Dalam perjalanan ke Afrika Selatan, Gandhi mengalami perlakuan menyakitkan. Gandhi yang duduk di kelas eksekutif, diprotes. Di Afrika Selatan hanya orang kulit putih yang bisa naik kelas eksekutif. Gandhi disuruh pindah ke kelas ekonomi oleh petugas kereta. Karena menolak, Gandhi pun diturunkan di statsiun terdekat sebelum sampai tempat tujuan.
Protes terhadap perlakuan ini, Gandhi mengajak teman-temannya yang Muslim, Yahudi, Sikh, Kristen untuk melawan. Satu hal ditekankan Gandhi dalam melakukan perlawanan ini; perlawanan tidak boleh memakai kekerasan. Musuh boleh memakai kekerasan, tetapi mereka tidak boleh membalasnya dengan kekerasan. Akibatnya, badan Gandhi remuk dipukul tongkat tentara. Tetapi hasilnya ternyata efektif.
Perlawanan tanpa kekerasan di Afrika Selatan inilah yang diterapkan Gandhi di tanah kelahirannya India. Tetapi rupanya Afrika Selatan berbeda dengan India. Di India tentara Inggris tidak hanya dibekali senapan, tetapi juga sangat bengis. Akibatnya, sekitar 1.500 orang India meninggal dibantai pasukan Inggris yang bebas tanpa perlawanan memuntahkan lebih dari 1.600 peluru.
Gandhi sedih. Tetapi berbeda dengan Nehru, PM pertama India, Muhammad Ali Jinnah, PM pertama Pakistan, Gandhi bersikukuh meneruskan pola ini. Menurut Gandhi, dalam setiap ketidakadilan selalu akan ada perlawanan. Hanya perlawanan seperti apa yang akan dilakukan. Apakah melanggar hukum atau melakukan apa yang seperti dilakukan para penindas. Apa bedanya dengan penindas kalau melakukan seperti yang dilakukan penindas?
Pastinya prinsip ini bukannya tanpa resiko. Ide Gandhi ini bukan hanya dilanggar oleh para pengikut setianya dan diprotes teman-teman seperjuangannya, tetapi juga dimanfaatkan penjajah Inggris. Gandhi sendiri bukannya tidak putus asa dengan prinsipnya. Dalam satu kesempatan Gandhi mengakui bila dia kadang putus asa. Hanya saja ketika putus asa, dia selalu ingat bahwa dalam sejarah kehidupan manusia cinta dan kebenaran itu selalu menjadi pemenang.
Bila melihat cara Gandhi melawan, saya teringat sebuah slogan: Think Globally, Act Locally. Gandhi berpikir besar tentang perlunya kebebasan dan kemerdekaan tapi mengkonkretkannya dalam langkah sederhana. Seperti langkah mengajak masyarakat memintal kain dan membuat garam sendiri. Bagi Gandhi, salah satu sumber penghisapan Inggris pada masyarakat India adalah ketika masyarakat India mesti membeli pakaian yang dibuat Inggris. Sementara garam, adalah urat nadi kehidupan yang mesti dibuat dan diperjualkan sendiri. Gerakan ini tidak hanya akan merepotkan Inggris, tetapi juga akan membuat India mandiri.
Langkah perjuangan Gandhi sendiri seperti menjelaskan tentang fenomena para pejuang kemanusiaan yang dihari berikutnya berbalik menjadi penindas kemanusiaan. Dalam dinamika kehidupan politik kita, tidak jarang kita temukan orang-orang yang sekarang didakwa sebagai koruptor, adalah orang yang dulunya pejuang anti korupsi.
Hal ini menurut Gandhi karena dasar perjuangan manusia paling hakiki itu bukan melawan musuh luar, tetapi musuh di dalam dirinya. Nafsu dan ego yang berputar-putar didalam diri manusia, itu jauh lebih berat dilawan ketimbang lawan diluar. Ketika ego dan nafsu itu sudah bisa dikendalikan, maka sangat mudah melawan musuh diluar.
Karenanya ketika Ali Jinnah, Nehru, Petel bersitegang apakah perjuangan kemerdekaan India akah berakhir dengan pecahnya India menjadi India dan Pakistan atau tetap satu India, Gandhi bersikukuh bahwa India harus tetap satu. Bila minoritas muslim India merasa terancam kehidupannya pasca Inggris pergi, Gandhi rela Ali Jinnah yang muslim menjadi Perdana Menteri pertama India dan dia akan meminta Nehru mundur. Ketika Hindu-Muslim di kalkuta saling membunuh, Gandhi yang Hindu mendatangi rumah seorang muslim korban pembunuhan, tidur di loteng rumahnya dan menyatakan akan berpuasa dan berdoa sampai semua kekacauan di kalkuta berhenti.
Kontrol ego dan keteguhan memegang prinsip inilah yang menjadikan Gandhi menjadi sosok yang tidak hanya dihormati kaum Hindu India, tapi juga kaum Muslim, Sikh, Yahudi, Kristen dll. Padahal Gandhi menghadapi ancaman yang tidak ringan dalam memegang prinsipnya itu. Untuk menggambarkan bagaimana kokohnya Gandhi memegang prinsip, Albert Einstein mengatakan bahwa generasi pasca 1945 mungkin tidak akan pernah percaya bahwa ada orang seperti Gandhi yang pernah hidup di bumi ini.
Pengingatan Gandhi tentang pentingnya penaklukan diri sendiri sebelum penaklukan musuh, dalam banyak hal sering menjadi ajaran pegangan para pejuang perubahan lintas agama dan kepercayaan. Di makam Westminster Abbey di Inggris, dituliskan tentang kesia-siaan usahanya yang ingin merubah dunia, negara, lingkungan bahkan keluarganya. Tetapi semuanya menurut Abbey berubah ketika dia berhasil merubah dirinya. Berabad sebelumnya, sufi besar Bayazid Al Busthami juga mengungkapkan hal yang tida jauh berbeda tentang doanya untuk merubah diri sendiri.
Bagi saya sendiri ketika melihat langkah Gandhi, saya langsung teringat satu fragmen sejarah dalam kehidupan Nabi. Ketika Nabi dan kaum muslimin baru saja berhasil memenangkan perang besar melawan kaum Quraisy yang jumlah pasukan dan perbekalan yang mereka miliki 10 kali lipat lebih besar.
Tetapi usai memenangkan peperangan dahsyat itu, Nabi justru mengatakan bahwa kaum muslimin akan menghadapi perang yang lebih besar. Perang itu adalah puasa di bulan Ramadhan. Bagi Nabi, perjuangan melawan diri sendiri, jauh lebih berat dibanding perjuangan melawan musuh dari luar.
Mestinya cara pandang Gandhi tentang perubahan ini mestinya menjadi cara pandang kita dalam melakukan perubahan. Sekarang ini kita lihat banyak orang melihat perubahan sebagai sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh orang diluar dirinya. Orang-orang itu bisa berwujud dalam bentuk politisi, partai, mentri, gubernur, Presiden dan lain sebagainya. Ketika kita memandang aktor perubah itu ada diluar, karenanya tidak aneh bila saat ini tradisi mengkultuskan public figure, berbanding lurus dengan tradisi menghinakannya. Menit ini membuat meme untuk menghina atau memuji Presiden, menit berikutnya membuat hinaan untuk menghina atau memuji Gubernur.
Karena kebiasaan seperti ini, banyak orang dalam melihat perubahan sikapnya hanya berpindah dari satu kekecewaan ke kekecewaan yang lain. Di masa reformasi datang, menggantungkan harapan begitu besar kepada sosok A dan golongan B. Seiring berjalannya waktu, sosok A dan golongan B menjadi orang dan golongan layak dibully. Pujian lalu dialihkan ke sosok C dan partai D. Begitu terus terjadi.
Orang seperti tidak percaya diri bahwa sekecil apapun yang dilakukan, akan berimbas pada perubahan. Orang jadinya hanya menghabiskan energi dan waktu untuk menilai dan meminta konstribusi orang luar dirinya, tetapi lupa konstribusi dirinya. Orang merasa tidak ada yang salah ketika menuding pejabat publik tidak becus menata kota, sementara setiap hari dia melanggar lalu lintas. Orang tidak percaya diri bahwa ketika dia membuat SIM atau STNK tanpa harus menyogok, atau beralih ke transportasi masal, adalah konstribusi yang sangat signifikan dalam melakukan perubahan.
Karenanya dalam mengharapkan perubahan pertanyaannya adalah, apa yang bisa kita lakukan untuk itu. Bila kita mau lebih spesifik lagi, mungkin apa yang kita lakukan hakekatnya bukan untuk perubahan tetapi hanya melakukan apa yang bisa kita lakukan.
Karena bila kita hitung secara matematis, perubahan adalah himpunan berbagai faktor yang konstribusinya mungkin tidak signifikan bila berdiri sendiri. Apalagi bila dikaitkan dengan kepercayaan orang akan eksistensi Tuhan. Maka perubahan menjadi perogratif Tuhan dan kita hanya melakukan apa yang bisa dilakukan. Let's do the best and God do the rest.
Kembali ke film Gandhi. Seperti disebutkan diawal film, tidak ada satupun film yang bisa merepresentasikan secara utuh kehidupan seorang tokoh seperti Gandhi. Film ini memang hanya menceritakan kehidupan Gandhi mulai dari masa mudanya ketika Gandhi melakukan perjalanan ke Afrika Selatan dan akhir hidup Gandhi yang ditembak mati oleh Hindu fundamentalis ketika Gandhi akan menemui sahabatnya Muhammad Ali Jinnah di Pakistan. Film ini tidak menceritakan bagaimana Gandhi kecil dan masa-masa menjalani belajar Ilmu Hukum di Inggris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H