Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gerhana Matahari Pilgub DKI

13 Maret 2016   20:15 Diperbarui: 13 Maret 2016   21:04 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Lalu kalau ada orang yang memberondong Bapak dengan berbagai macam ayat Quran tentang tidak bolehnya non-muslim menjadi pemimpin, Bapak ingetin dia kalau Quran itu kebenarannya mutlak untuk sepanjang zaman. Karena kebenarannya mutlak untuk sepanjang zaman, maka Quran itu mengatur hal yang pokok dan prinsip. Untuk memahami maksudnya, orang mesti belajar lagi ilmu Tafsir. Dari seluruh umat Islam di dunia dari zaman dahulu sampai sekarang, juru tafsir Quran paling otoritatif itu bukan Quraish Shiba atau Buya Hamka alm, tapi Nabi Muhammad. Karena kata Aisyah Nabi itu Quran berjalan. Jadi tidak mungkin Nabi melandaskan tindakannya tanpa berpijak pada Quran"

"Atau begini Pak. Ingatkan saja orang tentang sejarah kejatuhan peradaban baik itu dari sejarawan Arnold Toynbee atau sejarawan muslim Ibnu Khaldun. Menurut hasil penelitian mereka, kejatuhan sebuah bangsa itu bukan karena pemimpinnya muslim atau bukan, tetapi ketika pemimpinnya sudah tidak amanah, tidak adil, melupakan rakyatnya dan bergelimang kemewahan. Sementara kehidupan masyarakat pun sudah menafikan moralitas. Contoh paling konkrit itu adalah kejatuhan Kesultanan Ottoman di Turki sana. Semua pemimpin kesultanan Ottoman itu ya orang Islam. Tetapi kenapa mereka bisa jatuh?"

Ingin rasanya mengatakan itu. Tapi urung. Karena sebetulnya yang menarik perhatian saya itu bukan perkara pemimpin muslim atau non-muslim, tetapi kenapa isyu ini menjadi isyu dominan. Hal lebih aneh lagi adalah, kenapa juga sampai ada gerakan "Saya Muslim Mendukung Ahok". Gerakan yang menjadikan isyu pemimpin Non-Muslim menjadi lebih besar. Sekali lagi, aneh bagi saya kenapa ada gerakan seperti ini. Karena secara matematika politik, membesarkan isyu ini adalah hal yang tidak perlu. Terlebih bila dikaitkan dengan upaya komunikasi politik menjelang Pilkada. Membesarkan isyu ini, tidak akan berdampak elektoral signifikan.

Begini perhitungan politiknya. Secara kasar dan sangat sederhana, kelompok Islam di Indonesia dibagi dua. Fundamentalis dan Moderat. Bolehlah ditambahkan satu lagi dengan kelompok liberal supaya lebih lengkap.

Kelompok fundamentalis sering disebut sangat dogmatik-scripturalistik. Pemahamannya terhadap teks-teks keagamaan cenderung kaku. Secara sosial, representasi kelompok ini sering menunjuk pada organisasi seperti FPI. Selain tentunya kelompok-kelompok yang dituding menjadi dalang aksi-aksi terorisme. Bagi kelompok-kelompok fundamentalis seperti ini, isyu tentang status agama menjadi sesuatu yang sangat penting. Berbeda dengan kelompok moderat. Mereka dianggap lebih humanis dan moderat dalam memahami teks-teks keagamaan.

Tetapi dari sekian uraian tentang tipologi kaum muslimin, semua sepakat bahwa kaum muslim di Indonesia itu dominannya adalah kelompok moderat. Hal ini misalnya termanifestasi dalam ormas NU dan Muhamadiyyah. Dua ormas Islam terbesar di Indonesia yamg dikenal memiliki pemahaman Islam yang moderat. Mereka kelompok-kelompok Islam yang dianggap toleran, terbuka dan lebih humanis dalam memahami teks-teks keagamaan.

Sementara kelompok fundamentalis itu dianggap sedikit. Mereka terdengar besar karena suaranya keras dan mendapat porsi media cukup besar. Karena media kita masih berfalsafah Bad News is Good News.

Terlebih bila kita lihat dinamika sosial politik terakhir. Survei LSI terakhir misalnya. Mereka menyebutkan kalau 60% warga DKI ternyata tidak menganggap penting latar belakang agama calon Gubernurnya. Lagipula berapa kali orang-orang pinter pendukung Ahok mengatakan kalau isyu agama itu sudah tidak akan mempan untuk menjungkirkan Ahok.

Karenanya menjadi pertanyaan besar. Kalaulah kelompok-kelompok Islam yang mempermasalahkan status agama Ahok secara kuantitas tidaklah besar, dan trend isyu agama tidak mempan lagi untuk dijual, lalu kenapa mesti berkutat dengan isyu ini?Kenapa sampai harus membuat gerakan "Saya Muslim Mendukung Ahok" dan menjadikan isyu ini menggelinding lebih besar.

Bila memang berkomitmen membangun politik yang lebih rasional, kenapa tidak mengangkat isyu-isyu kebijakan publik sebagai alat kampanye. Kalau salah seorang kandidat sudah melontarkan ide merubah status Gubernur Jakarta menjadi Mentri Urusan Ibukota, kenapa ide seperti itu tidak ditantang dengan ide lain. Kenapa mesti berkutat pada isyu-isyu yang sebetulnya dianggap hanya konsumsi kalangan minoritas muslim. Bila memang belum ada ide baru, kenapa misalnya tidak mengklarifikasi masalah reklamasi pantai utara Jakarta dan kasus Sumber Waras. Bukankah langkah seperti ini akan membuat diskursus publik menjadi lebih rasional. Ketimbang terus berkutat masalah pemimpin muslim atau bukan

Melihat ini, saya jadi teringat fenomena Gerhana Matahari Total beberapa waktu lalu. Kita semua tahu bahwa dibanding Matahari, ukuran bulan itu tidak seberapa. Tetapi karena penempatannya yang tepat, bulan bisa sebesar Matahari dan menutup sinarnya ke Bumi. Karena ditutup bulan yang lebih kecil dari matahari, bumi menjadi gelap gulita. Orang di bumi hanya bisa melihat bulan. Matahari dan sinarnya hanya terlihat sedikit di pinggirannya saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun