanah Jawa, Datuk Abdul Jalil yang menjadi kepala special envoy Caruban, di instruksikan juga untuk membuat komunitas-komunitas serupa Lemah Abang dalam perjalanannya mencari bantuan.
Perintah yang dituruti Datuk Abdul Jalil dan dan mendapat sambutan di beberapa wilayah seperti di Tanah Jawa. Terlebih ketika dalam perjalanan ke wilayah Majapahit, Datuk Abdul Jalil melihat bahwa situasi di Tanah Jawa yang berada dalam kekuasaan Majapahit tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Bumi Pasundan. Majapahit ketika itu memang sedang menunggu kehancuran akibat perang saudara yang tidak berkesudahan, paregreg. Â
Mungkin karena ada tugas itu juga, bila kita klik google dengan keyword "Lemah Abang" maka kita akan temukan nama daerah "Lemah Abang" diluar Cirebon dengan sejarah yang mempunyai keterkaitan dengan Datuk Abdul Jalil. Bahkan sampai sekarang makam Datuk Abdul Jalil pun ada beragam versi.
Bagi orang Cirebon, maka Syekh Abdul Jalil adanya di Harjamukti Kota Cirebon sekarang. Sedangkan bagi orang Tuban, makamnya ada Dondong Gendongombo. Versi nya pasti akan lain bila ditanya pada orang Bekasi, orang Pekalongan atau orang Demak
Syeikh Siti Jenar
Suluk Sang Pembaharu
Buku Ke - 4
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H