Saya lupa detail penelitiannya bagaimana, tapi kira-kira itu adalah penelitian tentang kredibilitas komunikator. Kesimpulan dari penelitiannya adalah, bahwa di samping peran media yang dipakai untuk menyebarkan pesan, maka peran komunikator juga sangat vital. Komunikator yang dianggap kredibel, akan lebih mudah diterima dan dipercaya ucapannya ketimbang komunikator yang tidak kredibel.
Dalam penelitian itu disebutkan tentang sekelompok orang yang akan menerima informasi dari dua orang yang berbeda. Tetapi sebelum orang-orang itu menerima informasi, mereka lebih dahulu diberitahu tentang profil dua orang yang akan menyampaikan informasi itu.
Profil yang pertama (A) digambarkan sebagai orang yang sangat negatif. Bukan hanya pembohong, tapi juga pencuri, penipu, pernah dipenjara, dll. Sedangkan profil orang kedua (B) disebutkan orang baik, jujur, lurus, dan tidak pernah menipu.
Kepada keduanya lalu diberikan bahan untuk berbicara di hadapan sekelompok orang tersebut. Si A yang tukang bohong alias tidak kredibel, diberikan sebuah berita benar untuk disampaikan kepada orang-orang. Kebalikan dengan si B yang kredibel, dia diberikan informasi hoaks untuk disampaikan kepada kelompok orang-orang tersebut.
Hasilnya ternyata mengejutkan. Si A yang dianggap tidak kredibel, dianggap memberikan berita palsu meski berita yang dia sampaikan itu benar. Sebaliknya si B yang kredibel alias tulus dan jujur, dianggap memberikan berita yang benar meskipun berita yang disampaikan itu hoaks.
Kira-kira dalam dunia hoaks, penelitian ini tidak jauh berbeda dengan keisengan Prof Alan Soakal yang dikenal telah melahirlan Soakal Hoax. Soakal membuat sebuah paper tentang Post-Modernisme yang di dalamnya mengutip pendapat banyak filosof, pemikir dan istilah-istilah ilmiah. Papernya diterima, dianggap benar dan di-publish dalam jurnal ilmiah "Social Text".Â
Tetapi beberapa saat sesudahnya, Sokal membuat sebuah paper lagi dan mengatakan kalau paper-nya di "Social Text" adalah hoaks. Meskipun banyak istilah ilmiah dan mengutip banyak ucapan filosof, secara metodologis papernya banyak memuat kesalahan yang dia sengaja. Dia sengaja membuat paper itu untuk menunjukan betapa lembamnya intelektual di Amerika Serikat.
Kaitannya dengan isu Perpres Zakat
Di samping masalah khilafiah juga keruwetan cara mengatur penarikan zakat dengan memakai Peraturan Presiden seperti yang diuraikan Pak Mahfudz MD, dalam banyak hal reaksi negatif terhadap Perpres Zakat adalah reaksi terhadap kredibilitas orang yang berbicara. Setidaknya itu yang saya lihat dari respons beberapa kalangan.
Beberapa bulan yang lalu dalam sebuah obrolan ringan beberapa orang, seorang teman dari Baznas (Badan Amil Zakat Nasional) mengungkapkan tentang apa yang sudah dan sedang dikerjakan Baznas. Di antaranya dia bercerita upaya Baznas untuk menghimpun lebih banyak lagi dana-dana zakat dari para PNS juga para profesional lainnya. Di antaranya adalah dengan penerbitan sebuah peraturan perundangan yang bersifat memaksa, seperti Perpres.
Relatif tidak ada tanggapan negatif terhadap ucapan teman Baznas itu. Bila pun ada yang kontra, dia hanya mempertanyakan pengaturan teknisnya seperti apa. Seperti kebingungan Pak Mahfudz yang mengingatkan bahwa dasar perhitungan zakat itu bukan minimum income seperti pajak, tapi haul dan nishab. Karenanya zakat lebih complicated, spesifik, dan kadang personal. Berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Orang yang sama gajinya, tidak berarti akan sama juga nilai zakatnya.
Pangkal apresiasi positif itu, selain karena kedekatan tentunya, juga karena melihat pada sisi kredibilitas. Baznas dianggap institusi yang kredibel melakukan itu karena di mata mereka, Baznas itu adalah amil zakat. Amil adalah orang atau sekelompok orang yang sudah ditunjuk untuk menghimpun, mengelola dan mendistribusikan dana zakat. Semakin besar dana zakat dihimpun amil, maka akan semakin banyak program-program sosial Baznas seperti rumah sakit gratis, pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil, atau perbaikan kualitas pendidikan yang akan terealisasi.
Kesimpulan ini yang tidak muncul ketika yang membicarakan Perpres Zakat itu pemerintah. Bagi banyak kalangan yang menolak, ketika pemerintah membicarakan Perpres Zakat, kesimpulan yang muncul bukan pemerintah sebagai amil atau pengelola zakat, tapi pemerintah sebagai mustahik di luar amil. Mustahik adalah sekelompok orang yang berhak menerima dana zakat. Ada 8 golongan yang berhak menerima zakat, di antaranya adalah fakir miskin dan gharimin. Bila fakir miskin adalah orang yang tidak punya uang, maka gharim adalah orang yang mempunyai utang banyak dan sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk melunasinya.
Persepsi sebagai mustahik inilah yang dominan muncul ketika Menteri Agama menyebutkan akan adanya Perpres Zakat, bukan persepsi sebagai amil zakat. Karena realitasnya selama ini pemerintah sering mengidentifikasi diri sebagai fakir miskin dan gharim. Tidak punya uang banyak untuk membiayai banyak program pembangunan dan punya pinjaman hutang luar dan dalam negeri yang kian hari kian menumpuk. Ditambah dengan agresivitas pemerintah sekarang yang sangat intens memperluas cakupan Pajak dan rencana pengelolaan dana haji untuk infrastruktur, lengkap sudah persepsi itu.
Baznas mengupayakan Perpres Zakat bermakna Baznas sedang berusaha menghimpun dana zakat umat sebanyak-banyaknya untuk program-progam pengentasan masyarakat dari kemiskinan, peningkatan kualitas pendidikan, dan kesehatan. Tetapi pemerintah mengatakan akan mengeluarkan Perpres Zakat, bermakna pemerintah sedang menghimpun dana masyarakat untuk membiayai program pembangunan yang mandeg karena tidak ada uang juga karena sedang terjerat hutang.
Karenanya dalam bayangan saya, akan berbeda bila yang berbicara itu adalah Kepala Baznas yang mengatakan kalau upaya mereka meminta Perpres Zakat terhadap pemerintah berhasil. Ketimbang Menteri Agama sendiri yang mengungkapkan ke publik kalau pemerintah mau menerbitkan Perpres. Meskipun pastinya akan ada penolakan juga dari kelompok lain. Tetapi, pastinya akan berbeda bila yang berbicara Baznas dengan pemerintah. Karena yang satu adalah Amil Zakat, sementara satu lagi teridentifikasi sebagai mustahik yang sedang gencar memungut dana masyarakat. Terlebih bila ditambahi sentimen dan polarisasi politik, lengkap sudah.
Kalau tidak percaya, coba cek saja beberapa daerah. Banyak yang sudah menerapkan itu tapi tidak ramai seperti sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H