Pengingatan Gandhi tentang pentingnya penaklukan diri sendiri sebelum penaklukan musuh, dalam banyak hal sering menjadi ajaran pegangan para pejuang perubahan lintas agama dan kepercayaan. Di makam Westminster Abbey di Inggris, dituliskan tentang kesia-siaan usahanya yang ingin merubah dunia, negara, lingkungan bahkan keluarganya. Tetapi semuanya menurut Abbey berubah ketika dia berhasil merubah dirinya. Berabad sebelumnya, sufi besar Bayazid Al Busthami juga mengungkapkan hal yang tida jauh berbeda tentang doanya untuk merubah diri sendiri.
Bagi saya sendiri ketika melihat langkah Gandhi, saya langsung teringat satu fragmen sejarah dalam kehidupan Nabi. Ketika Nabi dan kaum muslimin baru saja berhasil memenangkan perang besar melawan kaum Quraisy yang jumlah pasukan dan perbekalan yang mereka miliki 10 kali lipat lebih besar.
Tetapi usai memenangkan peperangan dahsyat itu, Nabi justru mengatakan bahwa kaum muslimin akan menghadapi perang yang lebih besar. Perang itu adalah puasa di bulan Ramadhan. Bagi Nabi, perjuangan melawan diri sendiri, jauh lebih berat dibanding perjuangan melawan musuh dari luar.
Mestinya cara pandang Gandhi tentang perubahan ini mestinya menjadi cara pandang kita dalam melakukan perubahan. Sekarang ini kita lihat banyak orang melihat perubahan sebagai sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh orang diluar dirinya. Orang-orang itu bisa berwujud dalam bentuk politisi, partai, mentri, gubernur, Presiden dan lain sebagainya. Ketika kita memandang aktor perubah itu ada diluar, karenanya tidak aneh bila saat ini tradisi mengkultuskan public figure, berbanding lurus dengan tradisi menghinakannya. Menit ini membuat meme untuk menghina atau memuji Presiden, menit berikutnya membuat hinaan untuk menghina atau memuji Gubernur.
Karena kebiasaan seperti ini, banyak orang dalam melihat perubahan sikapnya hanya berpindah dari satu kekecewaan ke kekecewaan yang lain. Di masa reformasi datang, menggantungkan harapan begitu besar kepada sosok A dan golongan B. Seiring berjalannya waktu, sosok A dan golongan B menjadi orang dan golongan layak dibully. Pujian lalu dialihkan ke sosok C dan partai D. Begitu terus terjadi.
Orang seperti tidak percaya diri bahwa sekecil apapun yang dilakukan, akan berimbas pada perubahan. Orang jadinya hanya menghabiskan energi dan waktu untuk menilai dan meminta konstribusi orang luar dirinya, tetapi lupa konstribusi dirinya. Orang merasa tidak ada yang salah ketika menuding pejabat publik tidak becus menata kota, sementara setiap hari dia melanggar lalu lintas. Orang tidak percaya diri bahwa ketika dia membuat SIM atau STNK tanpa harus menyogok, atau beralih ke transportasi masal, adalah konstribusi yang sangat signifikan dalam melakukan perubahan.
Karenanya dalam mengharapkan perubahan pertanyaannya adalah, apa yang bisa kita lakukan untuk itu. Bila kita mau lebih spesifik lagi, mungkin apa yang kita lakukan hakekatnya bukan untuk perubahan tetapi hanya melakukan apa yang bisa kita lakukan.
Karena bila kita hitung secara matematis, perubahan adalah himpunan berbagai faktor yang konstribusinya mungkin tidak signifikan bila berdiri sendiri. Apalagi bila dikaitkan dengan kepercayaan orang akan eksistensi Tuhan. Maka perubahan menjadi perogratif Tuhan dan kita hanya melakukan apa yang bisa dilakukan. Let's do the best and God do the rest.
Kembali ke film Gandhi. Seperti disebutkan diawal film, tidak ada satupun film yang bisa merepresentasikan secara utuh kehidupan seorang tokoh seperti Gandhi. Film ini memang hanya menceritakan kehidupan Gandhi mulai dari masa mudanya ketika Gandhi melakukan perjalanan ke Afrika Selatan dan akhir hidup Gandhi yang ditembak mati oleh Hindu fundamentalis ketika Gandhi akan menemui sahabatnya Muhammad Ali Jinnah di Pakistan. Film ini tidak menceritakan bagaimana Gandhi kecil dan masa-masa menjalani belajar Ilmu Hukum di Inggris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H